✏ Tuntutan Islam ketika terjadi gerhana
----------------------
Baginda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita tuntunan syariat yang mulia ketika terjadi gerhana matahari maupun gerhana bulan, yaitu ada tujuh hal (sebagaimana dalam hadits-hadits tentang gerhana):
1. Shalat gerhana
2. Berdoa
3. Beristighfar
4. Bertakbir
5. Berdzikir
6. Bershadaqah
7. Memerdekakan budak
(Lihat HR. Al-Bukhari no. 1040, 1044, 1059, 2519; Muslim no. 901, 912, 914)
Ini dilakukan sejak awal terjadinya gerhana, hingga berakhirnya, yang ditandai dengan kembalinya cahaya matahari atau bulan seperti sedia kala.
Di antara doa yang beliau perintahkan adalah berlindung dari adzab kubur. Karena gerhana mengakibatkan suasana gelap meskipun pada siang hari, dan dalam suasana tersebut hati manusia pasti dihinggapi rasa takut. Suasana yang demikian mengingatkan kita akan suasana di alam kubur kelak. (Lihat Fathul Bari hadits no.2519)
Karena gerhana merupakan peringatan akan adzab, maka sangat tepat dianjurkan pada kesempatan tersebut untuk memerdekakan budak, sebab amal tersebut bisa memerdekakan seseorang dari api neraka. (Lihat Fathul Bari hadits no. 2519).
Sumber : buletin al-Ilmu edisi no. 21/V/IX/1434
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
~~~~~~~~~~
✏ TATA CARA SHALAT GERHANA
--------------------
Keterangan dari beberapa hadits tentang tata cara shalat gerhana Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Takbiratul ihram.
2. Membaca doa istiftah, ta’awwudz, dan membaca basmalah secara sir (pelan).
3. Membaca surah Al-Fatihah dan surah secara jahr (keras). Bacaan pada berdiri pertama rakaat pertama ini dipanjangkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diterangkan “…kurang lebih sepanjang surah Al-Baqarah…” (HR. Al-Bukhari no. 1052, Muslim no. 907).
4. Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang.
5. Kemudian berdiri dari ruku sambil mengucapkan, ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd.”
6. Setelah itu TIDAK SUJUD, namun terus BERDIRI panjang, dan kembali MEMBACA AL-FATIHAH dan SURAH. Namun berdiri kedua pada rakaat pertama ini agak lebih pendek dibandingkan berdiri pertama.
7. Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang. Ruku kedua ini agak lebih pendek dibandingkan ruku pertama.
8. Kemudian berdiri dari ruku sambil mengucapkan ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd,” ini adalah i’tidal, dan dipanjangkan juga. Berdasarkan hadits dari sahabat Jabir Radhiyallahu ’anhu, ”…maka Nabi memanjangkan berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku dan memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri dan memanjangkannya, kemudian beliau sujud dua kali…” (HR. Muslim no. 904).
Al-Ghazali menukil bahwa ada kesepakatan meninggalkan (amalan) memanjangkan i’tidal ini. Maka dibantah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, ”Jika yang dimaksud ’kesepakatan’ disini adalah kesepakatan madzhab, maka tidak perlu dibicarakan (karena itu tidak menjadi patokan kebenaran, pen), dan yang jelas pernyataan tersebut terbantah dengan riwayat hadits Jabir tersebut.” (Fathul Bari hadits no. 1051)
9. Bertakbir kemudian sujud dengan sujud yang panjang juga. Berdasarkan hadits, ”…kemudian beliau sujud dengan sujud yang panjang.” (HR. al-Bukhari no. 1047).
10. Kemudian bertakbir dan bangkit, lalu duduk iftirasy dan memanjangkan duduknya. (HR. an-Nasa’i no. 1482).
11. Lalu bertakbir dan kembali sujud dengan sujud yang panjang, namun tidak sepanjang sebelumnya. (HR. al-Bukhari no. 1056).
12. Bertakbir dan berdiri untuk rakaat kedua. Demikian berikutnya sama persis dengan rakaat pertama, hanya saja masing-masing lebih pendek dari pada sebelumnya. Pada berdiri pertama rakaat kedua kembali membaca Al-Fatihah dan surah dengan jahr dan dipanjangkan pula kurang lebih sepanjang surat ali ’Imran. (HR. Abu Dawud no. 1187).
13. Kemudian duduk bertasyahud, membaca shalawat, dan salam ke kanan dan ke kiri.
Sumber : buletin al-Ilmu edis 22/V/IX/1434
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
~~~~~~~~~
Shalat Gerhana Dalam Tuntunan Sunnah Nabawiyyah :
MENGENAL SHOLAT GERHANA (BULAN/MATAHARI)
-^-^-^-^-^-^-^-^-^-^-^-^-^-^-^-
Diantara yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bersegera melaksanakan shalat gerhana. Dengan bentuk pelaksanaan yang berbeda dari shalat-shalat lainnya, yaitu dengan memanjangkan bacaan, dua kali ruku pada setiap rakaat, dan memanjangkan ruku dan sujudnya.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
WAKTU PELAKSANAANNYA
Sebagaimana pada edisi sebelumnya, pelaksanaan shalat gerhana terkait dengan ru’yah, bukan dengan hisab.
Waktu pelaksanaannya terbentang mulai dari awal terjadinya gerhana, maka hendaknya bersegera melaksanakan shalat sejak awal proses gerhana, tidak perlu menunggu puncak gerhana tersebut.
Waktu shalat gerhana berakhir ketika proses gerhana selesai.
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah dan berdoalah hingga tersingkap kembali.”(Muttafaqun ’alaihi).
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memanjangkan shalat gerhana sepanjang terjadinya gerhana matahari.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
GERHANA APAKAH YANG DISYARIATKAN SHOLAT PADANYA?
Sebagaimana diketahui, gerhana matahari dan gerhana bulan ada beberapa macam, ada gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain. Maka semuanya disyariatkan shalat gerhana padanya.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
HUKUM SHALAT GERHANA
Ada 2 pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat gerhana:
1.Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya sunnah mu’akkadah.
Landasan pendapat ini adalah: Kisah seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya tentang apa kewajibannya dalam Islam, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan shalat 5 waktu. Orang tersebut lalu bertanya, apakah ada kewajiban shalat selainnya? Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak ada, kecuali jika engkau mau shalat sunnah.” (HR. Al-Bukhari no. 2481dan Muslim no. 11)
Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ’anhu ketika diutus berdakwah ke negeri Yaman, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berpesan kepadanya, ”Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu.” (HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslimno. 19)
2.Sebagian ulama lainnya berpendapat hukumnya wajib. Landasan pendapat ini adalah teks perintah Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits tentang gerhana yang bersifat perintah, ”… apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah…”
Karena merupakan perintah, maka sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih, ’perintah’ menunjukkan kepada makna wajib, kecuali apabila dalil lainnya yang memalingkan dari makna wajib kepada makna sunnah. Sedangkan dalam konteks gerhana ini tidak ada dalil lainnya.
Adapun dua hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur di atas, tidak berarti meniadakan adanya shalat-shalat lain selain shalat lima waktu yang hukumnya wajib. Karena yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam dua hadits tersebut adalah shalat yang kewajibannya bersifat mutlak. Namun di sana ada shalat-shalat lainnya yang hukumnya juga wajib karena ada sebab-sebab tertentu, misalnya shalat jenazah, shalat ’Id, shalat tahiyyatul masjid, termasuk dalam hal ini shalat gerhana.
Menurut hemat kami (penulis), alasan pendapat kedua ini cukup kuat.
Bagaimana tidak, di samping adanya perintah yang sangat tegas pada hadits di atas, gerhana yang merupakan tanda peringatan dari Allah Subhanahu wa ta’ala,demikian pula bagaimana sikap yang ditunjukkann oleh Rasul Shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam sangat ketakutan,sangat khusyu’, melakukan shalat yang berbeda dari shalat-shalat lainnya, kemudian beliau berkhutbah dengan khutbah yang mendalam; kondisi yang demikian menunjukkan indikasi yang sangat kuat bahwa shalat gerhana tersebut merupakan kewajiban.
Sungguh suatu hal yang kontras apabila datang peringatan, namun manusia tetap di tokonya, di kantornya, di sawahnya,dan seterusnya seperti sedia kala tidak merasa ketakutan dan tidak bersegara menuju shalat.
Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin Rahimahullah berkata, ”Pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat dibandingkan yang sunnah. Namun, wajib di sini adalah wajib (fardhu) kifayah.” (Lihatasy-Syarhul Mumti’ 5/ 182)
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
DISYARIATKAN BERJAMAAH DI MASJID, BOLEH PULA SENDIRI-SENDIRI
”RasulullahShallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid, beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana, pen) dan para makmum bershaf di belakang beliau…” (HR. Muslimno. 901)
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid yang dipakai juga untuk shalat jum’at. Hadits ini juga menunjukkan disunnahkan melaksanakannya secara berjamaah, boleh pula dikerjakan dengan sendiri-sendiri.”(Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no.901).
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
sumber : buletin "al-Ilmu" edisi 22/V/IX/1434
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
〰〰〰〰〰〰〰〰〰
SHALAT GERHANA BAGI KAUM WANITA
Kaum wanita boleh mengikuti shalat gerhana berjamaah di masjid, sebagaimana ’Aisyah dan Asma’ bintu Abi Bakr Radhiyallahu ’anhum dulu ikut melaksanakan shalat gerhana di masjid. (Lihat Hr. al-Bukhari no.1053, Muslim no.905, Syarh Shahih Muslim, al-Mughni III/ 322).
Boleh pula mereka shalat di rumahnya masing-masing secara sendiri-sendiri. Perlu diingat, kaum wanita yang hadir berjamaah di masjid ada syarat-syarat yang sangat ketat.
Diantaranya: harus menutup aurat dan berjilbab sesuai dengan syarat-syaratnya, tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak berbaur dengan kaum pria, dan lain-lain.
Wallahu a’lam bish shawab.
✏-Sumber: Buletin al-Ilmu edisi 22/V/IX/1434
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Tidak melakukan shalat gerhana kecuali bila gerhananya terlihat.
~~~~~~~~~~~~
Sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam di atas, ”Apabila kalian melihat (gerhana) matahari atau bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah.”
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat (ru’yah)”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, ”… karena pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru’yah.” (Lihat Fathul Bari hadits no. 1041).
Artinya, apabila telah diperkirakan dengan hisab astronomis terjadi gerhana namun terhalangi oleh langit yang mendung, maka TIDAK DILAKUKAN SHALAT GERHANA.
Atau gerhana terjadi di wilayah lain/belahan bumi lainnya, sehingga tidak terlihat. Misalnya gerhana terjadi di Eropa, tidak terjadi di Indonesia, maka orang Indonesia tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat gerhana.
▪Atau terjadinya gerhana matahari setelah tenggelamnya matahari,
▪ atau gerhana bulan setelah terbitnya matahari sehingga tidak bisa teramati, maka tidak ada shalat gerhana pula.
sumber : buletin "al-Ilmu edisi 21/V/IX/1434
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
~~~~~~~~~
AWAS ILMU HISAB FALAKI !!!
---------------
Gerhana bisa diketahui dengan hisab. Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha Kuasa telah menjadikan pergerakan matahari dan bulan berjalan dengan rapi dan teratur, sehingga bisa diamati dan dihitung oleh manusia. Termasuk gerhana bisa diketahui dengan hisab astronomis kapan terjadinya, di belahan bumi mana sajakah terjadinya, serta jenis gerhananya, apakah gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain.
Namun tidak diambil darinya konsekuensi hukum apapun terkait dengan shalat gerhana atau lainnya.
Meskipun gerhana bisa diketahui kapan waktu terjadinya berdasarkan hisab astronomis yang sangat akurat, namun apabila ternyata pada hari-H dan jam-J nya gerhana tidak teramati atau tidak terjadi di wilayah tersebut, maka shalat gerhana TIDAK BISA DILAKSANAKAN.
Hal ini mirip dengan hilal di awal bulan, khususnya ketika menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawwal. Meskipun diketahui secara pasti berdasarkan hisab astronomi yang akurat posisi hilal sekian derajat dan dinyatakan memungkinkan untuk diru’yah, namun apabila fakta di lapangan hilal tidak bisa diamati, maka berarti belum masuk Ramadhan atau Idul Fitri.
Kemudian, fakta bahwa gerhana bisa diketahui dengan hisab astronomis, tidak menghilangkan sebab dan fungsi gerhana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu ”Dengannya, Allah memberikan rasa takut kepada hamba-hamba-Nya.”
Sekali lagi, gerhana bukan peristiwa biasa seperti halnya pasang-surutnya ombak di lautan. Namun ada hikmah besar di balik itu. Oleh karena itu –sebagaimana pada hadits-hadits di atas- sampai-sampai Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berdiri ketakutan, khawatir itu sebagai tanda datangnya Kiamat, dan beliau memerintahkan dengan 7 hal.
sumber : buletin "al-Ilmu" edisi 21/V/IX/1434
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
~~~~~~~~
Disunnahkan Khutbah Shalat Gerhana
~~~~~~~~~~~~
Disunnahkan untuk berkhutbah setelah shalat gerhana, karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya. ”Setelah beliau selesai shalat, matahari telah tersingkap (dari gerhananya). Lalu beliau berkhutbah seraya memuji Allah dan menyanjung-Nya…” (HR. al-Bukhari no. 1044)
”…berkhutbah seraya memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, lalu mengatakan Amma Ba’d…” (HR. al-Bukrahi no. 1061).
Keterangan hadits tersebut, di samping menunjukkan disunnahkannya khutbah setelah shalat gerhana, juga menunjukkan bahwa tetap berkhutbah meskipun gerhana telah selesai asalkan sudah selesai dari shalat gerhana. Berbeda halnya apabila gerhana telah selesai namun belum sempat melaksanakan shalat gerhana, maka ketika itu tidak ada shalat, tidak ada pula khutbah. (Lihat Fathul Bari hadits no. 1044).
sumber : buletin "al-Ilmu" edisi 22/V/IX/1434
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
~~~~~~~~~
Audio
:: Khutbah Shalat Khusuf al-Qomar (Gerhana Bulan) :::
Di Masjid Mahad as-Salafy Jember
Rabu malam, 14 Dzulhijjah 1435 H / 8 Oktober 2014
al-Ustadz al-Fadhil Luqman bin Muhammad Ba'abduh hafizhahullah
"Gerhana, salah satu Ayat Allah dan Peringatan dari-Nya"
Radio || Miratsul Anbiya Indonesia
Unduh di sini
https://www.dropbox.com/s/f4t4py1db1ljohs/Khutbah%20Shalat%20Khusuf%20al-Qomar%20-%20ust.Luqman.mp3?dl=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar