┏━ ❁✿❁ ━━━━━━━━━━━━━━┓
SEPULUH GOLONGAN
ORANG BERKAITAN DENGAN
PUASA BULAN RAMADHAN
┗━━━━━━━━━━━━━━ ❁✿❁ ━┛
✍🏼 Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله
6️⃣ ORANG MUSAFIR
Jika seseorang melakukan safar dengan maksud agar tidak melaksanakan puasa (di bulan Ramadhan), maka haram baginya untuk tidak berpuasa disafarnya, dia bahkan tetap wajib berpuasa disafarnya.
Apabila safarnya tersebut bukan untuk mencari alasan agar tidak berpuasa, maka dia boleh memilih untuk berpuasa atau tidak berpuasa disafar, baik safar yang dia lakukan itu adalah safar yang panjang waktunya maupun yang singkat, baik safarnya itu safar yang tiba-tiba karena ada sesuatu ataukah safar yang berlangsung terus menerus, seperti safarnya pilot dan safarnya sopir mobil (misalkan mobil antar propinsi, pen.).
Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. [البقرة: 185].
Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah : 185)
Dalam Shahihain, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
كُنّا نُسَافر مع النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِب الصائمُ على المُفطِر ولا المفْطِرُ على الصائمِ.
Artinya: "Kami bersafar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa, demikian pula sebaliknya orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa."
Dalam Shahih Muslim Dari Abu Sa’id Al-Khudhry radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
يَرْونَ أنَّ مَنْ وجَدَ قُوَّة فصَام فإنَّ ذلك حَسَنٌ، ويرونَ أنَّ منْ وجَدَ ضعْفاً فأفْطرَ فإنَّ ذلك حَسَنٌ.
Artinya: "Mereka memandang, siapa yang mendapati dirinya kuat sehingga dia berpuasa, itu adalah baik. Dan mereka memandang, siapa yang mendapati dirinya lemah sehingga dia tidak berpuasa, itu juga baik."
Dalam shahih Muslim dari Hamzah bin ‘Amr Al-Aslamy beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaih wasallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجِدُ بِى قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هِىَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ ».
Artinya "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mendapati diriku kuat untuk berpuasa di dalam safar, apakah aku berdosa (jika tetap berpuasa)? Beliau menjawab: "Itu merupakan keringanan dari Allah. Maka barangsiapa yang mengambil keringanan itu, maka baik, dan siapa yang suka untuk tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya."
Apabila sopir mobil (misalkan mobil antar propinsi, pen.) merasa berat untuk berpuasa di bulan Ramadhan di dalam safar disebabkan karena cuaca panas misalnya, maka dia boleh menunda puasanya sampai waktu dimana cuaca dingin dan mudah baginya untuk berpuasa.
Lebih utama bagi musafir untuk mengambil yang paling mudah baginya antara berpuasa atau tidak berpuasa di dalam safar.
Apabila keadaannya sama saja, maka berpuasa adalah lebih utama baginya, sebab yang demikian itu lebih mempercepat terlepasnya tanggungannya, dan lebih semangat baginya jika dia melaksanakannya bersama orang banyak. Dan karena itu juga merupakan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berkata Abu Darda radhiyallahu ‘anhu:
خَرَجنا مع النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في رمضانَ في حرٍّ شديدٍ، حتى إنْ كان أحَدُنا ليضع يَدَه على رأسِهِ من شدةِ الحرِّ، وما فينا صائمٌ إلاَّ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وعبدُالله بنُ رواحة.
Artinya: "Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadhan diwaktu cuaca sangat panas sampai-sampai diantara kami ada orang yang meletakkan tangan di atas kepalanya karena sangat panasnya matahari, dan tidak ada diantara kami yang berpuasa ketika itu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu." (HR.Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam pernah membatalkan puasanya karena demi menjaga para shahabat beliau, ketika sampai kepada beliau bahwa mereka kesulitan dalam berpuasa.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu:
أنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خرج إلى مكةَ عامَ الفتحِ فصامَ حتى بَلَغ كُرَاعَ الْغميمَ، فصامَ الناسُ معه فقيل له: إنَّ الناسَ قد شقَّ عليهم الصيامُ، وإنَّهم ينظُرونَ فيما فَعْلت، فَدعَا بقَدَحٍ مِن ماءٍ بعد العصر فشَربَ والناسُ ينظرون إليه. (رواه مسلم).
Artinya: ”Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam berangkat ke Makkah pada tahun fathu Makkah, beliau berpuasa sampai di Kura’ul Ghamim, orang-orang juga berpuasa bersama beliau. Lalu dikatakan kepada beliau: Sesungguhnya orang-orang kesulitan dalam berpuasa, dan mereka menanti apa yang akan engkau lakukan. Maka beliaupun meminta tempat air setelah shalat ashar lalu beliaupun minum dalam keadaan orang-orang melihat beliau." (HR.Muslim)
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudhry radhiyallahu ‘anhu;
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أتَى على نهرٍ من السَّماءِ والناسُ صيامٌ في يوم صائفٍ مُشاةً، ورسولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على بغلةٍ له، فقال: «أشْربُوا أيها الناسُ» فأبَوْا، فقال: «إنِّي لسْتُ مثلكُمْ، إنِّي أيْسرُكمْ، إني راكب»، فأبَوْا، فَثَنَى رسولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فخِذَه فنزلَ فشرب وشربَ الناسُ، وما كانَ يُرِيدُ أن يشربَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ». (رواه أحمد).
Artinya: ”Bahwasaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sungai dari hujan dalam keadaan orang-orang sedang berpuasa pada hari yang sangat panas menyengat, beliau sementara diatas begal beliau, beliau berkata: “Minumlah kalian wahai manusia”. Akan tetapi mereka enggan untuk minum. Beliaupun berkata: “Sesungguhnya aku tidaklah seperti kalian, aku adalah orang yang paling mudah (perjalanannya) diantara kalian, aku berkendaraan”. Namun mereka tetap enggan untuk minum. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampun menegakkan pahanya lalu turun dari kendaraannya dan beliaupun minum, maka manusiapun ikut minum, padahal beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya tidak ingin minum." (HR. Ahmad. Sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan dalam Al-Fathur Rabbany, dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Arna-auth dalam Musnad Ahmad bin Hanbal)
Apabila seorang musafir merasa berat untuk berpuasa, maka hendaklah dia berbuka puasa dan jangan dia berpuasa disafarnya.
Dalam hadits Jabir yang telah lewat, bahwaanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau membatalkan puasanya disaat puasa itu berat bagi orang-orang, disampaikan kepada beliau bahwa ada sebagian orang yang tetap berpuasa. Maka bealiaupun mengatakan:
أولَئِك العُصاةُ، أولئك العصاة.(رواه مسلم).
Artinya: “Mereka ini adalah orang-orang yang bermaksiat , Mereka ini adalah orang-orang yang bermaksiat." (HR. Muslim)
Juga dalam Shahihain dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah disuatu safar, beliau melihat ada kerumunan orang sementara ada seseorang yang dinaungi. Beliaupun bertanya:
«ما هذا؟» قالوا: صائمٌ، فقال: «ليس من البرِّ الصيامُ في السفر.
Artinya: ”Ada apa ini ? Mereka menjawab: Orang yang berpuasa. Maka beliaupun bersabda: Tidak termasuk kebaikan, berpuasa disafar."
Apabila seorang yang berpuasa melakukan safar ditengah hari ramadhan dan dia merasa berat untuk menyempurnakan puasanya, boleh baginya untuk membatalkan puasanya setelah dia keluar dari negerinya. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau berpuasa dan orang-orang juga berpuasa bersama beliau sampai di Kura'ul Ghamim, ketika beliau mendengar bahwa ada orang yang berat bagi mereka puasa, beliaupun membatalkan puasanya, sehingga orang-orangpun membatalkan puasa mereka juga.
Kira’ul Ghamim adalah gunung hitam yang ada di penghujung daerah Al-Harrah, gunung tersebut terbentang sampai ke suatu lembah yang disebut dengan lembah Al-Ghamim, berada diantara Ghusfan dan Marrizh Zhahran.
Apabila seorang musafir telah sampai di negerinya disiang hari ramadhan dalam keadaan tidak berpuasa, maka puasanya dihari tersebut tidaklah sah, sebab dia tidak berpuasa semenjak awal hari, sedangkan puasa itu tidaklah sah kecali jika dimulai semenjak terbitnya fajar.
Apakah dia mesti menahan (makan dan minum dan hal-hal yang membatalkan pusa untuk sisa harinya?
Dalam permasalahan ini para ulama berselisih.
Sebagian mereka berpendapat bahwa; ia wajib menahan diri untuk sisa hari tersebut sebagai penghormatan kepada waktu (bulan Ramadhan), dan dia juga wajib mengqadhanya, sebab pusanya dihari tersebut tidak sah. Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullah.
Sebagian yang lain dari ulama berpendapat: bahwa tiadak wajib baginya menahan diri untuk sisa hari tersebut, sebab dia tidak dapat mengambil manfaat dari menahannya tersebut, sebab dia tetap mesti mengqadhanya. Adapun berkatan dengan kehormatan waktu, maka yang demikian itu sudah hilang darinya dengan berbukannya dia diawal hari tersebut secara lahir dan bathin.
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: ”Barangsiapa yang telah makan diawal hari, maka hendaklah dia makan diakhirnya."
Maksudnya adalah, siapa yang telah halal baginya makan diawal hari karena suatu udzur, maka halal baginya makan diakhirnya. Dan ini adalah madzhab Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’iy,dan suatu riwayat dari Al-Imam ahmad.
Akan tetapi hendaklah dia tidak makan dan minum secara terang-terangan, karena sebab tidak puasanya dia tidak nampak, jangan sampai orang berprasangka jelek terhadapnya, atau bisa jadi ada orang yang akan mengkutinya.
BERSAMBUNG Insya Allah...
┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•
Tag: #10golongan
📚 Sumber :Kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah ver. Android dengan sedikit/beberapa perubahan.
✍🏼 Alih Bahasa : Al-Ustadz Muhammad Tasyrif Asbi Al-Buthony As-Salafy حفظه الله
➖➖➖
📚 WhatsApp Salafy Kendari
💻 Website Resmi || http://ahlussunnahkendari.com
📮 Channel Telegram || https://telegram.me/salafykendari
┏━ ❁✿❁ ━━━━━━━━━━━━━━┓
SEPULUH GOLONGAN
ORANG BERKAITAN DENGAN
PUASA BULAN RAMADHAN
┗━━━━━━━━━━━━━━ ❁✿❁ ━┛
✍🏼 Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله
7️⃣ ORANG SAKIT YANG DIHARAPKAN AKAN SEMBUH DARI SAKITNYA
Orang sakit yang diharapkan akan sembuh dari sakitnya ada tiga macam:
1). Puasa tidak berat baginya dan tidak pula membahayakan dirinya.
Orang sakit yang seperti ini tetap wajib atasnya berpuasa, sebab tidak ada baginya udzur yang membolehkan dia untuk tidak berpuasa.
2). Puasa berat baginya namun tidak membahayakan dirinya.
Orang sakit yang seperti ini boleh baginya untuk tidak berpuasa, berdasarkan firman Allah:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ. [البقرة: ١٨٥]
Artinya: ”Dan barangsiapa yang sakit atau sedang didalam safar, maka hendaklah dia mengganti puasanya dihari-hari yang lain (diluar bulan Ramadhan)." (QS.Al-Baqarah: 185)
Dimakruhkan baginya berpuasa jika dia merasa berat, sebab hal tersebut keluar dari keringan yang Allah berikan dan menyiksa diri.
Dalam hadits disebutkan:
«إن الله يُحب أن تُؤتى رُخَصُه كما يكرهُ أن تؤتى معْصِيتُه». رواه أحمد وابنُ حبان وابنُ خُزَيمة في صحيحيهما (١).
Artinya: ”Sesungguhnya Allah senang jika diambil keringanan-keringanan-Nya, sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan dilakukan." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
3). Jika puasa itu membahayakan dirinya, maka dia wajib tidak berpuasa, dan tidak boleh baginya berpuasa.
Sebab Allah berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً. [النساء: ٢٩]،
Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS.An-Nisa:29)
Dan Allah berfirman:
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ. [البقرة: ١٩٥]،
Artinya: ”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (Al-Baqarah:195)
Dan berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
«إنَّ لِنفْسكَ عليْك حقَّاً». رواه البخاري.
Artinya: ”Sesungguhnya untuk dirimu ada hak yang mesti engkau penuhi." (HR. Bukhary)
Diantara hak diri adalah engkau tidak boleh membahayakannya bersamaan dengan adanya keringanan dari Allah subhanah.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
«لا ضَررَ ولا ضرارِ»،
Artinya: "Tidak boleh membahayakan (orang lain), dan tidak boleh dibahayakan oleh orang lain." (HR. Ibnu Majah dan aal-Hakim. Berkata An-Nawawy rahimahullah bahwa hadits ini memiliki banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan yang lain)
Apabila seseorang sakit ditengah bulan Ramadhan dalam keadaan dia sedang berpuasa dan dia merasa berat untuk menyempurnakan puasanya, boleh baginya membatalkan puasanya karena adanya sesuatu yang membolehkan dia berbuka puasa.
Jika dia sembuh di siang hari Ramadhan dalam keadaan dia tidak berpuasa, maka tidak sah baginya untuk berpuasa hari tersebut, sebab dia sudah tidak berpuasa semenjak awal hari. Sedangkan puasa wajib tidaklah sah kecuali jika dimulai semenjak terbenamnya matahari.
Apakah dia wajib menahan diri untuk sisa harinya?
Dalam hal ini terdapat khilaf diantara para ulama, dan telah lewat penyebutannya pada pembahasan musafir yang baru tiba dari safarnya.
Apabila diketahui oleh kedokteran bahwasanya dengan berpuasa akan mengambuhkan penyakit tersebut, atau akan lama sembuhnya, boleh baginya untuk tidak berpuasa demi menjaga kesehatannya dan mencegahnya dari penyakit. Dan jika penyakitnya itu diharapkan akan sembuh, hendaklah dia menunggu sampai hilang penyakitnya lalu dia mengqadha puasa.
Sebaliknya, jika penyakitnya tidak lagi diharapkan kesembuhannya, maka hukumnya sama dengan hukum golongan yang kelima, yakni dia hendaknya berbuka, dan hendaknya dia memberi makan fakir miskin untuk setiap hari yang tidak dia puasakan.
BERSAMBUNG Insya Allah...
┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•
Tag: #10golongan
📚 Sumber : Kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah ver. Android dengan sedikit/beberapa perubahan.
✍🏼 Alih Bahasa : Al-Ustadz Muhammad Tasyrif Asbi Al-Buthony As-Salafy حفظه الله
➖➖➖
📚 WhatsApp Salafy Kendari
┏━ ❁✿❁ ━━━━━━━━━━━━━━┓
SEPULUH GOLONGAN
ORANG BERKAITAN DENGAN
PUASA BULAN RAMADHAN
┗━━━━━━━━━━━━━━ ❁✿❁ ━┛
✍🏼 Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله
8️⃣ WANITA HAID DAN NIFAS
Wanita haidh diharamkan baginya berpuasa, dan tidak sah puasa darinya.
Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang wanita:
« مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا. »، متفق عليه.
Artinya: "Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan agama namun dapat menghilangkan kecerdasan seorang lelaki dibandingkan salah seorang diantara kalian”. Mereka (para wanita) bertanya: Apa kekurangan agama dan akal kami ya Rasulullah? Jawab beliau: ”Bukankah persaksian seorang wanita sebanding dengan persaksian setengah orang laki-laki? Kata mereka: benar. Kata beliau: “Itulah diantara kurangnya akal mereka”. Beliau bertanya lagi: “Bukankah wanita jika haidh dia tidak shalat dan tidak puasa?” Jawab mereka: ya. Kata beliau: ”Itulah diantara kurangnya agamanya." (Muttafaq ‘alaih)
Haidh adalah darah yang biasa didapati oleh wanita pada hari-hari yang telah diketahui.
Apabila wanita melihat darah tersebut dalam keadaan dia sedang berpuasa, walaupun hanya sesaat sebelum terbenamnya matahari, maka batal puasanya dihari tersebut. Dan dia mesti mengqadhanya (di hari yang lain diluar bulan ramadhan), kecuali jika puasanya itu adalah puasa sunnah, maka mengqadhanya juga sunnah hukumnya dan tidak wajib.
Apabila wanita haidh suci dari haidhnya ditengah hari bulan Ramadhan, maka tidak sah puasanya untuk sisa hari itu, sebab sejak awal harinya telah ada yang mencegah sahnya puasa pada dirinya.
Apakah dia mesti menahan diri (dari makan dan minum) untuk sisa hari tersebut?
Dalam hal ini terdapat khilaf diantara para ulama, dan telah lewat penyebutannya pada pembahasan tentang orang musafir yang kembali kenegerinya dalam keadaan dia tidak berpuasa.
Apabila wanita haidh telah suci dari haidhnya dimalam bulan ramadhan sekalipun beberapa saat sebelum terbit sebelum fajar, maka wajib atasnya berpuasa, sebab dia termasuk orang yang wajib berpuasa ketika itu, dan tidak ada sesuatu yang menghalanginya untuk berpuasa, maka dia wajib untuk berpuasa.
Dan puasanya dihari tersebut dianggap sah sekalipun dia belum mandi bersih kecuali setelah terbitnya fajar, sama halnya dengan orang yang junub apabila dia berpuasa dalam keadaan dia belum mandi janabah kecuali setelah terbit fajar, maka puasanya tetap sah.
Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu anha:
«كان النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصبحُ جُنُباً من جماعٍ غير احتلامٍ ثم يصومُ في رَمضانَ»، متفق عليه.
Artinya: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya berada di waktu shubuh dalam keadaan junub karena jimak, bukan karena mimpi, kemudian beliau berpuasa di bulan Ramadhan." (Muttafaq ‘alaih)
Wanita nifas sama dengan wanita haidh pada semua (pembahasan) yang telah lewat.
Wajib bagi wanita haidh atau nifas mengqadha puasanya sesuai jumlah hari yang tidak dia puasakan.
Ini berdasarkan firman Allah:
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ . [البقرة: 184].
Artinya: "… maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS.Al-Baqarah:184)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya:
ما بالُ الحائضِ تقضي الصومَ ولا تقضي الصلاة؟ قالتْ: «كان يصيبُنَا ذلك فنؤمرُ بقضاء الصومِ ولا نؤمرُ بقضاء الصلاة»، رواه مسلم ).
Artinya: "Ada apa dengan wanita, mengapa mereka mengqadha puasa tetapi tidak mengqadha shalat?” Beliau menjawab:”Kami dahulu mendapatkan yang demikian, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat." (HR. Muslim)
BERSAMBUNG Insya Allah...
┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•
Tag: #10golongan
📚 Sumber : Kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah ver. Android dengan sedikit/beberapa perubahan.
✍🏼 Alih Bahasa : Al-Ustadz Muhammad Tasyrif Asbi Al-Buthony As-Salafy حفظه الله
➖➖➖
📚 WhatsApp Salafy Kendari
💻 Website Resmi || http://ahlussunnahkendari.com
📮 Channel Telegram || https://telegram.me/salafykendari
┏━ ❁✿❁ ━━━━━━━━━━━━━━┓
SEPULUH GOLONGAN
ORANG BERKAITAN DENGAN
PUASA BULAN RAMADHAN
┗━━━━━━━━━━━━━━ ❁✿❁ ━┛
✍🏼 Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله
9️⃣ WANITA YANG SEDANG MENYUSUI ATAU HAMIL
Wanita yang sedang menyusui atau hamil yang khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya jika dia berpuasa, maka hendaklah dia tidak berpuasa.
Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik Al-Ka’by radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ ، أَوِ الصِّيَامَ ». (أخرجه الخمسة، وهذا لفظ ابن ماجة).
Artinya: ”Sesungguhnya Allah menggugurkan dari orang musafir separoh shalat, dan Allah menggugurkan dari orang musafir dan dari wanita hamil dan menyusui puasa." (HR. Lima perawi hadits, dan lafazh ini adalah riwayat Ibnu Majah)
Dan diwajibkan baginya mengqadha puasanya sesuai jumlah hari yang tidak dipuasakan ketika dia mendapat kemudahan untuk itu dan telah hilang rasa kekhawatiran tersebut darinya, sebagaimana orang sakit jika telah sembuh dari sakitnya.
BERSAMBUNG Insya Allah...
┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•
Tag: #10golongan
📚 Sumber : Kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah ver. Android dengan sedikit/beberapa perubahan.
✍🏼 Alih Bahasa : Al-Ustadz Muhammad Tasyrif Asbi Al-Buthony As-Salafy حفظه الله
➖➖➖
📚 WhatsApp Salafy Kendari
💻 Website Resmi || http://ahlussunnahkendari.com
📮 Channel Telegram || https://telegram.me/salafykendari
┏━ ❁✿❁ ━━━━━━━━━━━━━━┓
SEPULUH GOLONGAN
ORANG BERKAITAN DENGAN
PUASA BULAN RAMADHAN
┗━━━━━━━━━━━━━━ ❁✿❁ ━┛
✍🏼 Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله
🔟 ORANG YANG BUTUH UNTUK MEMBATALKAN PUASA DEMI UNTUK MENCEGAH BAHAYA YANG SEDANG MENIMPA ORANG LAIN
Orang yang butuh untuk membatalkan puasa demi untuk mencegah bahaya yang sedang menimpa orang lain, seperti menyelamatkan seseorang dari tenggelam atau kebakaran, atau tertimpa reruntuhan atau semacamnya.
Jika dia tidak mungkin bisa menyelamatkannya kecuali dengan memperkuat dirinya dengan makan atau minum, maka boleh baginya membatalkan puasanya, bahkan wajib untuk dia membatalkan puasanya ketika itu, sebab menyelamatkan orang dari bahaya adalah wajib, dan apa saja yang tidak bisa sempurna sesuatu kecuali dengannya, maka sesuatu itu menjadi wajib pula. Dan dia wajib mengqadha puasa yang telah dia batalkan tersebut.
Sebagai contoh lain adalah, orang yang butuh membatalkan puasa demi untuk memperkuat dirinya dalam berjihad fi sabilillah dalam melawan musuh, maka dia boleh membatalkan puasanya serta mengqadha yang telah dia batalkan, baik peperangannya itu di dalam safar ataukah hanya di kampungnya saja ketika musuh sedang menyerang, sebab padanya terdapat pembelaan terhadap kaum muslimin dan penegakkan terhadap kalimat Allah ‘azza wa jalla
Dalam shahih Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudhry radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
سافَرْنا مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلى مكةَ ونحنْ صيامٌ فنَزلْنا منْزلاً فقال رسولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنكم قد دَنَوْتم مِنْ عدوِّكم والْفِطرُ أقْوى لكم» فكانتْ رخصةً فمِنَّا مَنْ صامَ ومنا مَنْ أفْطر، ثم نزلنا منزلاً آخرَ فقال رسولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنكم مُصَبِّحو عدوِّكم والفطرُ أقوى لكم فأفْطرِوا وكانتْ عزمْةً فأفْطَرنا».
Artinya: ”Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Makkah dalam keadaan kami berpuasa, maka kami singgah di suatu persinggahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ”Sesungguhnya kalian sudah dekat dengan musuh, sedangkan membatalkan puasa itu lebih membikin kuat untuk kalian”. Ini adalah keringanan, sehingga diantara kami ada yang tetap melanjutkan puasanya dan diantara kami ada yang membatalkannya. Kemudian kami singgah lagi di suatu persinggahan yang lain, maka berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya kalian akan menyerang musuh di pagi hari, sedangkan tidak berpuasa itu lebih menguatkan kalian, maka batalkanlah puasa kalian”. Ini adalah kemestian, maka kamipun membatalkan puasa kami,"
Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa kekuatan di dalam berperang merupakan sebab (alasan) tersendiri selain dari alasan safar, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan alasan untuk memerintahkan mereka membatalkan puasanya adalah demi mendapatkan kekuatan ketika melawan musuh, bukan alasan safar. Karena itu dipersinggahan yang pertama, beliau tidak menyuruh mereka untuk membatalkan puasa.
BERSAMBUNG Insya Allah...
┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•
Tag: #10golongan
📚 Sumber : Kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah ver. Android dengan sedikit/beberapa perubahan.
✍🏼 Alih Bahasa : Al-Ustadz Muhammad Tasyrif Asbi Al-Buthony As-Salafy حفظه الله
➖➖➖
📚 WhatsApp Salafy Kendari
💻 Website Resmi || http://ahlussunnahkendari.com
📮 Channel Telegram || https://telegram.me/salafykendari
┏━ ❁✿❁ ━━━━━━━━━━━━━━┓
SEPULUH GOLONGAN
ORANG BERKAITAN DENGAN
PUASA BULAN RAMADHAN
┗━━━━━━━━━━━━━━ ❁✿❁ ━┛
✍🏼 Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله
[PENUTUP]
Semua orang yang diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa dengan suatu sebab (dari sebab-sebab) yang telah dikemukakan diatas, dia tidak boleh diingkari (ketika dia tidak berpuasa), jika penyebabnya nampak jelas, seperti sakit dan tua renta yang tidak bisa lagi berpuasa.
Adapun jika penyebab tidak puasanya seseorang tidak nampak, seperti haidh, atau orang yang akan menolong orang lain yang sedang ditimpa bahaya, maka hendaklah dia membatalkan puasanya secara sembunyi-sembunyi dan jangan dia nampakkan (kepada manusia), agar supaya dia tidak dituduh sembarangan, dan agar supaya orang yang tidak mengetahui keadaannya tidak akan terpedaya dengannya, sehingga dia menyangka bahwa tidak berpuasa tanpa udzur itu boleh saja.
Setiap orang yang dimestikan baginya mengqadha puasa dari golongan-golongan yang telah lewat penjelasannya, wajib baginya mengqadha sesuai dengan jumlah hari yang tidak dia puasakan.
Berdasarkan firman Allah:
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.
Artinya: ”… maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS.Al-Baqarah:184)
Jika dia tidak berpuasa sebulan penuh, maka mesti bagi dia untuk (mengqadha) seluruh harinya. Sehingga jika bulan tersebut jumlah harinya 30 hari, dia wajib mengqadha sebanyak 30 hari, dan jika jika bulan tersebut jumlah harinya 29 hari, maka dia hanya wajib mengqadha sebanyak 29 hari saja.
Yang lebih utama adalah bersegera melaksanakan qadha puasa ketika telah hilang udzur, sebab yang demikian itu lebih bersegera dalam kebaikan dan lebih cepat terlepasnya beban dari pundak.
Diperbolehkan menunda pelunasan qadha puasa sampai jarak antara Ramadhan itu dengan Ramadhan berikutnya sejumlah hari-hari yang wajib diqadha.
Berdasarkan firman Allah:
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ.
Artinya: ”… maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.“ (QS.Al-Baqarah:184)
Dan termasuk kesempurnaan kemudahan adalah bolehnya menunda qadha puasa.
Jika puasa yang wajib diqadha jumlahnya 10 hari, boleh baginya untuk menunda qadha puasanya sampai antara Ramadhan itu dengan yang berikutnya tersisa waktu 10 hari saja.
Dan tidak boleh menunda qadha puasa sampai masuk Ramadhan berikutnya tanpa ‘udzur.
Dalilnya adalah ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَان يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ. (رواه البخاري.)
Artinya: “Aku biasanya memiliki hutang puasa Ramadhan, dan aku tidak mampu untuk mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban." (HR. Bukhary)
Dan juga bahwa apabila ditunda (qadhanya), maka akan menumpuk, dan bisa jadi dia tidak bisa mengqadhanya sampai dia mati. Dan karena puasa itu adalah ibadah yang berulang-ulang, maka tidak boleh yang pertama ditunda sampai pada waktu yang kedua, seperti shalat misalnya.
Apabila udzur yang ada pada dirinya berlangsung terus sampai dia meninggal dunia, maka tidak ada kewajiban sesuatupun atasnya, karena Allah telah mewajibkan atasnya untuk mengqadha dihari-hari yang lain (diluar bulan Ramadhan), sedangkan dia tidak memungkinkan untuk mengqadha, maka gugurlah kewajiban itu darinya, sebagaimana orang yang mati sebelum bulan Ramadhan, dia tidak wajib berpuasa untuk bulan tersebut.
Jika dia memungkinkan untuk mengqadha, akan tetapi ada kelalaian darinya sehingga dia meninggal dunia dia tidak sempat mengqadha, maka walinya yang berpuasa atas namanya untuk seluruh hari yang memungkinkan dia unuk mengqadhanya tersebut.
Dalilnya adalah, hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ ماتَ وعليه صيامٌ صامَ عنه وليُّه. (متفق عليه).
Artinya: ”Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan dia memiliki hutang puasa, maka walinya yang menggantikan puasa atas namanya." (Muttafaq ‘alaih)
Wali yang dimaksud adalah ahli waris atau kerabatnya.
Dibolehkan (dalam mengqadha puasa orang yang telah meninggal tersebut) sejumlah orang sekaligus berpuasa atas namanya dalam satu hari.
Berkata Al-Imam Al-Bukhary rahimahullah; berkata Al-Hasan: “Jika berpuasa untuknya tiga puluh orang sekaligus dalam satu hari, maka boleh”.
Jika (orang yang telah meninggal tersebut) tidak memiliki wali, atau (ada walinya) namun mereka tidak mau berpuasa atas namanya, maka hendaknya diberi makanan atas namanya dari harta peninggalannya, untuk setiap satu hari yang tidak dia puasakan satu orang miskin, sesuai dengan jumlah hari yang memungkinkan bagi dia untuk mengqadhanya sewaktu hidupnya. Setiap satu orang miskin diberi satu mud gandum bagus, yakni seukuran setengah kilo sepuluh gram.
Wallahu a’lamu bishshawab
┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•
Tag: #10golongan
📚 Sumber : Kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah ver. Android dengan sedikit/beberapa perubahan.
✍🏼 Alih Bahasa : Al-Ustadz Muhammad Tasyrif Asbi Al-Buthony As-Salafy حفظه الله
➖➖➖
📚 WhatsApp Salafy Kendari
💻 Website Resmi || http://ahlussunnahkendari.com
📮 Channel Telegram || https://telegram.me/salafykendari
Lihat juga:
Sepuluh Golongan Orang Berkaitan dengan Puasa Bulan Ramadhan (1-5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar