Tampilkan postingan dengan label MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Februari 2018

Al-Hakam ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷🌈☀️1⃣3⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 Al-Hakam 🔰

📝 Al-Hakam adalah salah satu dari Al-Asma’ul Husna, sebagaimana tersebut dalam hadits berikut ini:

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ يَزِيدَ -يَعْنِى ابْنَ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْحٍ- عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ شُرَيْحٍ عَنْ أَبِيهِ هَانِئٍ أَنَّهُ لَمَّا وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ مَعَ قَوْمِهِ سَمِعَهُمْ يَكْنُونَهُ بِأَبِى الْحَكَمِ فَدَعَاهُ رَسُولُ اللهِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ هُوَ الْحَكَمُ، وَإِلَيْهِ الْحُكْمُ فَلِمَ تُكْنَى أَبَا الْحَكَمِ؟ قَالَ: إِنَّ قَوْمِي إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ أَتَوْنِي فَحَكَمْتُ بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ كِلاَ الْفَرِيقَيْنِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : مَا أَحْسَنَ هَذَا، فَمَا لَكَ مِنَ الْوَلَدِ؟ قَالَ: لِي شُرَيْحٌ وَمُسْلِمٌ وَعَبْدُ اللهِ. قَالَ: فَمَنْ أَكْبَرُهُمْ؟ قُلْتُ: شُرَيْحٌ. قَالَ: فَأَنْتَ أَبُو شُرَيْحٍ.

Abu Dawud mengatakan: Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Nafi dari Yazid yakni Ibnul Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya dari kakeknya, Syuraih, dari ayahnya, Hani’ bahwa ketika ia datang sebagai utusan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama kaumnya, Nabi mendengar mereka memanggil kunyahnya (yakni julukan dengan didahului kata abu), ‘Abu Al-Hakam’. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata kepadanya:

“Sesungguhnya Allah-lah Al-Hakam dan kepada-Nyalah makhluk berhukum. Kenapa kunyahmu disebut Abu Al-Hakam?” Ia menjawab: “Sesungguhnya bila kaumku berselisih dalam suatu urusan, mereka mendatangiku lalu aku putuskan hukum di antara mereka sehingga kedua belah pihak rela.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Betapa bagusnya perbuatanmu ini. Siapa nama anak-anakmu?” “Saya punya anak bernama Syuraih, Muslim, dan Abdullah,” jawabnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapakah yang terbesar?” Aku menjawab: “Syuraih.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam katakan: “Kalau begitu engkau adalah Abu Syuraih.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4957)

📌 Makna Al-Hakam

Al-Hakam sama dengan Al-Haakim, yakni Yang menetapkan hukum. Adapun kata hukum dalam bahasa Arab pada asalnya bermakna: mencegah kerusakan dan kezaliman serta menyebarkan keadilan dan kebaikan. (Shifatullah Al-Waridah fil Kitab was Sunnah hal. 88)

Al-Baghawi mengatakan: “Al-Hakam adalah Al-Haakim. Yaitu Yang bila menetapkan suatu hukum maka hukumnya tidak bisa ditolak atau dihindari. Sifat ini tidak pantas untuk selain Allah subhanahu wa ta'ala. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَاللّهُ يَحْكُمُ لاَ مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya.” (Ar-Ra’d: 41)

Susunan kalimat (dalam hadits) khabar (Al-Hakam) yang didahului dengan dhamir fashl (huwa) menunjukkan pembatasan sifat itu hanya pada Allah subhanahu wa ta'ala. Maka sifat ini khusus bagi-Nya saja, tidak melampaui yang lain. (dinukil dari kitab Taisir Al-Aziz Al-Hamid hal. 616)

Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Yakni Dialah yang berhak menjadi hakim atas hamba-Nya. Adapun hukum Allah subhanahu wa ta'ala itu terbagi menjadi dua:

Pertama, hukum kauni, alam.

Terhadap hukum yang ini, tiada yang dapat menolaknya. Tak seorangpun. Di antara ayat yang menunjukkan demikian:

فَلَنْ أَبْرَحَ الأَرْضَ حَتَّىَ يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللّهُ لِي وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi ketentuan/ keputusan terhadapku. Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (Yusuf: 80)

Kedua, hukum syar’i.

Di hadapan hukum syar’i, manusia terbagi menjadi dua golongan, mukmin dan kafir. Maka yang ridha dengannya dan berhukum dengannya adalah mukmin. Sedangkan yang tidak ridha dan juga tidak berhukum dengannya maka kafir. Di antara ayat yang menunjukkan demikian adalah:

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Asy-Syura: 10) [Al-Qaulul Mufid, 3/23-24 dengan diringkas]

As-Sa’di mengatakan: “Di antara nama-nama Allah adalah Al-Hakam Al-‘Adl, yang menghukumi di antara hamba-hamba-Nya di dunia dan di akhirat nanti dengan keadilan-Nya. Sehingga Ia tidak akan menzalimi walaupun seberat semut kecil. Tidak akan menimpakan dosa seseorang kepada orang lain. Sehingga Ia tidak memberikan balasan kepada seseorang lebih dari dosanya. Allah subhanahu wa ta'ala akan sampaikan hak kepada masing-masing yang berhak mendapatkannya, sehingga tidak ia biarkan seorang pun yang punya hak melainkan haknya akan sampai kepadanya. Dan Dia Yang Adil dalam pengaturannya:

إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56)

Hakim Yang Adil, yang kepada-Nyalah kembalinya hukum segala sesuatu. Maka Allah subhanahu wa ta'ala menghukumi dengan syariat-Nya dan Dia menerangkan kepada hamba-Nya seluruh cara yang dengannya diadili di antara dua pihak yang bertikai, dan diputuskan antara dua pihak yang berselisih dengan cara-cara yang adil dan hikmah. Dia menghukumi di antara manusia pada apa yang mereka perselisihkan. Allah subhanahu wa ta'ala menghukumi padanya dengan hukum qadha dan qadar, sehingga berjalan pada mereka hukum tersebut sesuai dengan hikmahnya. Dia letakkan segala sesuatu pada tempatnya dan menempatkannya pada posisinya. Dia memutuskan di antara mereka pada hari pembalasan dan pada hari perhitungan, menghukumi di antara mereka dengan kebenaran. Makhluk pun memuji-Nya atas hukum-Nya, sampaipun yang Allah subhanahu wa ta'ala putuskan siksa untuk mereka. Mereka mengakui keadilan Allah subhanahu wa ta'ala dan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala tidak menzalimi mereka walupun seberat semut kecil.” (Tafsir Al-Asma’ul Husna karya As-Sa’di)

📌 Buah Mengimani Nama Allah Al-Hakam

Dengan mengimani nama Allah subhanahu wa ta'ala tersebut maka akan menumbuhkan ketundukan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena mengakui akan kebesaran dan kemampuan-Nya, serta mengetahui kelemahan makhluk dan keterbatasan mereka. Juga membuahkan rasa takut kepada-Nya, karena di akhirat kelak, Allah subhanahu wa ta'ala akan menghukumi dengan keadilan yang hakiki. Kalaulah bukan karena rahmat-Nya niscaya kita akan diazab-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-hakam/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡

Sabtu, 17 Februari 2018

Al-Jawwad ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷🌈☀️1⃣2⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 Al-Jawwad 🔰

📝 Di antara Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jawwad (الْجَــوَّادُ) Yang Maha Dermawan. Nama Allah subhanahu wa ta'ala ini tersebut dalam sebuah hadits dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ جَوَّادٌ يُحِبُّ الْجُوْدَ وَيُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأَخْلاَقِ وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا

“Sesungguhnya Allah itu Jawwad (Maha Dermawan) mencintai kedermawanan dan mencintai akhlak yang luhur, serta membenci akhlak yang rendah.” (Shahih, HR. Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dan Asy-Syasyi dalam Musnad-nya, 1/80, Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dalam Hilyatul Auliya. Asy-Asyaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir no. 1744)

Dalam hadits yang lain, hadits qudsi:

وَلَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَحَيَّكُمْ وَمَيِّتَكُمْ وَرَطْبَكُمْ وَيَابِسَكُمُ اجْتَمَعُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْكُمْ مَا بَلَغَتْ أُمْنِيَّتُهُ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ سَائِلٍ مِنْكُمْ ما سَأَلَ ما نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي إِلاَّ كَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ مَرَّ بِالْبَحْرِ فَغَمَسَ فِيْهِ إِبْرَهُ ثُمَّ رَفَعَهَا إِلَيْهِ، ذَلِكَ بِأَنِّيْ جَوَّادٌ مَاجِدٌ أَفْعَلُ ما أُرِيدُ، عَطَائِي كَلَامٌ وَعَذَابِي كَلَامٌ، إِنَّمَا أَمْرِي لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْتُهُ أَنْ أَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Dan seandainya yang pertama di antara kalian (hamba-hamba-Ku) hingga yang akhir di antara kalian yang hidup dan yang mati di antara kalian, yang basah maupun yang kering di antara kalian, berkumpul dalam satu hamparan. Lantas setiap orang di antara kalian meminta sesuatu hingga akhir yang dia angan-angankan, lalu Aku beri semuanya apa yang dia minta, maka itu tidak akan mengurangi sebagianpun dari kerajaan-Ku kecuali seperti jika seseorang di antara kalian melewati sebuah lautan lalu mencelupkan jarumnya ke dalamnya lalu mengangkatnya lagi. Hal itu karena Aku adalah Jawwad (Maha Dermawan) Maha Mulia. Aku berbuat semauku, pemberian-Ku adalah ucapan (tinggal mengucap) dan azab-Ku adalah ucapan (tinggal mengucap). Sesungguhnya perintah-Ku terhadap sesuatu adalah bila Aku menghendakinya tinggal mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’ maka akan terjadi.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, Kitab Shifatul Qiyamah bab 48 no. hadits 2495, lihat takhrijnya dalam kitab Al-Mathlabul Asna min Asma`illahil Husna hal. 50 karya Isham Al-Murri)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

Dialah Yang Maha Dermawan,

meliputi seluruh alam dengan keutamaan dan kebaikan-Nya

Dialah Yang Maha Dermawan,

tidak akan menelantarkan siapa yang memohon-Nya sekalipun dari umat yang kafir

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah menerangkan:

“Al-Jawwad adalah Yang memiliki sifat kedermawanan yang tinggi, yaitu memiliki kebaikan dan keutamaan yang banyak. Kedermawanan Allah subhanahu wa ta'ala itu ada dua macam:

1. Kedermawanan yang mutlak, mencakup seluruh makhluk. Tidak ada sesuatupun dari makhluk melainkan memperolehnya. Semuanya telah Allah subhanahu wa ta'ala beri karunia dan kebaikan dari-Nya.

2. Kedermawanan yang khusus untuk mereka yang memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala, baik mereka meminta secara terus terang dengan ucapan atau dengan kondisi mereka yang mengharapkan kebaikan-Nya, baik yang meminta tersebut seorang mukmin atau seorang kafir, seorang yang baik ataupun yang jahat. Maka barangsiapa yang meminta kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan sungguh-sungguh dalam meminta-Nya, benar-benar mengharap karunia-Nya, dengan merasa hina dan butuh di hadapan-Nya, niscaya Allah subhanahu wa ta'ala akan berikan apa yang ia pinta dan Allah subhanahu wa ta'ala akan sampaikan apa yang dia cari. Karena Dia Maha banyak kebaikan-Nya dan Maha Kasih Sayang…” (Syarh Nuniyyah, 2/95-96)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan:

“Al-Jawwad yakni bahwa Allah subhanahu wa ta'ala adalah Yang Maha Dermawan secara mutlak. Kedermawanan-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta'ala penuhi alam dengan keutamaan dan kedermawanan-Nya serta nikmat-Nya yang beraneka ragam. Allah subhanahu wa ta'ala juga memberikan kedermawanan-Nya yang lebih khusus kepada orang-orang yang memohon kepada-Nya baik secara langsung dengan kata-kata ataupun (secara tidak langsung) dengan keadaannya. Baik dia seorang yang baik, yang jahat, muslim maupun kafir sekalipun. Maka barangsiapa yang memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala, Ia akan memberikan apa yang dia mohon, menyampaikan apa yang dia pinta, karena Ia Maha Pemurah dan Maha Pengasih….” (Taisir Al-Karimirrahman, pada penjelasan surat An-Nahl: 53)

Di antara kedermawanan-Nya yang luas adalah apa yang Allah subhanahu wa ta'ala sediakan untuk para wali-Nya di negeri kenikmatan. Sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbayangkan oleh pikiran manusia. Dan Yang Maha Dermawan adalah yang meratakan kedermawanan-Nya kepada seluruh penduduk langit dan bumi. Tidak ada pada seorang hambapun dari suatu nikmat melainkan dari-Nya. Dialah yang bila kecelakaan menimpa manusia, kepada-Nyalah mereka kembali, kepada-Nya mereka berdoa. Tidak satu makhlukpun lepas dari kebaikan-Nya walau sekejap mata. Akan tetapi hamba-hamba-Nya berbeda dalam memperoleh kedermawanan-Nya, seukuran dengan apa yang Allah subhanahu wa ta'ala karuniakan kepada mereka berupa sebab-sebab yang mendatangkan kedermawanan dan kemurahan-Nya. Dan yang terbesarnya adalah berupa kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala secara lahiriah dan amal batin. Juga amal berupa ucapan, perbuatan, dan amal dengan harta benda, serta untuk mewujudkannya adalah dengan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbuat atau diam. (Tafsir Asma`illah Al-Husna)

📌 Buah Mengimani Nama Allah Al-Jawwad

Di antara buahnya adalah mengetahui keluasan karunia-Nya di dunia ini, di mana tidak ada sesuatupun yang tidak mendapatkan bagian dari karunia-Nya. Dengan mengimaninya kita mengetahui kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya dan memuji-Nya.

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-jawwad/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡

Rabu, 14 Februari 2018

Al-Hakim ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷🌈☀️1⃣1⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 Al-Hakim 🔰

📝 Salah satu Asma’ul Husna adalah الْحَكِيمُ (Al-Hakim). Artinya, Yang memiliki hikmah yang tinggi dalam penciptaan-Nya dan perintah-perintah-Nya, Yang memperbagus seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (Al-Ma’idah: 50)

Maka, Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia dan tidak akan mensyariatkan sesuatu yang tiada manfaatnya.

Artinya juga adalah Yang memiliki hukum di dunia dan akhirat. Milik-Nyalah tiga macam hukum yang tidak seorangpun menyertai-Nya. Dialah yang menghukumi di antara hamba-Nya, dalam (1) syariat-Nya, (2) taqdir-Nya, dan (3) pembalasan-Nya. Hikmah artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. (Tafsir As-Sa’di, hal. 947)

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya?” (At-Tin: 8)

وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (Yusuf: 80)

Dalam hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya, dia berkata:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ. قَالَ: قُلْ: لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ. قَالَ: فَهَؤُلَاءِ لِرَبِّي، فَمَا لِي؟ قَالَ: قُلْ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

“Seorang Arab badui datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Ajarkan kepadaku sebuah ucapan yang aku bisa mengamalkannya.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ‘Ucapkanlah:

لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

‘Tiada ilah yang benar kecuali Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, Maha Suci Allah Rabb sekalian alam, tiada daya untuk memindah dari suatu keadaan kepada keadaan lain serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Memiliki Hikmah.’ Maka Arab badui tadi mengatakan: ‘Ucapan-ucapan itu untuk Rabb-ku. Lantas apa yang untukku?’ Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: ‘Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

‘Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikan petunjuk kepadaku dan berikan rizki kepadaku’.” (Shahih, HR. Muslim, 4/2074)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Hikmah Allah subhanahu wa ta'ala ada dua macam:

Pertama, hikmah dalam penciptaan-Nya. Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala menciptakan makhluk-Nya dengan benar dan mengandung kebenaran. Allah subhanahu wa ta'ala menciptakan makhluk seluruhnya dengan sebaik-baik aturan. Allah subhanahu wa ta'ala juga mengaturnya dengan aturan yang paling sempurna. Kepada setiap makhluk Allah subhanahu wa ta'ala berikan pula postur yang sesuai dengannya. Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala memberikan bentuk masing-masing kepada setiap bagian dari bagian-bagian makhluk dan setiap anggota tubuh dari makhluk itu. Sehingga setiap orang tidak akan melihat pada ciptaan-Nya ada kekurangan atau cacat.

Seandainya seluruh makhluk dari awal hingga akhir bersatu padu untuk mengusulkan suatu bentuk penciptaan seperti ciptaan Allah subhanahu wa ta'ala atau yang mendekati ketetapan Allah subhanahu wa ta'ala pada makhluk-Nya berupa keindahan dan keteraturan, maka mereka tidak akan mampu. Darimana mereka akan mampu melakukannya, meski sedikit saja?

Cukuplah bagi para ahli hikmah atau para cendekiawan untuk mengetahui banyak hal dari hikmah-hikmah Allah subhanahu wa ta'ala dan melihat sebagian keindahan dan ketelitian yang ada padanya. Ini merupakan suatu hal yang sangat diketahui secara pasti, berdasarkan apa yang diketahui dari keagungan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Juga dengan menelusuri hikmah-hikmah-Nya dalam penciptaan dan perintah-perintah-Nya.

Allah subhanahu wa ta'ala juga telah menantang hamba-hamba-Nya untuk memerhatikan serta berulangkali melihat dan memerhatikan lagi: Apakah mereka mendapati pada makhluk-Nya ada kekurangan dan cacat, dan bahwa pandangan mereka tentu akan kembali dalam keadaan lemah untuk mengkritik sedikit saja dari makhluk-Nya.

Kedua, hikmah dalam syariat dan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala meletakkan syariat-syariat dan menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul agar mereka memperkenalkan Allah subhanahu wa ta'ala kepada hamba-hamba-Nya dan agar hamba-hamba beribadah kepada-Nya. Hikmah mana lagi yang lebih agung darinya? Dan keutamaan serta kemuliaan apa yang lebih besar darinya? Sesungguhnya mengenal Allah subhanahu wa ta'ala dan beribadah kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya serta mengikhlaskan amal kepada-Nya, memuji-Nya, bersyukur kepada-Nya, menyanjung-Nya, itu merupakan karunia-Nya yang terbesar kepada hamba-hamba-Nya secara mutlak. Keutamaan yang terbesar bagi orang yang Allah subhanahu wa ta'ala beri karunia kepadanya dan kebahagiaan yang sempurna bagi qalbu dan arwah. Sebagaimana hal itu juga merupakan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal. Kalaulah tidak ada dalam syariat-Nya dan perintah-Nya kecuali hikmah yang agung ini –yang mana hal itu merupakan asal usul segala kebaikan dan kenikmatan yang paling sempurna, karenanyalah diciptakan makhluk dan (karenanya) berhak mendapatkan pembalasan, (bahkan karenanya juga) diciptakan al-jannah (surga) dan an-nar (neraka)– maka itu sudah cukup.

Demikianlah. Padahal syariat dan agama-Nya mencakup segala kebaikan. Berita-berita-Nya memenuhi qalbu dengan ilmu, yakin, dan iman. Dengan itulah qalbu menjadi istiqamah dan selamat dari penyelewengan. Juga membuahkan segala akhlak yang indah, amal shalih, petunjuk, dan bimbingan. Perintah-perintah dan larangan-Nya mencakup hikmah, maslahat dan perbaikan tertinggi di dunia dan akhirat. Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala tidaklah memerintahkan kecuali sesuatu yang maslahatnya murni (tidak mengandung mafsadah) atau lebih besar (dari mafsadahnya). Dan tidaklah Allah subhanahu wa ta'ala melarang kecuali sesuatu yang mafsadah (kerusakan)nya murni atau lebih besar (dari maslahatnya).

Di antara hikmah syariat Islam di samping itu adalah sebagai maslahat terbesar bagi qalbu, akhlak, dan amal serta istiqamah dalam jalan yang lurus, hal itu juga maslahat terbesar bagi (urusan) dunia. Sehingga urusan dunia tidak akan menjadi baik dengan kebaikan yang hakiki, kecuali dengan agama yang haq, yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini perkara yang bisa dirasakan dan disaksikan oleh setiap orang yang berakal. Karena sesungguhnya umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala menegakkan agama ini, baik pokok maupun cabangnya, juga seluruh petunjuk dan bimbingannya, maka keadaan mereka akan sangat baik dan mapan. Tapi tatkala mereka melenceng darinya, banyak meninggalkan petunjuknya, serta tidak mengambil bimbingannya yang luhur, maka urusan dunia mereka kacau sebagaimana kacaunya agama mereka.

Demikian pula lihatlah umat-umat lain yang kekuatan, kemajuan dan peradabannya telah mencapai tingkat tinggi. Namun ketika kosong dari roh agama, rahmat dan keadilannya, maka mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. Kejelekannya lebih besar dari kebaikannya. Ilmuwan serta politikus tidak mampu untuk menghalau kejahatan yang muncul. Bahkan sekali-kali mereka tidak akan mampu, selama mereka tetap dalam keadaan semacam itu.

Oleh karenanya, di antara hikmah-Nya, bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berupa agama dan Al-Qur’an adalah bukti terbesar atas kebenaran (kenabian)nya dan kebenaran apa yang dibawanya, karena (syariatnya) tertata dan sempurna. Sehingga sebuah kebaikan tidak akan menjadi baik kecuali dengannya. (Dinukil dari Syarh Al-Qashidah An-Nuniyah karya Muhammad Khalil Harras: 2/84-86)

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras juga menyebutkan makna lain, yaitu:

“Al-Hakiim bermakna Al-Haakim, yang berarti Yang memiliki hukum yakni yang menetapkan sesuatu bahwa ini harus demikian atau tidak demikian. Atau bermakna Al-Muhkim, yakni Yang mengokohkan sesuatu.” (Syarh Al-Qashidah An-Nuniyah karya Muhammad Khalil Harras, 2/81)

📌 Buah Mengimani Nama Al-Hakim

Di antara buah mengimani nama ini adalah bahwa kita harus mensyukuri nikmat Allah subhanahu wa ta'ala, yang memberikan hidayah kepada kita untuk menjalankan agama ini. Karena ternyata seluruh ajarannya penuh dengan hikmah. Juga kita harus bersyukur dan sabar terhadap semua ketentuan Allah subhanahu wa ta'ala, karena semua ketentuannya juga penuh dengan hikmah. Sebagaimana juga membuahkan ketundukan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena kita semua berada di bawah hukum-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar, ZA حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-hakim/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡

Senin, 12 Februari 2018

Al-Jamil ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷 🌈 ☀️ 🔟
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 Al-Jamil 🔰

📝 Di antara Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jamil (اَلْجَمِيْلُ ) Yang Maha Indah. Nama Allah Al-Jamil ini terdapat dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قاَلَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga siapa saja yang dalam kalbunya ada (walaupun) seberat semut kecil dari kesombongan.” Maka seseorang mengatakan: ‘Bahwa ada seseorang suka bila baju dan sandalnya bagus.” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (Shahih, HR. Muslim, Kitab Al-Iman Bab Tahrimul Kibir wa Bayanuhu, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu)

Ibnul Qayyim mengatakan pada beberapa bait syairnya:

Dan Dia Maha Indah sebenar-benarnya, bagaimana tidak!

Padahal seluruh keindahan alam adalah

Sebagian dari pengaruh keindahan-Nya

Maka Rabbnya lebih utama dan lebih pantas, menurut yang berpengetahuan

Keindahan-Nya pada dzat, sifat, perbuatan serta nama-Nya, dengan bukti!

Tiada sesuatupun yang menyerupai dzat dan sifat-Nya

Maha Suci Dia dari kedustaan sang pendusta

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras menerangkan:

“Adapun Nama Al-Jamil maka itu adalah nama-Nya yang berasal dari kata Al-Jamaal yang berarti keindahan yang banyak. Sifat keindahan yang tetap bagi Allah subhanahu wa ta'ala adalah keindahan yang mutlak, yang benar-benar keindahan. Karena sesungguhnya keindahan wujud ini dengan beraneka warna dan ragamnya adalah sebagian buah keindahan-Nya. Sehingga Allah subhanahu wa ta'ala lebih utama tentunya dalam memiliki sifat keindahan dari segala sesuatu yang indah. Karena Pemberi keindahan kepada alam ini pasti berada pada puncak sifat keindahan. Dialah Yang Maha Indah pada Dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.

Keindahan Dzat-Nya, merupakan sesuatu yang tidak mungkin bagi hamba untuk mengungkapkannya sedikitpun atau menjangkau sebagian hakikatnya. Namun cukup bagimu bahwa penghuni surga dengan segala kenikmatan abadi yang mereka ada padanya dan keanekaragaman kelezatan serta kebahagiaan yang tidak terkira. Bila mereka melihat Rabb mereka dan menikmati keindahan-Nya, mereka lupa dengan segala apa yang mereka berada padanya. Kenikmatan yang mereka ada padanya terasa lenyap. Mereka berharap seandainya mereka terus berada pada keadaan ini. Dan tiada sesuatu yang lebih mereka sukai daripada larut dalam menyaksikan keindahan ini. Mereka juga memperoleh keindahan dari keindahan Allah subhanahu wa ta'ala yang menambah keindahan mereka. Mereka tinggal dalam kerinduan yang abadi untuk melihat-Nya sehingga mereka berbahagia dengan hari al-mazid (ditambahnya nikmat dengan melihat Allah subhanahu wa ta'ala) dengan kebahagiaan yang hampir-hampir kalbu mereka terbang karenanya.

Adapun keindahan nama-nama Allah subhanahu wa ta'ala, maka seluruh nama Allah subhanahu wa ta'ala adalah sangat indah. Bahkan merupakan sebaik-baik dan seindah-indah nama secara mutlak. Seluruh nama-Nya menunjukkan kesempurnaan pujian-Nya, keagungan-Nya, keindahan-Nya, serta kebesaran-Nya. Tidak ada padanya yang tidak baik dan tidak indah, selama-lamanya.

Adapun keindahan sifat, maka seluruh sifat-Nya adalah sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, sifat-sifat sanjungan dan pujian. Bahkan merupakan seluas-luasnya sifat dan paling sempurna pengaruh dan kaitannya. Lebih-lebih sifat kasih sayang, kebaikan, kemurahan, kedermawanan, dan pemberian nikmat.

Adapun keindahan perbuatan, maka perbuatan Allah subhanahu wa ta'ala berkisar antara perbuatan baik yang terpuji dan tersyukuri. Dan perbuatan adil-Nya yang terpuji karena sesuai dengan hikmah dan pujian. Tiada kesia-siaan dalam perbuatannya, tiada kebodohan, kecurangan atau kedzaliman. Bahkan seluruhnya baik, kasih sayang, lurus, berpetunjuk, adil dan hikmah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (menceritakan ucapan Hud):

إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56)

Dan hal itu karena kesempurnaan perbuatan-Nya mengikuti kesempurnaan dzat dan sifat-Nya. Karena perbuatan adalah buah dari sifat. Sedangkan sifat-Nya sebagaimana kami katakan adalah sifat yang paling sempurna. Maka tidak diragukan bahwa perbuatannya adalah perbuatan yang paling sempurna.

📌 Buah Mengimani Nama Allah Al-Jamil

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Ibadah yang muncul dengan nama Al-Jamil adalah tumbuhnya rasa cinta dan penghambaan kepada-Nya. Seorang hamba juga akan memberikan untuk-Nya kecintaannya yang murni. Sehingga kalbunya akan senantiasa bertasbih dalam taman-taman ilmu tentang-Nya serta medan keindahan-Nya. Ia akan berbahagia dengan apa yang dia dapatkan berupa buah keindahan dan kesempurnaan-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Agung dan Mulia.”

📌 Sumber Bacaan:

Syarh Nuniyyah Ibnul Qayyim karya Al-Harras

Shifatullah Al-Waridah fil Kitab was Sunnah karya Alwi As-Saqqaf

Syarh Asma`ullahi Al-Husna karya Sa’id Al-Qahthani

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-jamil/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡

Minggu, 11 Februari 2018

Al-Jabbar ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷 🌈 ☀️ 9⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 Al-Jabbar 🔰

📝 Salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jabbar (الْجَبَّارُ). Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan nama-Nya ini dalam surat Al-Hasyr ayat 23:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dia-lah Allah Yang tiada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Al-Jabbar, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu, disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَكُونُ الْأَرْضُ يوم الْقِيَامَةِ خُبْزَةً وَاحِدَةً يَتَكَفَّؤُهَا الْجَبَّارُ بِيَدِهِ كَمَا يَكْفَأُ أَحَدُكُمْ خُبْزَتَهُ فِي السَّفَرِ

“Bumi pada hari kiamat akan menjadi satu adonan kue dan dibalikkan oleh Al-Jabbar dengan tangan-Nya sebagaimana seseorang di antara kalian membalikkan adonan kuenya di saat melakukan safar.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, 5/2389, no. 6155 tahqiq Mushthafa Al-Bagha)

Al-Jabbar yakni yang memiliki sifat jabarut. Dalam salah satu doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diriwayatkan sahabat ‘Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu:

قُمْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ لَيْلَةً فَلَمَّا رَكَعَ مَكَثَ قَدْرَ سُورَةِ الْبَقَرَةِ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ: سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

“Aku berdiri (shalat) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam. Ketika ruku’ beliau tetap diam seukuran surat Al-Baqarah. Beliau mengatakan dalam ruku’-nya: ‘Maha suci Yang memiliki Jabarut, kerajaan (pengaturan), kesombongan, dan keagungan’.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shifat Shalatin Nabi, hal. 133)

Adapun makna Al-Jabbar secara ringkas seperti yang disampaikan oleh Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah yaitu:

“Yang Maha Tinggi dan Tertinggi, juga bermakna Yang Memaksa, dan bermakna Ar-Ra`uf Yang kasih sayang, Yang memperbaiki kalbu yang redam, memperbaiki yang lemah dan tidak mampu, serta yang berlindung kepada-Nya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 946)

Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: “Yang memperbaiki urusan makhluk-Nya, Yang mengatur mereka dengan sesuatu yang maslahat bagi mereka.” (Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 4/367)

Al-Harras rahimahullah menyebutkan bahwa Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan: “Di antara nama-nama Allah subhanahu wa ta'ala adalah Al-Jabbar. Artinya adalah Yang memaksa hamba-hamba sesuai yang Dia maukan, baik berupa perintah atau larangan… Dikatakan pula bahwa maknanya adalah Yang tinggi di atas makhluk-Nya… Di antara ungkapan orang Arab Nakhlah Jabbarah yakni pohon korma yang besar, yang tangan tidak dapat menjangkaunya.”

Ar-Raghib dalam kitabnya Al-Mufradat mengatakan: “Asal maknanya adalah memperbaiki sesuatu disertai semacam paksaan… Adapun apa yang Allah subhanahu wa ta'ala sifatkan semacam Al-’Aziz Al-Jabbar Al-Mutakabbir, maka dikatakan bahwa Allah dinamai dengan nama itu dari ungkapan jabartu al-faqir artinya aku memperbaiki keadaan orang faqir. Karena Allah, Dialah yang memperbaiki manusia dengan nikmat-Nya yang melimpah. Dikatakan pula, karena Dia memaksa manusia kepada kehendak-Nya.”

Al-Harras rahimahullah juga mengatakan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutlan tiga makna, yang semuanya masuk dalam makna nama tersebut, di mana dibenarkan masing-masing makna tersebut dimaukan darinya:

Salah satunya bahwa Dialah yang memperbaiki kelemahan hamba-hamba-Nya yang lemah, dan Yang memperbaiki kalbu yang merasa redam di hadapan-Nya, yang tunduk di hadapan kebesaran-Nya dan keagungan-Nya. Betapa banyak kalbu yang redam lalu Allah subhanahu wa ta'ala perbaiki, yang fakir lalu Allah subhanahu wa ta'ala berikan kecukupan, yang hina lalu Allah subhanahu wa ta'ala muliakan, yang kesusahan lalu Allah subhanahu wa ta'ala hilangkan kesusahannya, yang kesulitan lalu Allah subhanahu wa ta'ala berikan kemudahan. Dan betapa banyak orang yang terkena musibah lalu Allah subhanahu wa ta'ala perbaiki dengan memberinya taufiq untuk kokoh dan sabar, dan Allah subhanahu wa ta'ala ganti karena musibahnya dengan pahala yang besar. Maka hakikat makna Jabr adalah memperbaiki keadaan hamba dengan melepaskannya dari kesulitan, serta menghilangkan darinya kesusahan.

Makna (kedua) bahwa Dia Yang Maha memaksa, yang segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada keagungan-Nya dan keperkasaan-Nya. Maka Dia memaksa hamba-hamba-Nya kepada apa yang Dia kehendaki berupa sesuatu yang sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan kehendak-Nya. Maka mereka tidak dapat lepas darinya.

Makna yang ketiga bahwa Dia yang Maha Tinggi dengan Dzat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak seorangpun mendekat kepada-Nya.

Al-’Allamah As-Sa’di rahimahullah menyebutkan makna yang keempat, yaitu bahwa Dia yang Maha Besar tersucikan dari segala kekurangan dan keserupaan dengan siapapun, serta tersucikan dari sesuatu yang menyerupai-Nya, baik dalam kekhususan-kekhususan-Nya maupun hak-hak-Nya. (Syarh Nuniyyah, 2/103-104)

Makna semacam ini juga diriwayatkan dari tafsir Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma. Beliau mengatakan bahwa makna Al-Jabbar adalah Yang Maha Agung, dan sifat Jabarut artinya sifat keagungan. Demikian dinukilkan oleh Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya (18/47).

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-jabbar/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡

Jumat, 09 Februari 2018

At-Tawwab ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷 🌈 ☀️ 8⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 At-Tawwab 🔰

📝 Allah subhanahu wa ta'ala menamai diri-Nya dengan nama At-Tawwab ( التَّوَّابُ ), Allah subhanahu wa ta'ala sebutkan nama-Nya ini dalam ayat-Nya:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan dengan ringkas tentang nama tersebut pada dua bait sya’ir:

Demikianlah At-Tawwab itu termasuk sifat-sifat-Nya

dan taubat dalam sifat-Nya bermacam dua

taufiq-Nya kepada hamba untuk bertaubat, dan menerima-Nya

setelah taubatnya, dengan karunia Yang Maha memberi karunia.

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras dalam penjelasannya terhadap dua bait syair itu mengatakan: “Adapun nama At-Tawwab artinya adalah yang banyak taubat artinya kembali. Maksudnya, menerima taubat hamba dan mengembalikan kepada hamba berupa ampunan-Nya. Allah azza wa jalla berfirman:

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Asy-Syura: 25)

غَافِرِ الذَّنبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (Ghafir: 3)

Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa menerima taubat hamba-Nya selama nyawa belum sampai tenggorokan atau sebelum matahari terbit dari barat. Maka bilamana muncul tanda kiamat kecil (mati) dengan sampainya nyawa ke tenggorokan atau muncul tanda kiamat besar dengan terbitnya matahari dari arah barat, ketika itu pintu taubat ditutup. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. (An-Nisa`: 18)

هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ أَن تَأْتِيهُمُ الْمَلآئِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabbmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (Al-An’am: 158)

Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Bahwa Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat jelek di siang hari dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat jelek di malam hari sehingga matahari terbit dari arah barat.” (Shahih, HR. Muslim dari sahabat Abu Musa radhiyallahu 'anhu)

Taubat Allah subhanahu wa ta'ala terhadap hamba-Nya ada dua macam:

Pertama: bahwa Ia memberikan ilham dan taufiq-Nya untuk bertaubat kepada-Nya serta untuk menelusuri syarat-syarat taubat baik berupa penyesalan (dari perbuatan dosa), istighfar, dan menanggalkan maksiat, bertekad untuk tidak kembali kepada dosanya serta menggantikan dosanya dengan amal shalih.

Kedua: bahwa Allah subhanahu wa ta'ala juga menerima taubat hamba-Nya, menyambutnya, serta menghapuskan dosanya, karena taubat yang murni dan benar-benar itu akan melebur kesalahan-kesalahan sebelumnya.

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Furqan: 70)

As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan dalam tafsirnya: “At-Tawwab adalah yang senantiasa memberikan dan menerima taubat dari hamba-hamba-Nya serta mengampuni dosa orang-orang yang bertaubat. Maka semua yang bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan taubat yang murni dan sungguh-sungguh, Allah subhanahu wa ta'ala pun akan menerima taubatnya. Allah subhanahu wa ta'ala memberikan taubat kepada hamba-Nya, pertama dengan memberikan taufiq-Nya kepada mereka untuk bertaubat dan bersungguh-sungguh dengan kalbunya menuju kepadanya, serta menerima taubat mereka setelah mereka melakukannya dan mengampuni kesalahannya.”

📌 Buah Mengimani Nama At-Tawwab

Dengan mengimani nama At-Tawwab kita akan mendapatkan banyak manfaat. Di antaranya, akan tumbuh pada diri kita rasa syukur yang besar kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang memberikan taufiq dan ilham-Nya kepada seorang hamba sehingga muncul pada dirinya keinginan untuk bertaubat serta mencabut diri dari berbagai macam kesalahan dalam bentuk apapun. Kalaulah bukan karena taufiq-Nya niscaya takkan tumbuh dalam diri ini keinginan untuk bertaubat dan kembali keharibaan-Nya.

Dengan mengimani nama itu pula, kita mengetahui dengan pasti bahwa pintu taubat senantiasa terbuka, sehingga tidak ada kata putus asa untuk bertaubat. Tiada kata ‘telanjur basah’ dalam maksiat. Apapun dan berapapun dosanya Allah subhanahu wa ta'ala akan berikan ampunan kepadanya manakala dia dengan sungguh-sungguh bertaubat. Barangkali kita pernah mendengar sebagian kisah dari Nabi shallahu 'alaihi wa sallam kita yang mulia, tentang bagaimana Allah subhanahu wa ta'ala menerima taubat seorang yang telah membunuh 100 jiwa, Allah subhanahu wa ta'ala mengampuni pelacur, bahkan yang berbuat kekafiran sekalipun Allah subhanahu wa ta'ala beri ampunan, ketika mereka bertaubat secara sungguh-sungguh.

Namun yang perlu diperhatikan adalah kesungguh-sungguhan dalam bertaubat dengan memenuhi syarat-syaratnya. Sebagaimana yang disebutkan Asy-Syaikh Al-Harras di atas; menyesali perbuatan dosanya, mencabut diri darinya, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengganti dengan amal shalih, dilakukan sebelum tertutupnya pintu taubat dan bila berkaitan dengan hak orang, mengembalikan hak orang yang kita dzalimi, atau meminta kehalalannya.

📌 Sumber Bacaan:

Tafsir As-Sa’di

Syarh Nuniyyah Ibnul Qayyim karya Al-Harras, 2/101-102

Shifatullah ‘Azza wa Jalla, karya Alwi As-Saqqaf, hal. 77

Syarh Al-Asma`ul Husna, karya Said Al-Qahthani, hal. 109-110

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/at-tawwab/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡

Selasa, 06 Februari 2018

Al-Bashir ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷 🌈 ☀️ 7⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 Al-Bashir 🔰

📝 Al-Bashir (الْبَصِيرُ) adalah salah satu Al-Asma`ul Husna. Allah subhanahu wa ta'ala menyebut nama-Nya ini dalam beberapa ayat, di antaranya dalam surat An-Nisa` ayat 58:

إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Juga dalam Asy-Syura ayat 11:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, juga disebutkan:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي سَفَرٍ فَكُنَّا إِذَا عَلَوْنَا كَبَّرْنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ : أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا. ثُمَّ أَتَى عَلَيَّ وَأَنَا أَقُولُ فِي نَفْسِي: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ، قُلْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ -أَوْ قَالَ- أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ هِيَ كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

“Kami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila kami menaiki dataran tinggi, maka kami mengucapkan takbir.[1] Maka beliau mengatakan: ‘Wahai manusia kasihilah diri kalian, karena kalian tidaklah menyeru Dzat yang tuli atau jauh, akan tetapi Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat.’

Lalu beliau mendatangiku, sementara aku sedang mengucapkan dalam diriku: ‘La haula wala quwwata illa billah.’ Lalu beliau mengatakan: ‘Wahai Abdullah bin Qais (nama Abu Musa), ucapkan La haula wala quwwata illa billah. Sesungguhnya itu adalah salah satu kekayaan yang tersimpan di surga.’ Atau beliau mengatakan: ‘Tidakkah kamu mau aku tunjuki salah satu harta kekayaan di surga? La haula wala quwwata illa billah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5905, 7386)

Dengan demikian, maka kita mengimani bahwa salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Bashir (البَصِير), artinya Yang Maha Melihat. Dan dengan demikian, berarti salah satu sifat Allah subhanahu wa ta'ala adalah Al-Bashar (البَصَر) yakni melihat.

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Al-Bashir maknanya adalah Yang melihat segala sesuatu walaupun lembut dan kecil. Maka, Ia melihat langkah semut kecil yang hitam di malam yang kelam di atas batu yang keras. Ia juga melihat apa yang di bawah tujuh bumi sebagaimana melihat apa yang di atas langit yang tujuh. Ia juga mendengar dan melihat siapa saja yang berhak mendapatkan balasan-Nya sesuai hikmah-Nya. Dan makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” (Tafsir As-Sa’di)

Dalam ayat dan hadits yang lain, Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan sifat melihat dengan sebutan ru`yah (يَرَى-رُأْيَةً), sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala sebutkan dalam surat Thaha ayat 46:

قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى

“Allah berkata: Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.”

Dan dalam surat Al-‘Alaq ayat 14:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى

“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”

Dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan:

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Malaikat Jibril mengatakan kepada Nabi: ‘Apakah ihsan itu?’ Beliau menjawab: ‘Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu’.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim)

Qiwamussunnah Al-Ashfahani rahimahullah mengatakan: “Maka, penglihatan Sang Pencipta tidak seperti penglihatan makhluk, dan pendengaran Sang Pencipta tidak seperti pendengaran makhluk… Sehingga Allah k melihat apa yang di bawah tanah dan apa yang di bawah bumi yang ketujuh, serta apa yang di langit-langit yang tinggi. Tidak ada sesuatupun yang luput atau tersembunyi dari pandangan-Nya. Ia melihat apa yang berada di dalam lautan berikut kegelapannya, sebagaimana ia melihat apa yang di langit. Sementara manusia hanya melihat apa yang dekat dengan pandangannya, adapun yang jauh tidak mampu mereka lihat. Dan manusia tidak mampu melihat sesuatu yang tertutupi antara dia dengannya…

Terkadang nama itu sama, akan tetapi maknanya berbeda.” (Al-Hujjah, 1/181)

Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan pula dalam Al-Qur`an sifat An-Nazhar (النَظَر) yang artinya juga melihat. Firman-Nya:

وَلاَ يَنظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Dan Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat.” (Ali ‘Imran: 77)

Sifat ini juga disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa-rupa dan harta benda kalian, akan tetapi melihat kepada kalbu dan amal kalian.” (Shahih, HR. Muslim)

Dalam ayat dan hadits yang lain juga disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala memiliki mata. Dan ini adalah sifat Allah subhanahu wa ta'ala yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Tentunya mata Allah subhanahu wa ta'ala sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak sama dengan mata makhluk yang identik dengan kelemahan dan kekurangan. Nama bisa sama, akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidaklah ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

Tentang sifat ini, telah Allah subhanahu wa ta'ala sebutkan dalam beberapa ayat:

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا

“Dan buatlah bahtera itu dengan penglihatan mata Kami dan petunjuk Kami.” (Hud: 37)

وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِّنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي

“Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan mata-Ku.” (Thaha: 39)

وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan dari Rabbmu, maka sesungguhnya kamu dalam penglihatan mata Kami.” (Ath-Thur: 48)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu disebutkan:

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini (artinya): ‘Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat.’ Lalu beliau meletakkan jari telunjuknya pada kedua matanya dan ibu jarinya pada pada dua telinganya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam Kitabut Tauhid hal. 43, Ad-Darimi dalam Radd ‘alal Marisi hal. 47, Ibnu Hibban no. 265, Al-Baihaqi dalam Al-Asma` wash Shifat no. 390. Dan lafadz hadits di atas adalah lafadz Ad-Darimi rahimahullah. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Al-Harras rahimahullah berkata: “Makna hadits ini adalah Allah subhanahu wa ta'ala mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan mata. Sehingga hadits ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa pendengaran-Nya artinya pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat didengar, dan penglihatan-Nya adalah pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Tanpa diragukan lagi, ini adalah tafsir yang salah. Karena pendengaran dan penglihatan itu maknanya lebih dari sekadar pengetahuan, karena pengetahuan terkadang dapat diperoleh tanpanya.” (Syarh Nuniyyah, 2/72-73)

Dalam hadits yang lain disebutkan:

إِنَّ اللهَ لَا يَخْفَى عَلَيْكُمْ إِنَّ اللهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى عَيْنِهِ- وَإِنَّ الـْمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ

“Sesungguhnya Allah tidak tersamarkan pada kalian. Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah (dan beliau mengisyaratkan kepada matanya). Dan sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal mata sebelah kanannya cacat, seolah matanya sebiji anggur yang menonjol.” (HR. Al-Bukhari no. 4707 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma)

Ibnu Khuzaimah rahimahullah mengatakan: “Maka wajib atas setiap mukmin untuk menetapkan bagi Penciptanya, Pembentuk rupanya, apa yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta dan Pembentuk rupa untuk diri-Nya, yaitu mata. Adapun selain mukmin, dia menolak dan meniadakan dari Allah subhanahu wa ta'ala apa yang Allah subhanahu wa ta'ala tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur`an, dengan keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa ta'ala angkat sebagai penjelas apa yang datang dari-Nya.

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala memiliki dua mata, maka keterangan beliau sesuai dengan keterangan Al-Qur`an….”

Beliau juga mengatakan: “Dan kami mengatakan: ‘Rabb kami, Sang Pencipta, memiliki dua mata. Dengan keduanya, Ia melihat apa yang berada di bawah tanah dan bahkan di bawah bumi yang ketujuh dan apa yang berada pada langit-langit yang tinggi.”

Demikian pula hal ini diterangkan oleh Al-Lalaka`i rahimahullah dalam Ushulul I’tiqad.

Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Ahlus Sunnah bersepakat bahwa mata Allah subhanahu wa ta'ala ada dua. Yang mendukung ijma’ (kesepakatan) ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Dajjal: ‘Sesungguhnya ia buta sebelah, dan Rabb kalian tidak buta sebelah’.” (‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

📌 Buah Mengimani Nama Al-Bashir

Tentu buah mengimani nama ini sangat jelas, yaitu akan menumbuhkan sikap muraqabah pada diri orang yang mengimaninya. Yakni, dia senantiasa merasa diawasi Allah subhanahu wa ta'ala. Sehingga ia selalu mawas diri dan mempertimbangkan segala langkah yang akan ia tempuh dalam gerak-geriknya.

📌 Sumber Bacaan:

- Shifatullah Al-Waridah fil Kitabi Was Sunnah

- Tafsir As-Sa’di

- Syarh Nuniyyah, dll.

--------------------------
Footnote:

[1] Dalam sebagian lafadz: “Sampai kami keraskan suara kami.” (HR. Al-Bukhari, no. 2770)

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-bashir/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡


Senin, 05 Februari 2018

Al-Barr ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷 🌈 ☀️ 6⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰

🔰 Al-Barr 🔰

📝 Salah satu Asma`ul Husna adalah Al-Barr الْبَرُّ berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ

“Dialah Al-Barr, Maha Penyayang.” (Ath-Thur: 28)

Adapun maknanya adalah:

- Al-Lathif bi ‘Ibadihi: Yang menyampaikan kepada hamba-Nya maslahat mereka dengan lembut dan baik, dari jalan di mana mereka tidak merasakannya (Shifatullah, hal. 223). Demikian ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma (Tafsir Al-Qurthubi, 17/70) dan Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya.

- Al-’Uthuf ‘ala ‘Ibadihi: Yang belas kasih terhadap hamba-Nya dengan kebaikan dan kelembutan-Nya. Demikian ditafsirkan oleh Ibnul Atsir rahimahullah dalam Jami’ul Ushul. (Shifatullah, hal. 223)

- Yang banyak kebaikan dan karunia-Nya. Demikian ditafsirkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nuniyyah.

- Al-Muhsin: Yang berbuat kebaikan. Demikian tafsiran Al-Alusi rahimahullah.(Ruhul Ma’ani, 19/449)

- Yang jujur dalam janji-janji-Nya kepada para hamba-Nya. Demikian ditafsirkan Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Juraij. (Tafsir Al-Qurthubi, 17/70)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Di antara nama-nama Allah subhanahu wa ta'ala adalah Al-Barr, Al-Wahhab, Al-Karim, yang meliputi seluruh alam semesta dengan kebaikan-Nya, pemberian-Nya, dan kemurahan-Nya. Dialah yang memiliki keindahan dan selalu memberi kebaikan, Maha Luas pemberian-Nya. (Di antara) sifat-Nya adalah kebaikan, dan buah dari sifat ini adalah seluruh nikmat yang lahir maupun yang batin, sehingga tidak satu makhluk pun lepas dari kebaikan-Nya walau sekejap mata. Dan nama-nama ini menunjukkan keluasan rahmat-Nya dan pemberian-Nya yang menyeluruh pada segala yang ada, sesuai dengan hikmah Allah subhanahu wa ta'ala. Dan kebaikan Allah subhanahu wa ta'ala terbagi menjadi dua, yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.

Yang umum tertera dalam firman-Nya:

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْماً

“Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (Ghafir: 7)

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Al-A’raf: 156)

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)

Semua kebaikan ini, sama-sama didapatkan oleh orang yang baik maupun yang jahat, penduduk langit maupun penduduk bumi, makhluk yang terbebani hukum ataupun tidak.

Adapun yang khusus, adalah rahmat dan nikmat-Nya untuk orang-orang yang bertakwa, di mana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآياتِنَا يُؤْمِنُونَ

“Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 156)

إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِنَ الْـمُحْسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56)

Juga dalam doa Nabi Sulaiman 'alaihissalam:

وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

“Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.” (An-Naml: 19)

Dan rahmat Allah subhanahu wa ta'ala yang bersifat khusus inilah yang diminta oleh para nabi serta para pengikut mereka, yang membuahkan taufiq-Nya untuk beriman dan beramal shalih serta kebaikan dalam seluruh keadaan, kebahagiaan yang abadi serta keberuntungan dan kesuksesan. Dan itulah tujuan terbesar bagi para makhluk yang khusus.” (Tafsir Asma`illahi Al-Husna)

📌 Buah Mengimani Nama Allah Al-Barr

Di antara buahnya adalah bahwa ketika kita mengimaninya dengan segala maknanya, semestinya hal itu menumbuhkan rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai macam karunia. Bahkan sebagiannya tanpa kita sadari dan tanpa kita ketahui dari mana datangnya. Itu semua Allah subhanahu wa ta'ala berikan walau hamba dalam keadaan yang tidak diridhai Allah subhanahu wa ta'ala. Semestinya hal ini menggugah si hamba untuk kemudian segera kembali kepada agamanya dan ketaatan kepada-Nya. Apalagi karunia-Nya kepada para hamba-Nya yang senantiasa taat kepada-Nya tentu begitu besar. Bahkan kenikmatan-Nya tidak lagi dapat dihitung oleh hamba-hamba-Nya.

📌 Sumber Bacaan:

-Syarh An-Nuniyyah karya Muhammad Al-Harras

-Syarh Asma`ullah Al-Husna karya Sa’id Al-Qahthani, hal. 64, 223

-Tafsir Al-Qurthubi, 17/70

-Tafsir Ruhul Ma’ani karya Al-Alusi, 19/449

-Tafsir Asma`illahi Al-Husna, karya As-Sa’di

✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc حفظه الله تعالى dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-barr/

〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari

Jumat, 02 Februari 2018

Al-Bari’ ~ Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA

🌷 🌈 ☀️ 5⃣
〰〰〰〰〰
📚 🔍 Silsilah Kajian MENGENAL AL-ASMA'UL HUSNA
〰〰〰〰〰
🔰 Al-Bari’ 🔰
📝 Salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Bari` ( ﺍﻟﺒَﺎﺭِﺉُ ), seperti yang Allah subhanahu wa ta'ala sebutkan:
ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﻖُ ﺍﻟْﺒَﺎﺭِﺉُ ﺍﻟْﻤُﺼَﻮِّﺭُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺄَﺳْﻤَﺎﺀ ﺍﻟْﺤُﺴْﻨَﻰ
“Dia-lah Allah Al-Khaliq (Yang Menciptakan), Al-Bari’, Al-Mushawwir (Yang Membentuk Rupa), Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik.” (Al-Hasyr: 24)
ﻭَﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻟِﻘَﻮْﻣِﻪِ ﻳَﺎ ﻗَﻮْﻡِ ﺇِﻧَّﻜُﻢْ ﻇَﻠَﻤْﺘُﻢْ ﺃَﻧﻔُﺴَﻜُﻢْ ﺑِﺎﺗِّﺨَﺎﺫِﻛُﻢُ ﺍﻟْﻌِﺠْﻞَ ﻓَﺘُﻮﺑُﻮﺍْ ﺇِﻟَﻰ ﺑَﺎﺭِﺋِﻜُﻢْ ﻓَﺎﻗْﺘُﻠُﻮﺍْ ﺃَﻧﻔُﺴَﻜُﻢْ ﺫَﻟِﻜُﻢْ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَّﻜُﻢْ ﻋِﻨﺪَ ﺑَﺎﺭِﺋِﻜُﻢْ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sebagai sesembahan kalian), maka bertaubatlah kepada Bari` kalian dan bunuhlah diri kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian di sisi Bari` kalian…’.” (Al-Baqarah: 54)
📌 Makna Al-Bari`
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan: “Di antara sifat Allah subhanahu wa ta'ala adalah (Al-Bari`) dan makna Al-Bari` adalah (Al-Khaliq): Pencipta. Dikatakan (dalam bahasa Arab):
Artinya ‘menciptakan makhluk’, dan ( ﺍﻟﺒَﺮِﻳَّﺔ ) berarti ‘makhluk’.” (Tafsir Gharibul Qur`an hal. 15, dinukil dari Shifatullah ‘Azza Wa Jalla Al-Waridah Fil Kitabi Was-Sunnah hal. 61-62)
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan: “Al-Bari` artinya yang menciptakan makhluk tanpa meniru. Akan tetapi lafadz ini lebih memiliki kekhususan pada (penciptaan) makhluk-makhluk hidup, tidak pada makhluk-makhluk yang lain. Lafadz ini jarang sekali dipakai pada (penciptaan) selain makhluk hidup. Sehingga diungkapkan dalam bahasa Arab:
ﻳَﺒْﺮَﺃُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟﻨَﺴَﻤَﺔَ
‘Allah menciptakan makhluk hidup.’ (dengan menggunakan kata bara`a, pent.). Dan:
ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ
‘Allah menciptakan langit dan bumi.’ (dengan menggunakan kata khalaqa, pent.).” (Jami’ul Ushul, 4/177, dinukil dari Shifatullah ‘Azza Wa Jalla Al-Waridah Fil Kitabi Was-Sunnah hal. 61-62)
Demikian pula yang dikatakan dalam Lisanul ‘Arab.
Jadi di sinilah salah satu perbedaan makna antara nama Allah Al-Khaliq dan Al-Bari`.
Abu Hilal Al-‘Askari rahimahullah mengatakan: “(Kata) ( ﺑَﺮَﺃَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖَ ) artinya ‘Allah subhanahu wa ta'ala membeda-bedakan bentuk mereka’.” (Al-Furuq Al-Lughawiyyah hal. 227)
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan ayat ke-24 surat Al-Hasyr berkata: “Al-Khalqu (yang darinya diambil kata Al-Khaliq, pent.) artinya menetapkan. Dan Al-Bar`u (yang darinya diambil kata Al-Bari`, pent.) artinya Al-Faryu, yaitu melaksanakan dan memunculkan atau mengadakan apa yang Dia tetapkan menuju ke alam nyata. Dan tidak semua yang bisa menetapkan sesuatu dan mengaturnya mampu untuk melaksanakan dan mewujudkannya, selain Allah subhanahu wa ta'ala. Seorang penyair memuji orang lain:
ﻭَﻟَﺄَﻧْﺖَ ﺗَﻔْﺮِﻱ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘْﺖَ
ﻭَﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﻳَﺨْﻠُﻖُ ﺛُﻢَّ ﻻَ ﻳَﻔْﺮِﻱ
Sungguh dirimu mewujudkan apa yang kamu tetapkan
sementara sebagian kaum menetapkan lalu tidak bisa mewujudkan
Yakni engkau mewujudkan dan mengadakan apa yang engkau tetapkan, berbeda dengan selainmu, yang tidak mampu melaksanakan apa yang diinginkan. Sehingga, makna Al-Khalq adalah menetapkan, sedangkan makna Al-Faryu (Al-Bar`u) adalah melaksanakannya.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 4/367. Lihat juga Tafsir Al-Qurthubi, 18/48)
📌 Kesimpulan
Dari nukilan penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa makna Al-Bari` adalah Yang menciptakan tanpa meniru, dan mewujudkan ke alam nyata apa yang Allah subhanahu wa ta'ala tetapkan –sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah– serta membedakan antara satu makhluk dengan yang lain –sebagaimana penjelasan Abu Hilal Al-‘Askari rahimahullah–. Dan kata Al-Bari` lebih akrab dengan penciptaan makhluk hidup, –sebagaimana penjelasan Ibnul Atsir rahimahullah–.
📌 Buah Mengimani Nama Allah Al-Bari`
Dengan mengimani nama tersebut serta mengetahui maknanya, kita semakin menyadari kekuasaan Allah Yang Maha Hebat, serta mengetahui bagaimana luasnya ilmu Allah subhanahu wa ta'ala dan kemampuan-Nya. Di mana tidak mungkin ada yang melakukan itu semua kecuali Dzat yang Maha Berilmu dan Maha Mampu. Ini semua mestinya membuat kita semakin tunduk kepada-Nya dan semakin patuh. Sebagaimana juga mestinya membuat kita semakin bersyukur kepada-Nya karena kita semua –dengan bentuk ciptaan yang bagus dan indah ini– adalah buah dari nama Allah subhanahu wa ta'ala tersebut.
Wallahu a’lam.
✏️ 💺Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ dan dikutip dari http://asysyariah.com/al-bari/
〰〰〰〰〰〰〰
📚 WA Salafy Kendari 📡