Senin, 30 Juni 2014

Latihlah Anak-Anak Anda Untuk Berpuasa

Latihlah Anak-Anak Anda Untuk Berpuasa

Sengaja kami ketengahkan pembahasan ini, karena kami sering mendengar sebagian orang tua melarang anak-anaknya yang belum baligh untuk ikut bershaum di bulan Ramadhan. Dengan alasan karena mereka belum baligh dan dalam rangka menjaga kesehatan mereka. untuk itu kami akan menampilkan beberapa contoh dan teladan dari para shahabat Rasulullah r, sekaligus kami sertakan beberapa pernyataan para ‘ulama tentang hal itu.

Perlu diketahui bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah meletakkan bab khusus dalamKitabush Shaum dari Shahihil Bukhari dengan judul :

باب : صَوْمِ الصِّبْيَانِ

Bab : Tentang Shaum bagi anak-anak kecil

Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tentang awal disyari’atkannya shaum ‘asyura, dengan lafazh :

أَرْسَلَ النَّبِيُّ r غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأَنْصَارِ مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَليَصُمْ قَالَتْ فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ

Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus (utusannya) ke kampung-kampun kaum anshar pada pagi hari ‘Asyura (yaitu hari ke-10 bulan Muharram) (dengan pesan) : “Barangsiapa yang memasuki pagi hari ini dalam keadaan dia tidak bershaum, maka hendaknya dia menyempurnakan waktu yang tersisa dari hari tersebut (dengan bershaum),  dan barangsiapa yang memasuki pagi hari ini dalam keadaan bershaum, maka hendaknya dia melanjutkan shaumnya.”

Kemudian dia (Ar-Rubayyi’) berkata : “Sehingga sejak hari itu kami melakukan shaum pada hari tersebut (‘Asyura) dan memerintahkan anak-anak kami untuk bershaum. Untuk itu kami membuat mainan (anak-anak) yang terbuat dari wol. Jika salah satu di antara anak-anak kecil tersebut menangis karena ingin makan, kami berikan kepada dia mainan tersebut hingga datangnya waktu ifthar (berbuka).”

Dalam riwayat Muslim (1136) dengan lafazh :

فَإِذَا سَأَلُونَا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيهِمْ حَتَّى يُتِمُّوا صَوْمَهُمْ

Jika mereka (anak-anak kami) meminta makanan maka kami berikan kepada mereka mainan tersebut dalam rangka melalaikan mereka (dari makanan yang mereka minta) hingga mereka menyumpurnakan shaumnya (pada hari itu).

Ketika menjelaskan hadits di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Jumhur (‘ulama) berpendapat bahwasanya shaum tidak wajib atas anak-anak yang belum baligh. Namun segolongan ‘ulama dari kalangan salaf berpendapat bahwa hukumnya mustahab, di antara mereka Al-Imam Ibnu Sirin dan Az-Zuhri. pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa anak-anak kecil yang belum baligh diperintahkan untuk bershaum dalam rangka berlatih jika memang mereka mampu. Para ‘ulama dari madzhab Asy-Syafi’i memberi batasan  umur dengan tujuh atau sepuluh tahun. Al-Imam Ishaq (bin Rahawaih) memberi batasan umur dengan dua belas tahun. Sementara Al-Imam Ahmad –dalam salah satu riwayat– memberi batasan dengan sepuluh tahun. … dahulu (Khalifah) ‘Umar bin Al-Khaththab mengatakan kepada orang-orang dewasa  yang tidak bershaum di bulan Ramadhan, dalam rangka mencela mereka : “Bagaimana anda tidak bershaum sementara anak-anak kecil kami bershaum?!” … Ibnul Majisyun dari madzhab Maliki berpendapat dengan pendapat yang aneh, bahwa jika anak-anak kecil tersebut mampu melakukan shaummaka harus diwajibkan kepada mereka. jika mereka tidak bershaum (di siang hari Ramadhan) tanpa alasan, maka wajib atas mereka untuk mengqadha’ (di hari lain).” [1]

وفي الحديث حجة على مشروعية تمرين الصبيان على الصيام كما تقدم لأن من كان في مثل السن الذي ذكر في هذا الحديث فهو غير مكلف , وإنما صنع لهم ذلك للتمرين , وأغرب القرطبي فقال : لعل النبي صلى الله عليه وسلم لم يعلم بذلك , ويبعد أن يكون أمر بذلك لأنه تعذيب صغير بعبادة غير متكررة في السنة , وما قدمناه من حديث رزينة يرد عليه , مع أن الصحيح عند أهل الحديث وأهل الأصول أن الصحابي إذا قال فعلنا كذا في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم كان حكمه الرفع لأن الظاهر اطلاعه صلى الله عليه وسلم على ذلك , وتقريرهم عليه مع توفر دواعيهم على سؤالهم إياه عن الأحكام , مع أن هذا مما لا مجال للاجتهاد فيه فما فعلوه إلا بتوقيف , والله أعلم .

Kemudian beliau (Al-Hafizh Ibnu Hajar) menegaskan :

“dalam hadits di atas terdapat hujjah tentang disyari’atkannya pelatihan shaum bagi anak-anak kecil, sebagaimana telah lalu penjelasannya. Karena seseorang yang berada pada umur tersebut tidaklah dia tergolong seorang yang terbebani hukum syari’at  (mukallaf). Namun hal itu hanyalah dilakukan dalam rangka pelatihan. Sungguh telah aneh Al-Imam Al-Qurthubi ketika berkata : ‘Mugngkin saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui hal itu [2]), dan lebih tidak mungkin lagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan hal itu, karena perbuatan itu termasuk penyiksaan terhadap anak kecil dengan sebuah ibadah yang tidak ditetapkan dalam sunnah.’

Menanggapi perkataan Al-Qurthubi di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar kembali berkata :

“Apa yang telah kami sebutkan dari hadits Razinah membantah ucapan dia (Al-Qurthubi) [3]) , padahal pendapat yang shahih (kuat) dalam pandangan para pakar hadits dan pakar ushul fiqh bahwa jika seorang shahabat berkata : “Kami melakukan begini pada masa Rasulullah” maka hukum pernyataan itu adalah marfu’ (boleh disandarkan kepada Rasulullah) karena secara zhahir Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengetahui kejadian tersebut, dan adanya sikap pembenaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terhadap mereka atas perbuatan itu, dalam kondisi sangat memungkinkan bagi mereka untuk bertanya kepada beliau tentang berbagai hukum syar’i, padahal permasalahan tersebut adalah jenis permasalahan yang tidak ada ruang untuk berijtihad. Maka tentu tidaklah mereka melakukan perbuatan itu (memerintahkan anak-anak kecil mereka untuk bershaum) kecuali berdasarkan dalil. Wallahu a’lam.” –sekian dari Al-Hafizh–

[1] Fathul Bari syarh hadits no. 1960.

[2] Yaitu ketika para shahabat memerintahkan anak-anak kecil mereka saat turunya perintah shaum ‘Asyura.

[3] Hadits Razinah yang beliau maksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah :

أن النبي r كان يأمر مرضعاته في عاشوراء ورضعاء فاطمة فيتفل في أفواههم, ويأمر أمهاتهم أن لا يرضعن إلى الليل

Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan pada hari ‘Asyura kepada istri-istrinya yang menyusui dan bayi-bayi susuan Fathimah kemudian meniupkan ludahnya pada mulut anak-anak kecil itu, dan memerintahkan ibu-ibu mereka untuk tidak menyusui hingga tiba waktu malam.

Namun hadits di atas telah dinyatakan sebagai hadits yang dha’if oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah, hadits no. 2089. Al-Imam Ibnu Khuzaimah pun bersikap abstain (tidak menentukan penilaiannya) terhadap hadits di atas, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari syarh hadits no. 1960.

Sumber:
miratsul-anbiya.net

------------
Tambahan Faedah Tentang Hukum Berpuasa Ramadhan Bagi Anak-anak yang Belum Baligh
 
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata:

"صِيامُ الصَّبِي كَما أَسْلَفْنا ليسَ بِواجبٍ عليه بَلْ هو سنةٌ، لَه أجرُه إِنْ صامَ، وَليسَ عليه إِثْمٌ إِنْ أَفطَرَ، ولكن على وَلِيِّ أمرِه أَنْ يَأمُرَه بِه لِيَعْتادَهُ."

“Puasa anak kecil sebagaimana telah lalu tidaklah wajib baginya, akan tetapi hukumnya sunnah. Jika dia berpuasa mendapatkan pahala, dan jika tidak berpuasa tidak berdosa. Hanya saja bagi walinya hendaklah menyuruhnya berpuasa agar terlatih dengannya.”

Majmu’ Fatawa wa Rasail asy-Syaikh Ibn Utsaimin 19/84

------------------
 Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

"أَمَّا الصَّغيرُ الْمُمَيِّزُ فَلا يَجِبُ عَليه الصِّيامُ ويَصِحُّ منه تَطَوُّعًا، وَيَنْبَغِي لِوَلِيِّ أَمْرِهِ أَمْرُهُ بِه إِذا كانَ يُطِيقُه لِيَعْتادَهُ وَيَنْشَأَ عَلَيهِ."

“Adapun anak kecil yang berusia tamyiz (belum baligh) maka tidak wajib baginya berpuasa, dan (apabila berpuasa, pen.) puasanya sah, terhitung sebagai amalan sunnah. Sepatutnya bagi si wali untuk menyuruhnya berpuasa jika dirasa ada kemampuan, agar terlatih berpuasa dan tumbuh di atasnya.”

Ithaf Ahlil Iman Bi Durus Syahri Ramadhan, hlm. 90

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia 1

--------------------

Lebih Dermawan di Bulan Ramadhan


LEBIH DERMAWAN DI BULAN RAMADHAN.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
, adalah orang yang paling dermawan. Tak pernah beliau menolak apabila diminta. Jabir bin ‘Abdillah radiallahu anhu, mengatakan:

مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ n شَيْئًا قَطُّ فَقَالَ: لاَ.
“Tak pernah sekalipun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diminta sesuatu kemudian beliau mengatakan ‘tidak’.” (HR. Muslim no. 2311)

Kedermawanan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ini sangat mengesankan siapa pun. Bahkan seseorang yang baru masuk Islam menjadi lunak hatinya dengan pemberian beliau ini, sehingga membuat dia mencintai Islam dan menjadi baik keislamannya. Diceritakan oleh Anas bin Malik radiallahu anhu, :

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ n غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ فَأَتَى قَوْمَهُ فَقَالَ: أَيْ قَوْمِ، أَسْلِمُوا، فَوَاللهِ إِنَّ مُحَمَّدًا لَيُعْطِي عَطَاءً مَا يَخَافُ الفَقْرَ. فَقَالَ أَنَسٌ: إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيُسْلِمُ مَا يُرِيْدُ إِلاَّ الدُّنْيَا، فَمَا يُسْلِمُ حَتَّى يَكُوْنَ الْإِسْلاَمُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

”Ada seseorang meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, kambing sebanyak antara dua bukit. Beliau pun memenuhi permintaannya. Maka orang itu mendatangi kaumnya sambil berkata, ’Wahai kaumku, masuk Islamlah kalian! Sesungguhnya Muhammad itu suka memberi dengan pemberian yang dia sendiri tidak khawatir akan fakir!’ Anas mengatakan, ’Tadinya orang itu masuk Islam karena menginginkan dunia, sampai akhirnya setelah masuk Islam, Islam lebih dia cintai daripada dunia seisinya’.” (HR. Muslim no. 2312)

Sifat dermawan pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tampak lebih menonjol saat tiba bulan Ramadhan. Karena itu, kita banyak berbuat kebaikan dan banyak memberi saat bulan Ramadhan tiba. ’Abdullah bin ’Abbas radiallahu anhu mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ n أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ، وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ n حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْـمُرْسَلَةِ

”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, ketika Jibril menemui beliau. Jibril biasa menemui beliau setiap malam sepanjang bulan Ramadhan, lalu mengajari beliau Al-Qur’an. Maka ketika itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lebih dermawan untuk memberikan kebaikan daripada angin yang bertiup kencang.”
(HR. Al-Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, hadits ini memiliki beberapa faedah, di antaranya penjelasan tentang besarnya kedermawanan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, serta disenanginya memperbanyak kedermawanan ini pada bulan Ramadhan.
(Syarh Shahih Muslim, 15/68)

Selengkapnya :

Kedermawanan : Majalah Islam AsySyariah - http://asysyariah.com/kedermawanan/

WhatsApp Ittiba'us Sunnah

Salah Dalam Perkiraan dan Hukum Infus dan Obat Semprot Asma

FATAWA RINGKAS
SEPUTAR PUASA

Bersama: Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni --hafizhahullah--

bagian keduabelas

SALAH DALAM PERKIRAAN DAN
HUKUM INFUS DAN OBAT SEMPROT ASMA

. Seorang masih terus makan sahur karena menyangka matahari belum terbit, padahal matahari telah terbit atau seseorang segera berbuka puasa karena menyangka matahari telah terbenam, padahal belum terbenam, bagaimana hukum puasanya?

Jawab: Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, namun pendapat yang kuat adalah puasanya tetap sah, tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha karena kesalahan tersebut terjadi bukan atas kesengajaan. Ini adalah pendapat 'Athaa, 'Urwah, Mujahid, Al Hasan, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Ishaq, Zhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Khuzaimah dan Syaikhul Islam.

Dalil mereka keumuman firman Allah ta'ala:

{رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا}

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." [QS. Al Baqarah: 286]

{وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}

"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al Ahzab:5]

Dan juga hadits Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma, ia berkata;

«أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ» قِيلَ لِهِشَامٍ: فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟ قَالَ: «لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ» وَقَالَ مَعْمَرٌ: سَمِعْتُ هِشَامًا لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ.

"Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali. Hisyam (perawi hadits-pent) ditanya (oleh Abu Usamah-pent): "Apakah mereka diperintahkan untuk mengqadla?" dia menjawab, "Itu sudah kewajiban mereka." Dan (adapun) Ma'mar berkata, aku mendengar Hisyam berkata: "Aku tidak tahu apakah mereka kemudian mengqadha'nya atau tidak". [HR. Al Bukhari]

Dari hadits ini, kalau seandainya mereka mengqadha niscaya akan ternukilkan kepada kita. Karena tidak ternukilkan, maka hukum asal tidak ada kewajiban mengqadha.

Dan juga hadits Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, ia berkata;

لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ} [البقرة: 187] قَالَ: " فَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا أَرَادَ الصَّوْمَ، رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلَيْهِ الْخَيْطَ الْأَسْوَدَ وَالْخَيْطَ الْأَبْيَضَ، فَلَا يَزَالُ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رِئْيُهُمَا فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ ذَلِكَ: {مِنَ الْفَجْرِ} [البقرة: 187] فَعَلِمُوا أَنَّمَا يَعْنِي بِذَلِكَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ "

"Ketika turun ayat; "…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam…" ia berkata; Ada seorang lelaki ketika ia hendak berpuasa, ia mengambil satu benang berwarna hitam dan satu benang lagi berwarna putih, lalu ia terus makan (sahur) sampai keduanya terlihat jelas. Maka Allah 'Azza wa Jalla pun menurunkan ayat; "MINAL FAJR (yaitu fajar)." Maka mereka pun mengetahui, bahwa yang dimaksud adalah kegelapan malam dan cahaya siang. [Muttafaqun 'alaihi]

Disini, para shahabat salah dalam memahami ayat tersebut, sehingga terus makan dan minum, namun mereka tidak diperintahkan untuk mengqadha puasanya.

. Apakah infus masuk dalam katagori pembatal puasa?

Jawab: Iya, infus termasuk dalam katagori pembatal puasa karena dia merupakan pengganti makanan bagi orang sakit. Adapun obat suntik karena demam atau sakit yang lainnya maka tidak termasuk pembatal puasa.

. Apakah obat semprot untuk asma masuk dalam katagori pembatal puasa?

Jawab: Tidak, dia tidak membatalkan puasa karena obat tersebut ibarat gas yang hanya masuk ke paru-paru, tidak sampai ke lambung. Namun meskipun demikian, lebih baik dihindari pemakaiannya di siang hari pada bulan Ramadhan.

 WALLOHU A'LAM BISH SHOWAAB

✏ Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawi, 27 Syakban 1435/25 Juni 2014_di Darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
 WA. Thullab Al Fiyusy

WA Salafy Lintas Negara

Hukum Berjima' di Siang Hari Bulan Ramadhan

HUKUM BERJIMA' DI SIANG HARI BULAN RAMADHAN

Hukum berjima’ dengan sengaja di siang Ramadhan adalah:

1. Batal shaumnya,
2. Wajib baginya mengqadha’
3. Wajib baginya kaffarah (tebusan),
4. Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah

Adapun kafarahnya adalah;

1. Membebaskan budak
2. Kalau tidak mampu bershaum 2 bulan berturut-turut,
3. Kalau tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin.

Sebagaimana hadits Abu Hurairah : “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata: “Celakalah aku wahai Rasulullah!, Berkata Rasulullah : “Apa yang menyebabkankamu celaka ? Dia berkata: ‘Aku telah menggauli istriku di siang Ramadhan.
Berkata : ‘Apakah engkau mampu untuk memerdekakan budak ? Tidak. Apakah engkau mampu untuk bershaum dua bulan berturut-turut ? Tidak. Apakah engkau mampu untuk memberi makan enam puluh orangmiskin ? Tidak. Kemudian orang tersebut duduk dan Rasulullah memberikan sekeranjang kurma kepadanya.
(Muttafaq ‘alaihi)

Bahwa kaffarah itu hanya berlaku bagi yang berjima’ di siang Ramadhan dan dalam keadaan muqim (tidak bersafar). maka tidak berlaku bagi orang yang berjima’ disaat safar walaupun dia shaum dan juga tidak berlaku pula bagi orang berjima’ disaat menjalankan shaum wajib tetapi diluar bulan Ramadhan.

(Asy Syarhul Mumti’ 6/412-418. Fatawa Ibnu Baaz 3/202-203)

http://buletin-alilmu.net/2006/09/17/perkara-perkara-yang-harus-diperhatikan-oleh-orang-yang-bershaum/

_______
WA Forum Berbagi Faidah

Kumpulan Mutiara Salaf (07)


Mutiara Salaf:  Silsilah Romadhoniyyah [1]:
Tentang Niat:

قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله:
كل من علم أن غداً رمضان وهو يريد صومه فقد نوى، وهذا فعل عامة المسلمين كلهم ينوي الصيام.[ مجموع الفتاوى( ٢٥/١٢٥)]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh:
"Setiap orang yang tahu bahwa besok Romadhon dan dia ingin berpuasa di hari itu maka dia telah berniat, dan ini adalah perbuatan keumuman kaum muslimin semuanya ketika niat berpuasa".
[Majmu’ al-Fatawa (25/125)]
_____
Broadcast by BBM Mutiara Salaf. pin 7A494B39 (khusus lelaki).

Mutiara Salaf:  Silsilah Romadhoniyyah [2];
Tentang Sahur:

قال ابن المنذر رحمه الله: أجمع العلماء أن السحور مندوب إليه مستحب، ولا مأثم على من تركه، وحض أمته عليه السلام، عليه ليكون قوة لهم على صيامهم. [شرح صحيح البخاري لابن بطال (٤/٤٣)]

Berkata Ibnul Mundzir rohimahulloh:
"Para ulama telah sepakat bahwa sahur adalah sunnah mustahab, dan tidak berdosa bagi yang meninggalkannya, dan nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya, dengan sahur agar menjadi kekuatan bagi mereka atas puasa mereka".
[Syarh Shahih Bukhori, Ibnu Batthol (4/43)]
_____
Broadcast by BBM Mutiara Salaf. pin 7A494B39 (khusus lelaki).

Mutiara Salaf:  Silsilah Romadhoniyyah [3];
Makna Berniat Di Malam Hari:

قال العلامة ابن عثيمين رحمه الله:
لا بد أن نعلم معنى: تبييت النية; لأن بعض الناس يظن أن معنى تبييت النية أن ينوي الإنسان الصيام قبل أن ينام, وليس كذلك, المراد بتبييت النية أن ينوي قبل طلوع الفجر ولو بلحظة، فإذا نوى قبل طلوع الفجر ولو بلحظة فقد بيّت. فصيام رمضان من المعلوم لكل أحد، أن كل مسلم إذا دخل شهر رمضان فقد عقد النية الجازمة على أنه سيصومه كله, فالنية في أوله كافية، إلا إذا وجد سبب يقطع الصوم كما لو سافر الإنسان ثم رجع, فلا بد من تجديد النية، أو مرض ثم عوفي لا بد أن يجدد النية, وأما ما دام على حاله فإن النية في أوله تكفي عن آخره.
[لقاء الباب المفتوح (١١٦)]

Berkata al-'Allamah Ibnu 'Utsaimin rohimahulloh:
"Haruslah kita tahu makna dari berniat di malam hari; karena sebagian orang mengira bahwa makna berniat di malam hari ialah seseorang berniat puasa sebelum dia tidur, bukan demikian maknanya, yang dimaksud dengan berniat di malam hari ialah meniatkan (puasa) sebelum terbitnya fajar walaupun hanya sekejap, sehingga apabila dia berniat sebelum terbitnya fajar sekalipun hanya sekejap maka telah bermalam (dalam niatnya). Maka puasa Romadhon adalah perkara yg telah diketahu bagi setiap individu, bahwa setiap muslim apabila memasuki bulan Romadhon maka dia telah mengikat niatnya yg kokoh bahwa dia akan berpuasa di bulan itu seluruhnya, sehingga niat di awalnya mencukupi, kecuali jika didapati suatu sebab yg memutuskan puasanya seperti jika seseorang safar kemudian kembali, maka mesti memperbarui niatnya, atau sakit kemudian sembuh maka harus memperbarui niat, adapun jika selama dalam keadaan puasanya maka niat di awalnya mencukupi hingga akhirnya".
[Liqo al-Bab al-Maftuh (116)]
____
Broadcast by BBM Mutiara Salaf. pin 7A494B39 (khusus lelaki).

Mutiara Salaf:  Silsilah Romadhoniyyah [4];
Berbuka Puasa:

‏قال عمرو بن ميمون الأودي رحمه الله:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أعجل الناس إفطارا وابطأهم سحورا
صحيح/ مصنف عبد الرزاق 7591

Berkata 'Amr bin Maimun al-Auwdiy rohimahulloh:
"Para sahabat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling bersegera berbuka (puasa) dan yang paling mengakhirkan sahur".
[Shahih, Mushonnaf Abdir Rozzaq (7591)]
_____
Broadcast by BBM Mutiara Salaf. pin 7A494B39 (khusus lelaki).

Mutiara Salaf:  Silsilah Romadhoniyyah [5];
Berbuka Dengan Kurma:

ﺳُﺌﻞ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﻋﺜﻴﻤﻴﻦ - ﺭﺣﻤﻪ الله -:
ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺃﻥ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻋﻨﺪ ﺇﻓﻄﺎﺭﻩ ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳُﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﺪﺩ ﻓﺮﺩﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻤﺮ - ﺃﻱ ﺧﻤﺲ ﺃﻭ ﺳﺒﻊ ﺗﻤﺮﺍﺕ ﻭﻫﻜﺬﺍ - ﻓﻬﻞ ﻫﺬﺍ ﻭﺍﺟﺐ؟

ﻓﺄﺟــﺎﺏ:
" ﻟﻴﺲ ﺑﻮﺍﺟﺐ ﺑﻞ ﻭﻻ‌ ﺳُﻨﺔ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﺮ ﺍﻹ‌ﻧﺴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻭﺗﺮ - ﺛﻼ‌ﺙ ﺃﻭ ﺧﻤﺲ ﺃﻭ ﺳﺒﻊ ﺃﻭ ﺗﺴﻊ - ﺇﻻ‌ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻋﻴﺪ ﺍﻟﻔﻄﺮ،

ﻓﻘﺪ ﺛﺒﺖ (ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ الله ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻻ‌ ﻳﻐﺪﻭ ﻟﻠﺼﻼ‌ﺓ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﺄﻛﻞ ﺗﻤﺮﺍﺕ ﻭﻳﺄﻛﻠﻬﻦ ﻭﺗﺮﺍً) ﻭﻣﺎ ﺳﻮﻯ ﺫﻟﻚ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍلله ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﺘﻘﺼﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﻛﻠﻪ ﺍﻟﺘﻤﺮ ﻭﺗﺮﺍً. "

ﺑﺮﻧﺎﻣﺞ ﻧﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﺭﺏ، ﺍﻟﺸﺮﻳﻂ: 354

ما حكم الإفطار على وتر من التمر عند الفطر
الشيخ / ابن عثيمين رحمه الله

http://safeshare.tv/w/bizKczaOWl

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rohimahulloh pernah ditanya: aku pernah mendengar bahwa orang yg berpuasa ketika berbuka wajib berbuka dengan sejumlah kurma dlm jumlah ganjil -yakni 5 atau 7biji kurma dan demikian- dan apakah ini wajib?
Beliau menjawab: "Tidak wajib bahkan bukan pula sunnah seseorang berbuka dgn bilangan ganjil -3, 5, 7 atau 9- kecuali di hari iedul fithri, dan telah shahih (bahwa nabi -shollallohu 'alaihi wa sallam- beliau tidaklah berangkat utk sholat di hari iedul fithri hingga beliau makan beberapa buah kurma dan memakannya dlm jumlah ganjil) dan adapun selain itu maka nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tdk pernah menyengaja utk memakan kurma dlm jumlah ganjil". [Program "Nur 'ala ad-Darb, kaset: 354. Apa hukum berbuka dengan kurma dlm jumlah ganjil]
_____
Broadcast by BBM Mutiara Salaf. pin 7A494B39 (khusus lelaki).

Beberapa Sunnah Saat Berbuka

Beberapa Sunnah Saat Berbuka.

1. Bersegera dalam berbuka.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”
(Muttafaqun Alaihi)

Beliau juga bersabda,

“Allah ‘azza wa jalla berfirman : Hamba yang paling Aku cintai adalah yang paling bersegera dalam berbuka” (HR. At-Tirmidzi)

2. Membaca do'a ketika berbuka.

Saat berbuka ucapkan
'Bismillah'

lalu santaplah beberapa kurma dan beberapa teguk air, kemudian ucapkan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

"Dzahabazh-zhoma-u
Wabtalatil 'uruuqu
Wa-tsabatal ajru
In-syaa Allah"

"Rasa haus telah pergi urat-uratpun telah terbasahi serta pahala telah ditetapkan..  insyaAllah". (HR. Abu Dawud)

»Adapun doa 'Allohumma laka shumtu..dst' &yg lain2,mk doa tsb berasal dr hadits2 yg lemah.

3. Berbuka dengan ruthob, kurma atau air.

Anas radhiyallahu anhu menuturkan:

Biasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berbuka sebelum shalat (maghrib.) dengan memakan beberapa ruthab (kurma segar/basah), apabila tidak mendapatkannya maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan apablia tidak mendapatkannya maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air. (HR. Abu Daud)

Catt:
Diantara hikmah disyariatkannya puasa agar kaum muslimin merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya yang faqir.

Oleh karena itu hindari perilaku boros dan israf (berlebih-lebihan) saat berbuka. Sangat disayangkan perilaku sebagian kaum muslimin hari ini dimana mereka boros dalam membelanjakan harta untuk berbuka, sehingga daftar belanja mereka di bulan ramadhon jauh lebih tinggi ketimbang di luar bulan Ramadhan. Tentunya ini sangat bertentangan dengan hikmah puasa. Budayakan hemat saat sahur dan berbuka.

-TIPS LANCAR JALANI PUASA.

●Saat sahur usahakan untuk membatasi asupan teh dan kopi. Dua asupan ini membuat metabolisme berjalan cepat.Sehingga cepat mndatangkan rasa haus meski tidak beedehidrasi.

● Sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang lambat dicerna dan &
memiliki serat yang tinggi.Contohnya gandum, padi2an, kacang2an, biji2an, nasi merah.

● Saat berbuka puasa dianjurkan untuk mengkonsumsi kurma karena mengandung gula, serat,karbohidrat, kalium dan magnesium. Dimana lewat kurma ini kebutuhan nutrisi tubuh yg hilang selama puasa perlahan dipenuhi.

● Mengkonsumsi pisang saat berbuka juga sangat baik bagi tubuh Anda, sebab pisang merupakan sumber kalium,magnesium dan karbohidrat.

● Batasi makanan yang digoreng saat berbuka, karena dapat meningkatkan sel-sel lemak dalam tubuh. Dapat meningkatkan keluhan penyakit yang disebabkan oleh lemak, seperti jantung,jantung koroner dan.hipertensi.

● Batasi makanan yang lebih cepat dicerna, sperti gula. Hal ini bisa cepat mendatangkan rasa haus ditengah puasa.

● Konsumsi air/jus buah antara berbuka puasa dan sebelum tidur.Hal ini bertujuan untuk menyediakan kebutuhan cairan dalam tubuh untuk Anda lancar beraktivitas esok harinya.

● Hindari terlalu banyak makanan es, karena memudahkan Anda kenyang. Dimana asupan makanan gizi yang lngkap akan menurun karena tidak bisa masuk ke dalam tubuh.

WA FORBIS

INDAHNYA KESABARAN (1)

Renungan

INDAHNYA KESABARAN
(bagian pertama)

Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa'di -rahimahullah :

صبروا النفوس على المكاره كلها شوقا الى ما فيه من إحسانه

"Mereka -yang berjalan menuju Allah dan negeri akherat nan kekal- bersabar dengan menahan jiwa-jiwa dari segala yang dibenci. Karena rindu kepada kebaikan yang ada padanya".

Kemudian beliau -rahimahullah melanjutkan :

"Sabar adalah menahan jiwa atas apa yang dibenci manusia bila padanya ada keridhaan Allah Ta'ala.

Kesabaran terbagi menjadi tiga :

1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Ta'ala hingga seorang hamba menunaikannya.

2. Sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah Ta'ala hingga seorang hamba meninggalkan kemaksiatan tersebut.

3. Sabar atas taqdir Allah (yang dianggap hamba menyakitkan). Maka seorang hamba dilarang untuk mencelanya.

Apabila datang kemalasan pada seorang hamba untuk taat kepada Allah maka berilah semangat dan kekanglah jiwa untuk taat kepada-Nya. Berilah kabar gembira dengan pahala yang akan diperoleh.

Dan apabila cukup kuat tarikan jiwa untuk bermaksiat kepada Allah maka tahanlah jiwa darinya, peringatkan jiwa akan bahaya dan akibat buruk jika melakukannya.

Maka kesabaran sangat dibutuhkan pada semua urusan hamba.." (selesai ucapan Syaikh As Sa'di -rahimahullah)

Ketahuilah wahai saudaraku sesungguhnya sabar merupakan semulia-mulia sifat hamba, bahkan setinggi-tinggi kedududukan.

Sabar adalah benteng yang tidak akan pernah hancur, batas yang tak terlubangi, dan sabar merupakan semulia-mulia jalan untuk dapat meraih keutamaan dan kedudukan yang tinggi.

Sabar akan membuat hati kokoh, akan menjaga jiwa dari keluh kesah, rasa cemas dan kemarahan. Sabar merupakan bukti atas iman hamba dan termasuk sekuat-kuat hujah atas besarnya kehendak dan kuatnya kekokohan hati (hamba).

Apabila begitu besar dan banyaknya musibah dan ujian pada seorang hamba maka sabar adalah obatnya.

Apabila begitu besar keluh kesah, rasa cemas dan rasa takut maka sabar akan menenangkannya.

Apabila menjadi gelap dunia dan menjadi hitam kehidupan (banyaknya kemaksiatan) maka sabar adalah cahayanya (yang akan menerangi hamba agar tidak terjerumus ke dalamnya).

Allah Ta'ala berfirman :

يأيها الذين ءامنوا اصبروا وصابروا ورابطوا واتقوا الله لعلكم تفلحون (ال عمران : ٢٠٠)

"Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung". (Ali Imran : 200)

وبشر الصبرين (١٥٥) الذين إذا أصبتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه رجعون (١٥٦) أولئك عليهم صلوت من ربهم و رحمة و ألئك هم المهتدون (البقرة : ١٥٥-١٥٧)

"Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: "Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali". Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabb nya, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (Al Baqarah : 155-157)

واستعينوا بالصبر والصلوة (البقرة : ٤٥)

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat". (Al Baqarah : 45)

وما يلقهآ إلا الذين صبروا وما يلقهآ إلا ذو حظ عظيم (فصلت : ٣٥)

"Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan diberikan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan besar". (Fushilat : 35)

إنما يوفى الصبرون أجرهم بغير حساب (الزمر : ١٠)

"Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas". (Az Zumar : 10)

Sabar ditinjau secara syariat adalah menahan diri dari tiga perkara, yaitu :

a. Sabar untuk tetap taat kepada Allah Ta'ala.

Seorang hamba harus bersabar ketika melakukan ketaatan kepada-Nya, karena ketaatan kepada Allah adalah perkara berat bagi jiwa, yang seorang hamba akan merasakan rasa berat tersebut.

Terkadang berat pada badannya seperti hamba yang merasa lelah dan lemah. Tetkadang berat dari sisi harta seperti membayar zakat atau menunaikan ibadah haji ke baitullah.

Maka selayaknya seorang hamba bersabar di atas ketaatan (kepada Allah) dan melatih diri untuk mengamalkannya dan tidak bermalas-malasan atau putus dalam menunaikannya.

Sesungguhnya kebahagiaan di atas kebahagiaan adalah dengan menjalankan ketaatan (kepada Allah). Dan sesungguhnya keberuntungan di atas keberuntungan adalah dengan mengamalkan dan menunaikannya.

Allah Ta'ala berfirman :

ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهدآء والصلحين وحسن أولئك رفيقا (النساء : ٦٩)

"Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, Shiddiqin, Orang-orang yang mati syahid, dan Orang-orang yang shalih". (An Nisa : 69)

b. Sabar dari kemaksiatan kepada Allah Ta'ala.

Maka seorang hamba harus bersabar dari larangan-larangan Allah Ta'ala yaitu dengan menahan diri darinya, dikarenakan jiwa senantiasa akan memerintahkan kepada kejelekan, menyeru kepada hamba untuk bermaksiat dan melakukan kemungkaran-kemungkaran.

Sesungguhnya kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa akan membinasakan hamba yang akan berujung pada kecemasan dan penyesalan pada hari akhir kelak.

Untuk itu seorang yang cerdas akan menahan dirinya dari kemaksiatan dan dosa-dosa.

Dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini membutuhkan kesungguh-sungguhan, perhatian dan resiko.

Barang siapa yang jujur dalam keimanannya maka Allah akan menolongnya, membantunya dan membuatnya istiqamah.

Maka Dialah Allah, Sebaik-baik Pelindung dan Sebaik-baik Penolong. Allah Ta'ala berfirman :

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين (العنكبوت : ٦٩)

"Dan orang-orang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh Allah beserta orang-orang yang berbuat baik". (Al Ankabut : 69)

c. Sabar terhadap taqdir-taqdir Allah.

Maka seorang hamba harus bersabar terhadap taqdir-taqdir Allah yang menyakitkan.

Apabila seorang hamba diberi cobaan pada badannya atau hartanya atau keluarganya atau masyarakatnya atau yang lainnya, maka wajib seorang hamba bersabar menerimanya dan ridha terhadap ketetapan Allah Ta'ala dan taqdir-Nya.

Dan diapun wajib untuk menahan dirinya untuk tidak mencela taqdir Allah dan keluh kesah yang ditampakkan pada lisannya atau hatinya atau anggota badannya.

Diterjemahkan dari Kitab

اللآلئ الباهرة في شرح منظومة السير الى الله والدار الأخرة

Masjid Daril Hadits Fiyusy
✏Akhukum fillah, Abu Abdirrahman Arif Ibnu Khairan As Syiribuni

WhatsApp Thullab Fuyusy

➖➖➖➖➖➖➖

WA Salafy Lintas Negara

Baca juga:
Indahnya Kesabaran (2)

Minggu, 29 Juni 2014

Seputar Shalat Tarawih

Seputar Shalat Tarawih
-----------------------------

Shalat tarawih termasuk ibadah utama di bulan Ramadhan. Sering kita jumpai kaum muslimin memiliki perbedaan dalam praktik shalat tarawih ini, utamanya dalam jumlah rakaat. Uraian berikut insya Allah akan memperjelas mana di antara perbedaan tersebut yang lebih kuat.

“Tarawih” dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari تَرْوِيحَةٌ, yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. [Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294]

Dan تَرْوِيحَةٌ pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap empat rakaat. [Lisanul ‘Arab, 2/462]

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. [Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294]

Karena para jamaah yang pertama kali berkumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). [Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294]

Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam an-Nawawi  ketika menjelaskan tentang sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah  Subhanahu wata’ala, niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan al-Majmu’ (3/526).

Ketika al-Imam an-Nawawi menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka al-Hafizh Ibnu Hajar tmemperjelas kembali tentang hal tersebut, “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih, dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?

Dalam masalah ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hlm. 90), serta disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/605) dan al-Mirdawi dalam al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (6/282) rahimahumullah.
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (al-Fath, 4/297). Pendapat ini pula yang dipegang asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani . Beliau berkata, “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian” (Qiyamu Ramadhan, hlm.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut al-Imam asy-Syafi’i. Hal ini disebutkan pula oleh al-Imam an-Nawawi. Rahimahumullah (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Dasar pendapat pertama:

1.    Hadits ‘Aisyah,  beliau berkata,

“Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalatnya, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar kepada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian.’ Dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam an-Nawawi  berkata, “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah, akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’. Demikian pula shalat tarawih, menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula al-Majmu’, 3/499, 528)
Tidak adanya pengingkaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para sahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (al-Fath, 4/297 dan al-Iqtidha’, 1/592)

2.    Hadits Abu Dzar beliau berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Hadits ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani  dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh al-Albani  berkata, “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri, maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hlm. 26)

3.    Perbuatan ‘Umar bin al-Khaththab dan para sahabat lainnya (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin al-Khaththab melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah. Kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah, dan dipilihlah Ubai bin Ka’b  sebagai imam (lihat Shahih al-Bukhari pada Kitab Shalat Tarawih).

4.    Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5.    Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih menyemangati bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)

Dalil pendapat kedua:

Hadits dari sahabat Zaid bin Tsabit , sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:

# Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para sahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam), karena kekhawatiran beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18). Kalau bukan karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para sahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah). (al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam (al-‘Aun, 4/248 dan al-Iqtidha’, 1/595). Karena dengan wafatnya beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini. Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah memberikan jawaban terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلَاةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad. Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani t berkata, “[Hadits] ini sanadnya sahih,” sebagaimana dalam ash-Shahihah, 1/221 no.108)

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat, berdasarkan:

1.    Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:

“Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. al-Imam al-Bukhari)

Aisyah  dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari daripada lainnya.” (Fathul Bari, 4/299). Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata, “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat. Kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hlm. 22)

2.    Dari Sa’ib bin Yazid beliau berkata

“’Umar bin al-Khaththab  memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. al-Imam Malik, lihat al-Muwaththa Ma’a Syarh az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani t berkata dalam al-Irwa’ (2/192) tentang hadits ini, “(Hadits) ini isnadnya sangat sahih.”
Asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin  berkata, “(Hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar, dan (perintah itu) sesuai dengannya karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As-Sunnah. Apabila Rasulullah n tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:

1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata,

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin al-Khaththab 23 rakaat.” (HR. al-Imam Malik, lihat al-Muwaththa Ma’a Syarh az-Zarqani, 1/362 no. 250)
Al-Imam al-Baihaqi berkata, “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar .” (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (sehingga sanadnya munqathi’/terputus, red.).
Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani mendha’ifkan hadits ini sebagaimana dalam al-Irwa’ (2/192 no. 446)

2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman, dari Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu ‘Abbas:

“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Ausath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, serta dalam al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)

Al-Imam ath-Thabarani berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (al-Mu’jamul Ausath, 1/244)

Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan, “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Bagaimana shalat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).’ Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani  menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). [adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan al-Irwa’, 2/191 no. 445]

Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca zikir-zikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam).

Wa Allahu A’lam

Ditulis Oleh:   Al-Ustadz Hariyadi, Lc.

###

Sumber:  Majalah Asy Syariah

forumsalafy.net

WhatsApp Salafy Indonesia (WSI)

BADAI TAKDIR

Renungan

BADAI TAKDIR

Saat badai takdir menerpa kalbu bani Adam, banyak rahasia dan keajaiban yang sulit dicerna akal. Karena memang takdir-Nya bukan untuk dicerna dengan akal, melainkan diimani dengan hati. Betapa banyak orang yang mempertanyakan ketentuan-Nya di awal kali, dan akhirnya ia tersadar inilah keputusan yang terindah. Manusia tahunya hanya merengek dan meminta, sedangkan Allah selalu memberi apa yang dibutuhkan.

Saat badai takdir menerpa kalbu bani Adam, dan saat reda, tak dinyana dua paman Rasulullah, Abu Thalib dan Abu Lahab, terhempas dalam arus kesyirikan. Jasad mereka berdua terus terseret arus hingga salah seorang dari mereka terapung di permukaan neraka, dan yang lainnya tenggelam di dasarnya. Sedangkan Salman al-Farisi, salah seorang pangeran dari negri Persia ( beliau adalah putra dari raja sekaligus pendeta di sebuah kampung bernama Ji, Ashbahan, Persia ), terselamatkan di pulau hidayah. Subhanallah! Itulah takdir. Banyak rahasia dan keajaiban yang akal tak sanggup membuat rumusnya.

Juga Ummu Sulaim. Seorang wanita yang tinggal berkilo-kilo meter dari titik tempat Rasulullah berpijak saat itu, namun ia membuka kalbunya untuk seruan Rasulullah. Begitu cepat seruan Rasulullah menjadi cahaya yang meresap ke dasar kalbunya dan kekal terpatri di sana. Cahayanya pun terus mengalir lembut hingga membasahi setiap celah dan sendi di tubuhnya. Maka teramat dalam kecintaan Ummu Sulaim kepada Islam.

Bahkan cahaya itu terus mendobrak jiwa Ummu Sulaim agar mau berbagi kepada orang lain. Ummu Sulaim teringat suami dicinta, Malik bin Nadher. Ummu Sulaim membayangkan betapa indahnya jika nakhoda biduknya berislam. Tentu sang nakhoda akan berusaha keras mengayuh dayung mengantarkannya menuju tempat terindah, Surga Firdaus. Betapa indahnya! Ummu Sulaim pun menawarkan kalimat syahadat, Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah kepada Malik bin Nadher. Namun Malik bin Nadher justrru meneriakinya,

“Engkau telah menjadi Shabiah[1]!?”

Ummu Sulaim tak patah semangat. Ia berusaha menawarkan kalimat mulia itu sekali lagi. Dan lagi-lagi Malik bin Nadher menolak. Kalbunya masih tertutup untuk syahadat. Karena Malik bin Nadher mengerti bahwa makna kalimat itu adalah meninggalkan seluruh berhala sesembahannya dan hanya meng-esa-kan Allah dalam beribadah. Walaupun fitrahnya mengakui kebenaran syahadat, namun tetap saja baginya ini aneh dan bertentangan dengan ajaran nenek moyang. Allah berfirman menceritakan perkataan orang jahiliyah

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa Muhammad menjadikan sesembahan yang banyak itu Sesembahan Yang Satu saja!? Sungguh ini benar-benar suatu hal yang sangat aneh.”
(Qs. Shaad:5)

Ummu Sulaim belum menyerah. Dan sembari terus menawarkan syahadat kepada suami dicinta, Ummu Sulaim juga mengajari buah hati, Anas bin Malik yang belum disapih dari persusuan, mengucapkan syahadat.

“Nak, ucapkan Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah!”

Entah bisa atau belum si imut mengucapkannya, Ummu Sulaim terus menggemakan syahadat di telinganya. Berharap si kecil akan tumbuh dalam naungan syahadat. Namun tiba-tiba datang suara menggelegar,

“Jangan kau rusak anakku!”

Suara itu benar-benar menghujam tepat di kalbu Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berusaha menenangkan diri dan menabahkan kalbunya seraya berkata,

"Sungguh aku tiada ingin merusaknya. Aku hanya menginginkan kebaikan untuknya."

Tak lelah Ummu Sulaim berjuang meyakinkan suaminya untuk ber-syahadat. Hari demi hari semenjak hari pertama kali Ummu Sulaim menawarkan syahadat kepada Malik bin Nadher, Ummu Sulaim terus berdakwah kepada sang suami. Hingga akhirnya Malik bin Nadher harus pergi ke Syam untuk suatu keperluan. Dan di tengah perjalanan, tiba-tiba dia disergap musuh dan seketika itu juga dibunuh. Malik bin Nadher tewas dalam keadaan musyrik kafir.

Ummu Sulaim mendengar kematiannya. Namun Ummu Sulaim sadar ia tak memiliki hak untuk mengeluh. Walaupun Ia tidak bisa mengajak suaminya berislam, namun setidaknya Ia sudah beusaha.

Buat apa mengeluh jika kita sudah berusaha. Tulislah rencanamu dengan sebuah pensil, dan berikan penghapusnya pada Allah. Karena Allah yang akan menghapus bagian yang salah dan menggantinya yang terbaik untukmu

Dan begitulah takdir Allah yang penuh rahasia dan keajaiban. Terkadang kita berusaha dan berdoa agar mendapat kupu-kupu, namun justru ulat yang didapat. Berjuang dan berharap bunga, tapi kaktus berduri yang diperoleh. Terkadang kita sudah berusaha mengajak bunda, ayah, saudara dan sahabat yang sangat kita cintai agar mendapat hidayah, namun Allah tak merestuinya. Terkadang kita nelangsa, sedih, bahkan mengeluh. Namun di balik itu semua ternyata tersimpan banyak hikmah dan pelajaran. Siapa yang menyangka ulat menjadi kupu-kupu indah, dan kaktus berbunga elok sekali.

Allah berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Dan barangkali engkau membenci sesuatu padahal itu baik untukmu. Barangkali pula engkau mencintai sesuatu padahal itu buruk untukmu. Dan sungguh Allah Maha Tahu sedang engkau tak mengetahui."
(Qs. al-Baqarah: 216)

Kini Ummu Sulaim melupakan harapannya yang tak direstui Allah, yaitu keislaman Malik bin Nadher, dan menatap harapannya yang lain, Anas bin Malik, sang buah hati!

Sejak itu, Ummu Sulaim bertekad untuk menjaga Anas bin Malik sebaik- baiknya. Perhatiannya tertumpah kepada pendidikan anaknya. Ia mengajarkan Anas bin Malik kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya dan Islam.
________________
[1] Ejekan kaum jahiliyah kepada orang yang masu Islam

Dalam siraman bulan suci
Abu Thalha Yahya al-Windany

WhatsApp Thullab Fuyusy

WA Salafy Lintas Negara

Makan dan Minum Karena Sengaja

FATAWA RINGKAS
SEPUTAR PUASA

Bersama: Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni --hafizhahullah--

bagian kesebelas

MAKAN DAN MINUM KARENA SENGAJA

Soal: Apa hukumnya untuk orang yang berbuka puasa dengan sengaja, tanpa adanya udzur (alasan) syar'i?

Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih tidak wajib baginya mengqadha, tetapi wajib baginya bertaubat dan beristighfar. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazem, Syaikhul Islam, Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil rahimahumullah. Karena tidak ada dalil yang mewajibkan baginya mengqadha.

 Peringatan:

Ibnu Hazem mengecualikan orang yang muntah dengan sengaja, adapun Syaikh Al Albani mengecualikan orang yang muntah dengan sengaja dan orang jimak siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha.

Telah lewat bahwa pendapat yang kuat bahwa muntah, baik sengaja maupun tidak sengaja tidak membatalkan puasa. Adapun masalah jimak akan datang insya Allah permasalahan seputar ini pada pembahasannya secara khusus.

Soal: Jika orang yang makan atau minum dengan sengaja tidak wajib baginya mengqadha, apakah wajib baginya membayar kafarah?

Jawab: Pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat Jumhur ulama, bahwa tidak ada kewajiban baginya membayar kafarah, disebabkan tidak adanya dalil yang menunjukan hal tersebut.

Jika ada orang yang makan kayu, tanah atau batu, apakah puasanya batal?

Jawab: Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih bahwa hal tersebut tetap membatalkan puasa dengan keumuman dalil-dalil yang ada. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.

WALLOHU A'LAM BISH SHOWAAB

Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawi, 27 Syakban 1435/25 Juni 2014_di Darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
WA. Thullab Al Fiyusy

WA Salafy Lintas Negara

Bid'ah Mungkarah : Waktu Imsak

~~~~~~~~~~~

Bid'ah Mungkarah : Waktu Imsak
------------------
 Atas dasar itu, maka kebiasaan menahan makan dan minum sebelum terbitnya fajar kedua, yang dikenal dengan waktu imsak, adalah bid’ah yang mungkar yang harus ditinggalkan dan diingkari oleh kaum muslimin.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan:

“Termasuk dalam bid’ah yang mungkar adalah apa yang telah terjadi pada masa ini (masanya Al-Hafidz Ibnu Hajar-pen) berupa mengumandangkan adzan subuh dan mematikan lampu dua puluh menit sebelum fajar kedua pada bulan Romadhon yang dijadikan sebagai tanda berhentinya makan dan minum bagi orang yang akan shaum dalam rangka ihthiyat (kehati-hatian) dalam beribadah. 

Kebid’ahan ini tidaklah diketahui kecuali oleh segelintir orang dari kalangan kaum muslimin.

Dan bahkan mereka tidak mengumandangkan adzan mahgrib kecuali setelah terbenamnya matahari dengan derajat tertentu untuk memantapkan waktu ifthor (berbuka). Sehingga dengan kebiasaan mengakhirkan ifthor dan menyegerakan sahur ini, mereka telah menyelisihi sunnah yang berakibat sedikitnya kebaikan dan banyaknya kejelekan pada ummat ini.”

(Fathul Baari jilid 4 hal. 199 hadist no. 1957)

selengkapnya
http://miratsul-anbiya.net/2014/06/28/adakah-waktu-imsak/

----------------------------

APAKAH IMSAK TERMASUK SUNNAH ATAU BID'AH?
---------------

Pertanyaan:
Kita dapati, di sebagian kalender, khusus bulan Ramadhan dicantumkan apa yg sering disebut dengan IMSAK. Dan ini biasanya berlangsung sekitar sepuluh menit atau seperempat jam sebelum masuknya waktu Subuh. Nah, apakah yang seperti itu ada dasarnya dari sunnah? Atau, itu termasuk bid'ah? Mohon berikan fatwa kepada kami.

Jawaban:
Yang seperti itu termasuk dari bid'ah dan tidak ada asalnya dari sunnah sama sekali. Sebab, Allah ta'ala telah berfirman di dalam kitabNya yang mulia,
"Lalu, makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian 'benang putih' dari 'benang hitam', yaitu waktu fajar." (QS. Al Baqarah: 187)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun pernah bersabda,
"Sesungguhnya, azan Bilal itu ketika waktu masih lagi malam. Karena itu, makan dan minumlah kalian sampai terdengar azan Ibnu Ummi Maktum. Sebab, sesungguhnya, ia tidaklah azan sampai datangnya waktu fajar."

Sementara IMSAK yang dimaksud, yang itu banyak dilakukan oleh orang-orang, tidak lebih dari sesuatu yang ditambah-tambahkan pada apa yang telah Allah 'azza wa jalla tetapkan.

Karenanya, [IMSAK] itu adalah sesuatu yang batil dan termasuk dari perkara berlebih-lebihan di dalam agama Allah.

Nabi shallallahu'alaihi wa sallam sendiri pernah menegaskan,
"Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan [dalam agama] (3x)."

----------------+
Rujukan:
FATAWA ARKAN AL ISLAM, Asy Syaikh Muhammad Al 'Utsaimin rahimahullah, hal. 429, Pertanyaan No. 429.

-----------------------

WA MiratsulAnbiya Indonesia

Kumpulan Faidah Dars Kitab Shiyam dari Kitab Al Jami'us Shahih

----------------
KUMPULAN FAIDAH DARS KITAB SHIYAM DARI KITAB AL JAMI'US SHAHIH
________
Materi dibawakan oleh Asy Syaikh Abdurrahman Al 'Adeny -hafidzahulah- pada malam Senin 24 Sya'ban 1435 H.

Hendaknya mengikhlaskan niat ketika berpuasa, karena berpuasa tanpa dilandasi keikhlasan, hanya merasakan kelaparan dan kehausan semata, tidak (akan) mendapatkan balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Perkara - perkara yang membatalkan puasa:
1. Makan
2. Minum
3. Berhubungan suami istri (jima')
4. Berbekam menurut pendapat yang kuat (rojih).(Bekam) diqiyaskan dengan segala sesuatu yang mengeluarkan banyak darah, secara sengaja, seperti donor darah.

Adapun (jika disebakan oleh) sesuatu yang tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa, seperti (akibat) kecelakaan, dll.

Pendapat yang kuat: Muntah tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa baik (dengan) sengaja atau tidak.

Menelan ludah atau dahak tidak membatalkan puasa.

Seorang musafir diberi keringanan untuk tidak berpuasa.

Bolehkah seorang musafir berpuasa?
Pendapat yang kuat,  dirinci:
▪Jika berpuasa memberatkan dia, maka makruh baginya berpuasa.
Bahkan menjadi haram apabila bisa menyebabkan kematian.
▪Kalau dia tidak merasa kesulitan maka boleh baginya untuk berpuasa.
Seorang musafir dibolehkan (untuk) tidak berpuasa, apabila telah meninggalkan perbatasan kampung atau kotanya. Ini adalah pendapat yang kuat.

Dibolehkan bagi orang yang berpuasa, apabila merasa kehausan untuk berkumur-kumur, mandi, atau berendam di kolam.

Jangan mengucapkan:
"Saya telah berpuasa Ramadhan sebulan penuh".
Karena dia tidak mengetahui, apakah Allah Subhaanahu wa Ta'ala menerima seluruh puasanya atau tidak.

Apabila seorang yang meninggal memiliki HUTANG PUASA, baik itu puasa Ramadan, kaffarat, atau nadzar. Maka dianjurkan bagi kerabat - kerabatnya untuk mengganti puasanya. Dan ini pendapat yang kuat.

Apabila wanita hamil atau menyusui tidak  berpuasa pada bulan Ramadan, sama saja (alasan) keduanya berbuka (apakah) karena:

1. Mengkhawatirkan kesehatannya, atau
2. Mengkhawatirkan keselamatan bayinya, atau
3. Mengkhawatirkan dirinya dan bayinya.

Maka wajib bagi keduanya untuk MENGQADHA' (mengganti puasa ) pada selain bulan Ramadhan.
✔Ini (adalah) pendapat yang kuat.

Seseorang yang berpuasa boleh mencium istrinya, selama dia mampu menahan diri dan tidak dikhawatirkan (akan) keluar maninya.

Wallahu a'lam.

Ibnu Salihin Al-Balikbabany
_________
WA Forum Berbagi Faidah. Dikutip dari WA TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

Sabtu, 28 Juni 2014

NASEHAT BERHARGA JELANG PUASA RAMADHAN

---------

NASEHAT BERHARGA JELANG PUASA RAMADHAN


Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

"أما صيام رمضان فهو الركن الرابع من أركان الإسلام يجب أن تتقي الله فيه، فإذا جاء رمضان عليك أن تصوم مع الناس كما أمر الله، وتحفظ صومك عن اللغو وعن الغيبة والنميمة وسائر المعاصي ولا تجرح صومك بشيء منها، بل الواجب أن تصون صيامك عن كل المعاصي، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ، وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ». أخرجه البخاري في صحيحه."
[مجموع فتاوى ابن باز 24/ 129]

“Adapun puasa Ramadhan, maka ia adalah rukun keempat dari rukun-rukun Islam.
Anda wajib bertaqwa kepada Allah dalam permasalahan puasa ini.
Maka jika datang Ramadhan, wajib bagi Anda berpuasa bersama kaum muslimin sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan menjaga puasa Anda dari sesuatu yang sia-sia, ghibah, adu-domba, dan seluruh kemaksiatan yang ada.
Jangan cemari puasa Anda dengan sesuatu darinya. Bahkan, wajib bagi Anda untuk menjaganya dari seluruh kemaksiatan. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan yang diharamkan oleh Allah, perbuatan yang diharamkan oleh Allah, dan kebodohan maka Allah tidak butuh terhadap upaya meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya).”
HR. Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.

Majmu’ Fatawa Ibn Baz 24/129.

 WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia 1

----------------