Selasa, 31 Mei 2016

Bagaimana Masa Depan Negeri Ini Jika Para Pemudanya Seperti Ini?!

❌ *BAGAIMANA MASA DEPAN NEGERI INI JIKA PARA PEMUDANYA SEPERTI INI?!*

.. _Asy-Syaikh Ahmad bin Mubarak bin al-Mazru'iy hafizhahullah_

_Jika para pemuda disatukan oleh drum, dicerai beraikan oleh (klub) sepakbola, disibukkan oleh HP, yang suka mereka dengarkan adalah musik, dan kumpulnya mereka di diskotik, maka masyarakat semacam apa yang akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda tidak menjaga rukun-rukun iman dan Islam, apalagi mengerti makna-maknanya, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda tidak menjaga shalat lima waktu di masjid dan sebagian mereka tidak mengerjakan shalat kecuali shalat Jum'at, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda mengikuti Barat dalam pemikiran, pakaian, cerita, dan cara berjalannya, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda durhaka kepada kedua orang tuanya, suka mengganggu tetangganya, dan kikir terhadap orang-orang yang lemah, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda telah mencabut rasa malu dari hatinya dan melepas tirai yang menutupi badannya, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda melewati masa-masa belajar dengan menipu dan menyuap, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda menghambur-hamburkan hartanya dan menyia-nyiakan waktunya, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda kecanduan narkotika dan obat-obat terlarang, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda menggandrungi orang-orang Barat dan menempuh jalan orang-orang sekuler, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda tidak menunaikan tugasnya dengan amanah dan tidak menjaga aset-aset negaranya, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda tidak tertanam pada dirinya kecintaan terhadap pemimpinnya, tidak mengetahui kewajiban untuk mendengar dan mentaati pemerintahnya, dan tidak merasakan betapa berharganya nilai tanah airnya, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Ketika para pemuda -yang merupakan kekuatan dan pondasi besar bagi masyarakat- terbelenggu dengan tali syahwat dan terikat dengan syubhat, maka apakah masyarakat akan bisa bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jika para pemuda tidak mengerti dan tidak memiliki perhatian terhadap bahasa Arab, bahkan dia menganggapnya sebagai ketertinggalan dan kemunduran, maka masyarakat seperti apa yang akan bangkit dengan orang-orang seperti mereka?!_

_Jadi penyimpangan para pemuda di hadapan kita merupakan bahaya besar yang mengancam masyarakat._

https://twitter.com/aboalmubarak

⚪ *WhatsApp Salafy Indonesia*
⏩ *Channel Telegram* || http://bit.ly/ForumSalafy

Sepuluh Nukilan Dari Ucapan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah tentang Rafidhah

#SELAMATKAN Indonesia dari Syiah:
*SEPULUH NUKILAN DARI UCAPAN SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH TENTANG RAFIDHAH*

1⃣ Berkata Syaikhul Islam -rahimahullah- :
Adapun Rafidhah maka prinsip kebid'ahan mereka berasal dari kemunafikan yang besar dan kekufuran. (Al-Minhaj 1/68)
Prinsip madzhabnya (Rafidhah) hanyalah berasal dari kebid'ahan yang dilakukan orang-orang zindiq yang munafiq. (Al-Minhaj 6/303)

2⃣ Berkata Syaikhul Islam -rahimahullah- :
Sungguh kemunafikan sangatlah banyak dan tampak jelas pada agama Rafidhah saudara Yahudi. (Mihajus Sunnah An-Nabawiyyah 7/476)

3⃣ Berkata Syaikhul Islam -rahimahullah- :
Tidak diragukan lagi bahwa agama Rafidhah memiliki kemiripan yang jelas dengan Yahudi karena mereka (Rafidhah) juga kaum pendusta. (Mihajus Sunnah An-Nabawiyyah 8/371)

4⃣ Rafidhah menyukai bangsa Tatar dan pemerintahannya karena mereka mendapatkan kemuliaan bersama Tatar yang tidak mereka dapatkan pada daulah Islam dan Rafidhah (juga) membantu kaum musyrikin dan Yahudi dalam memerangi kaum muslimin. (Al-Fatawa 28/527)

5⃣ Rafidhah ... mereka tidak akan puas hanya dengan tidak memerangi orang-orang kafir bersama kaum muslimin hingga mereka bergabung dengan orang-orang kafir untuk memerangi kaum muslimin, maka mereka adalah orang-orang yang paling jauh keluar dari agama (Islam). (Al-Fatawa 28/530)

6⃣ Berkata Syaikhul Islam -rahimahullah- :
Rafidhah tidak memiliki andil sedikitpun kecuali andil dalam menghancurkan Islam, memutus ikatannya dan merusak pondasinya. (Mihajus Sunnah An-Nabawiyyah 7/414)

7⃣ Berkata Syaikhul Islam -rahimahullah- :
Oleh karenanya Rafidhah mendukung musuh-musuh Islam yang setiap orang mengetahui permusuhan mereka terhadap Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani dan kaum musyrikin. (Mihajus Sunnah An-Nabawiyyah 7/414)

8⃣ Berkata Syaikhul Islam -rahimahullah- :
Oleh karenanya Rafidhah menjadi salah satu sebab terbesar masuknya bangsa kafir At-Turk ke dalam negeri-negeri Islam. (Mihajus Sunnah An-Nabawiyyah 7/414)
[Bangsa At-Turk adalah bangsa Tatar]

9⃣ Rafidhah dahulu menjadi salah satu sebab terbesar dikuasainya Baitul Maqdis oleh Nasrani hingga kaum muslimin membebaskannya dari mereka. (Mihajus Sunnah An-Nabawiyyah 7/414)

Berkata Syaikhul Islam -rahimahullah- :
Seandainya seorang Rafidhah memimpin -semoga  Allah melindungi dari hal tersebut-, ia akan menghina Al-Khulafaur Rasyidin dan menghina para sahabat As-Sabiqunal Awwalun maka niscaya Islam akan hancur. (Mihajus Sunnah An-Nabawiyyah 8/239)

✍ Dikumpulkan dan dipilih oleh 'Arafat Al-Muhammady

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Diambil dari Chanel Telegram Asy-Syaikh 'Arafat Al-Muhammady -hafizhahullah-

Tim WSC

=======================

WhatsApp Salafy Cirebon

Join Channel Telegram :

http://bit.ly/salafycirebon

Keutamaan-Keutamaan Puasa


بسم الله الرحمن الرحيم

⛺KEUTAMAAN-KEUTAMAAN PUASA

☝DI ANTARANYA adalah:

1. Dilipatgandakannya kebaikan (pahala) suatu amalan padanya dengan tanpa batas pada jumlah/bilangan tertentu. Sementara amalan-amalan yang lain dilipatgandakan pahalanya oleh Allah ta’ala hanya sebanyak 10 sampai 700 kali lipat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Setiap amalan anak Adam dilipatgandakan pahalanya sebanyak 10 sampai 700 kali lipat sampai pada yang dikehendaki oleh Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. Dia (hamba) meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku.” Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan: gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu dengan Rabbnya. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah adalah lebih harum dari semerbak minyak wangi misik. (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Asy Syaikh Al-Albani).

Maka jelaslah dari hadits ini bahwasanya Allah mengkhususkan puasa untuk diri-Nya daripada amalan-amalan yang lain. Dan Allah mengkhususkan amalan puasa tersebut dengan dilipatgandakannya pahala suatu amalan -sebagaimana yang telah lalu-, dan bahwasanya keikhlasan dalam puasa adalah jauh lebih mendalam nilainya dibanding amalan-amalan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Dia meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku (Allah).

Sebagaimana pula Allah subhanahu wata’ala memberikan balasan berikutnya bagi orang yang berpuasa dengan kegembiraan di dunia dan akhirat yaitu kegembiraan yang terpuji dikarenakan dia telah melaksanakan ketaatan kepada Allah ta’ala, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam ayat-Nya

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ
Katakanlah dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka dengan itu bergembiralah kalian. (Yunus: 58)

Sebagaimana diambil pula faidah bahwa suatu ketaatan yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu, maka itu menunjukkan sesuatu yang dicintai oleh Allah ta’ala, sebagai misal adalah apa yang didapatkan dari orang yang berpuasa dari bau mulutnya yang berubah dengan sebab puasa.

2. Di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya puasa akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat dan akan menutupinya dari dosa-dosa dan syahwat yang membahayakan serta akan menjaganya dari An-Naar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Puasa dan Al Qur’an keduanya akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat, Puasa berkata :: Wahai Rabbku aku telah menahannya dari makanan dan syahwat, maka berilah syafa’at kepadanya. Al Qur’an juga berkata : Aku telah menahannya dari tidur pada malam hari maka berilah syafa’at kepadanya. Maka keduanya diberi izin oleh Allah untuk memberikan syafaat.(HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

Puasa adalah sebagai tameng dan akan membentengi pelakunya dari An Naar. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).

3. Dan di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya doa orang yang berpuasa itu dikabulkan oleh Allah ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Dan sesungguhnya bagi setiap muslim pada setiap siang dan malam memiliki doa yang dikabulkan oleh Allah ta’ala. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).

Dan telah disebutkan pada pertengahan ayat-ayat puasa (yakni Al Baqarah ayat 183 sampai 187) yang memberikan dorongan kepada orang yang berpuasa untuk memperbanyak doa dalam firman-Nya

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ
Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku maka katakanlah: sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa seseorang jika dia berdoa kepada-Ku. (Al Baqarah: 186)

4. Dan di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya puasa akan menjauhkan pelakunya dari An Naar pada hari kiamat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Tidaklah seorang hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah kecuali dengan (puasa) hari tersebut Allah akan jauhkan wajahnya dari An Naar sejauh perjalanan selama 70 musim.(HR. Muslim, An Nasa’i, Ad Darimi).

5. Dan di antara keutamaan puasa adalah dikhususkannya bagi orang yang berpuasa dengan salah satu pintu dari pintu-pintu Al Jannah yang mereka akan masuk ke dalamnya tanpa selain mereka, sebagai bentuk pemuliaan dan sebagai balasan atas ibadah puasa yang mereka lakukan. Berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

Sesungguhnya di Al Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan dengan Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat, yang tidak akan masuk ke dalamnya selain orang-orang yang berpuasa. Maka kemudian dikatakan : mana orang-orang yang berpuasa? maka bangkitlah orang-orang yang berpuasa dan merekapun memasukinya. Dan jika mereka telah masuk ke dalamnya, ditutuplah pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk ke dalamnya seorangpun. (Muttafaqun ‘Alaihi).

✏ Penulis/Editor : Admin Silsilatush Sholihin Padang
Sumber : salafy.or.id
⏰ Pukul : 14.45 WIB

Hastag : #keutamaan_keutamaan_puasa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Publikasi :
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Link Access :
https://bit.ly/SilsilatusSholihinPadang
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kumpulan Artikel :
www.salafypadang.salafymedia.com
---------------------------
https://tlgrm.me/SilsilatusSholihin

====================
Ⓜ️Ma'had Silsilatush Sholihin Padang

Hukum Ringkas Seputar Pembatalan Puasa (1)

Penuhilah Dunia Dengan Ilmu:
_________
Hukum Ringkas Seputar Pembatalan Puasa (1)

Menggunakan tetes telinga
Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa menggunakan tetes telinga meskipun dia mendapatkan rasa dari apa yang dia teteskan di tenggorokan dia, dikarenakan hal itu tidak membatalkan puasa, alasannya ialah dikarenakan dia tidak memakan atau meminumnya, tidak pula dianggap makan dan minum.
[Majmu' Fatawa 19/24]

Menggunakan tetes hidung

Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
"Jika diteteskan pada hidung melalui lubang hidungnya dengan tujuan untuk membatalkan puasa maka batal puasanya,"
[Majmu' Fatawa 19/205]

Menggunakan tetes mata
Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
"Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk mengobati matanya dengan apa saja, baik dengan obat tetes ataupun berbentuk bubuk, dan tidak membatalkan puasa,"
[Majmu' Fatawa 19/24]

Sumber:
Chanel:
الفوائد من كتب السلف

┄┄┉┉✽̶»̶̥»̶̥✽̶┉┉┄┄
Bergabunglah bersama kami di chanel telegram pada link berikut ini
http://bit.ly/penuhduniailmu
Untuk faedah lain kunjungi www.jendelasunnah.com
---------------------------------------
  Jendela Sunnah
---------------------------------------

Sabtu, 28 Mei 2016

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (13-15)

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 13)

Bab 8⃣: Pembatal-Pembatal Puasa

Al-Imam as-Sa'di berkata, "Barangsiapa berbuka (batal puasa) dengan makan, minum, muntah secara sengaja, berbekam, atau mengeluarkan mani kerana memeluk isteri, kewajipannya hanyalah melakukan qadha puasa (tanpa kafarat). Akan tetapi orang yang berbuka dengan jima' wajib melakukan qadha puasa dan membebaskan budak (hamba) (sebagai kafarat). Jika tidak mendapatkan hamba, ia wajib (menebusnya) dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak mampu, maka ia wajib (menebusnya) dengan memberi makan enam puluh orang fakir miskin. Nabi bersabda, "Barangsiapa lupa selagi ia berpuasa, lalu ia makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, kerana sesungguhnya Allah semata-mata memberi makan dan minum kepadanya (tanpa membatalkan puasa)" (Muttafaq 'alaih)."

Ketentuan Batalnya Puasa Bagi Pelaku Pembatal-Pembatal Puasa
Puasa batal dengan salah satu dari pembatal-pembatal puasa dengan syarat-syarat berikut:

1⃣: Melakukannya dengan sengaja.

"Tidak ada dosa bagi kalian atas apa yang kalian tersalah padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disegaja oleh kalbu (hati) kalian..." (Al-Ahzab: 5)

2⃣: Melakukannya dengan sedar (ingat atau tidak lupa).

"Barangsiapa lupa (tidak sedar) selagi ia berpuasa, lalu ia makan atau minum, hendaklah menyempurnakan (melanjutkan) puasanya..." (Muttafaq 'alaih)

3⃣: Melakukannya dengan mengetahui (mempunyai ilmu) hukum perkara itu sebagai pembatal puasa dan mengetahui keadaan.

Asma' bintu Abi Bakr berkata, "Kami pernah berbuka pada masa hidup Nabi di hari yang mendung, kemudian matahari kembali muncul." (HR Bukhari)

✅ Tidak dinukilan bahawa Nabi menyatakan puasa mereka batal. Hal itu disebabkan ketidaktahuan mereka akan keadaan matahari yang belum terbenam kerana terhalang mendung.

Jenis-Jenis Pembatal Puasa
Ada beberapa jenis pembatal puasa, sebahagiannya disepakati dan sebahagiannya diperselisihkan. Pembatal-pembatal puasa yang disepakati oleh para ulama adalah makan, minum dan berhubungan suami isteri (jima').

"Maka dari itu, sekarang campurilah mereka (isteri-isteri kalian) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, serta makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih (terangnya siang) dan benang hitam (gelapnya malam), iaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Al-Baqarah: 187)

(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)

Bersambung insyaAllah.

WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 14)

Bab 8⃣: Pembatal-Pembatal Puasa

Rincian Pembatal Puasa Dari Jenis Makan & Minum

1⃣: Menelan sisa-sisa makanan di mulut ketika puasa. 
Ibnu Mundzir mengatakan ijma' ulama bahawa sisa makanan di mulut yang kadarnya sedikit sehingga sulit untuk dikeluarkan dan sulit dihindari agar tidak tertelan, tidak membatalkan puasa jika tertelan.
Jumhur ulama berpendapat bahawa sisa makanan di mulut yang kadarnya banyak dan masih dapat dihindari agar tidak tertelan dengan cara meludahkannya, wajib diludahkan. Jika sengaja menelannya, hal itu membatalkan puasa. (Al-Mughni 4/360)

2⃣: Menelan rasa makanan yang tersisa di mulut ketika puasa.
Al-Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahawa rasa makanan yang tersisa di mulut wajib diludahkan dan tidak boleh ditelan. (Asy-Syarh al-Mumti' 6/428)

3⃣: Menelan rasa yang tersisa setelah bersiwak atau memberus gigi dengan ubat gigi ketika puasa.
Al-Imam Ibnu Utsaimin berpendapat ianya wajib diludahkan, dan boleh membatalkan puasa jika ditelan dengan sengaja. (Majmu' ar-Rasa'il 19/352-354)

4⃣: Menelan darah (yang bersumber dari rongga mulut atau hidung) ketika puasa.
Al-Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Utsaimin menegaskan supaya dikeluarkan dan tidak boleh menelannya. Jika dia menelannya, puasanya batal. (Al-Mughni 4/355 & Asy-Syarh al-Mumti' 6/429)

5⃣: Menelan dahak (kahak) ketika puasa.
Jika kahak turun ke kerongkongan tanpa melewati mulut dan tertelan, hal ini tidak membatalkan puasa meskipun terasa ketika tertelan, sebab kahak tersebut tidak sempat masuk ke rongga mulut.
Jika kahak tersebut mengalir turun dan masuk ke rongga mulut orang yang berpuasa, pendapat yang benar adalah tidak boleh ditelan dan harus diludahkan, jika ditelan membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Asy-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad.

(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)

Bersambung insyaAllah.

WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 15)

Bab 8⃣: Pembatal-Pembatal Puasa

6⃣: Menelan sesuatu yang masuk melalui hidung.
Menelan sesuatu yang masuk melalui hidung membatalkan puasa, kerana hidung merupakan salah satu saluran masuk ke kerongkongan menuju perut, yang dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan mulut.

"Dan bersungguh-sungguhlah (berlebihanlah) engkau dalam istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung ketika wudhu), kecuali engkau dalam keadaan berpuasa." (HR Ahmad, Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani dan al-Wadi'i)

Hadits ini menunjukkan perbuatan berlebihan dalam istinsyaq ketika puasa ditegaskan oleh Nabi kerana ianya boleh menyebabkan batalnya puasa. Ulama seperti al-Imam Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin berpendapat berlebihan dalam hal istinsyaq dan berkumur-kumur bagi yang berpuasa hukumnya makruh. (Majmu' al-Fatawa Ibni Baz 15/261, Asy Syarh al-Mumti' 6/379 dan 407)
Menelan titisan as-Sa'uth yang masuk ke kerongkongan juga termasuk dalam hal ini. As-Sa'uth adalah ubat yang dititiskan melalui hidung (gurah). Barangsiapa melakukan gurah lalu merasakan titisan as-Sa'uth itu masuk ke kerongkongannya dan ia pun menelannya dengan sengaja, puasanya batal. Ini adalah fatwa mazhab al-Imam Malik dan juga al-Imam Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.
Menghirup asap wangi pedupaan (bakhour) termasuk dalam hal ini. Asap wangi pedupaan adalah sesuatu yang terlihat zatnya (berwujud). Oleh kerana itu, akan membatalkan puasa jika dihirup kerana sama dengan menelan suatu zat hingga masuk ke perut. Yang tidak dibenarkan adalah menghirupnya dengan sengaja. Ini difatwakan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz.

7⃣: Mendapatkan suntikan ketika puasa.
Suntikan memasukkan suatu zat melalui jarum suntik ke otot atau urat. Hal ini terbahagi menjadi dua jenis:
➡Ada yang bersifat sebagai sumber zat-zat makanan dan minuman bergizi serta penguat bagi tubuh, iaitu suntikan infus (cairan makanan). Suntikan ini membatalkan puasa kerana memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan makan dan minum.
➡Ada pula yang bersifat suntikan biasa yang tidak bersifat sebagai nutrisi tubuh yang menguatkannya, iaitu suntikan ubat atau vitamin. Suntikan ini tidak membatalkan puasa. Inilah yang difatwakan oleh al-Imam al-Albani, Ibnu Baz, al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin.

(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)

Bersambung insyaAllah.

WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

Jumat, 27 Mei 2016

Makna “Puasa Itu Untuk Allah”


✋ MAKNA “PUASA ITU UNTUK ALLAH”
Asy Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i رحمه الله
Pertanyaan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda meriwayatkan dari Rabbnya, “Semua amalan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya, puasa itu untuk-Ku dan Aku yang membalasinya.”
Padahal telah diketahui bahwa seluruh ibadah adalah untuk Allah dan diberi pahala atasnya. Akan tetapi, mengapa Allah mengkhususkan puasa hanya untuknya?
Jawaban: Kekhususan pada ibadah puasa ialah bahwa puasa itu hanya antara hamba dan Rabbnya. Bisa saja seseorang menampakkan diri bahwa dia berpuasa, tetapi ketika pulang ke rumahnya atau ke tempat yang sepi, dia makan.
Dalam hadits tersebut terkandung pula keistimewaan dan keutamaan amalan puasa. Demikian pula amalan lainnya, masing-masing memiliki keutamaan dan keistimewaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagaimana dalam hadits Abu Umamah yang bertanya kepada beliau, “Tunjukkan kepadaku sebuah amalan—wahai Rasulullah—yang bisa aku amalkan!”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Hendaknya engkau berpuasa, karena tidak ada yang semisal dengannya.”
Maknanya bukanlah puasa lebih utama dari shalat, melainkan puasan memiliki keistimewaan ini dan bahwa puasa menunjukkan keikhlasan.
Sumber: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=1708
Kunjungi || http://forumsalafy.net/makna-puasa-itu-untuk-allah/
⚪ WhatsApp Salafy Indonesia
⏩ Channel Telegram || http://bit.ly/ForumSalafy


Kamis, 26 Mei 2016

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (10-12)


Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 10)
Bab 6⃣: Ketentuan Puasa Bagi Wanita Dalam Keadaan-Keadaan Khusus
Al-Imam as-Sa'di berkata, "Wanita haidh dan wanita nifas diharamkan berpuasa dan berkewajipan melakukan qadha puasa. Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, jika keduanya mengkhawatirkan keadaan janin dan bayinya, diperbolehkan berbuka (tidak berpuasa) serta berkewajipan melakukan qadha puasa dan memberi makanan (fidyah) kepada seorang fakir miskin untuk setiap puasa (yang ditinggalkannya)."
Ketentuan Puasa Bagi Wanita Haidh & Wanita Nifas
Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan berpuasa. Dalilnya:
Aisyah berkata, "Kami pernah mengalami haidh di masa hidup Rasulullah, lalu kami kembali suci. Baginda memerintahkan kami untuk melakukan qadha puasa dan tidak memerintahkan kami untuk melakukan qadha solat." (Muttafaq 'alaih)
Ketentuan Puasa Bagi Wanita Hamil & Menyusui
Wanita hamil dan menyusui diperbolehkan berbuka, jika ia mengkhawatirkan keadaan dirinya, janin/bayinya, atau keduanya.
Ada beberapa pendapat ulama dalam kaedah membayar semula hutang puasa bagi wanita hamil dan menyusui ini:
1⃣: Diwajibkan melakukan qadha puasa dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat mazhab al-Imam Ahmad dan disebutkan oleh al-Imam as-Sa'di. Akan tetapi pendapat ini lemah, kerana tidak ada dalil yang mewajibkan pembayaran fidyah bersama kewajipan qadha puasa.
2⃣: Diwajibkan hanya membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, serta dipilih oleh al-Imam al-Albani. 
Ibnu Abbas berkata, "Wanita hamil atau menyusui jika keduanya khawatir (akan dirinya, bayinya atau kedua-duanya), keduanya diperbolehkan berbuka dan (diwajibkan) memberi makan (fakir miskin)." (HR al-Baihaqi, al-Albani menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari & Muslim)
❗Namun, pendapat ini terdapat kelemahan jika ditinjau dari segi makna. Sebab, secara makna pendapat ini telah menyamakan keadaan wanita hamil atau menyusui yang suatu ketika akan kembali sihat dan kuat untuk melakukan qadha puasa, dengan keadaan orang yang tidak mampu lagi berpuasa selamanya kerana lanjut usia sehingga berkewajipan menggantinya dengan pembayaran fidyah. Penyamaan ini tidak benar, kerana perbezaan antara kedua keadaan tersebut sangatlah jelas.
3⃣: Diwajibkan hanya melakukan qadha puasa. Alasannya, wanita hamil dan menyusui keadaannya seperti orang sakit dan musafir yang terkadang merasa berat untuk berpuasa. Ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha'i, al-Hassan al-Bashri, Atha' bin Abi Rabah dan al-Imam Abu Hanifah. Pendapat inilah dipilih oleh al-Imam Ibnu Baz bersama al-Lajnah ad-Da'imah, al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Imam Muqbil al-Wadi'i. Dan pendapat ini yang benar insyaAllah. Ianya bertepatan dengan hadits Nabi:
"Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil." (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. Dishahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi'i)
(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)
Bersambung insyaAllah.
WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf
Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 11)
Bab 7⃣: Ketentuan Bagi Orang Yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa
Al-Imam as-Sa'di berkata, "Seorang yang tidak mampu lagi berpuasa kerana lanjut usia atau kerana penyakit yang tidak ada harapan sembuh, berkewajipan memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa (yang ditinggalkannya)."
Hukum Orang Yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa ada dua golongan:
1⃣: Orang tua lanjut usia yang tidak mampu sama sekali berpuasa, atau merasakan beban yang sangat berat ketika berpuasa. Lanjut usia yang dimaksud di sini adalah yang belum mengalami kepikunan (nyanyok). Adapun yang telah nyanyok, sudah bukan mukallaf lagi.
2⃣: Penderita penyakit yang tidak ada harapan sembuh. Al-Imam Ibnu Utsaimin menerangkan bahawa hal ini berdasarkan diagnosis ahli medik yang terpercaya di bidangnya, atau berdasarkan keumuman yang terjadi bahawa penderita penyakit seperti itu biasanya tidak dapat sembuh.
Ulama berbeza pandangan dalam menetapkan hukum bagi orang yang tidak mampu lagi berpuasa kerana lanjut usia atau kerana sakit yang tidak ada harapan sembuh:
1⃣: Sebahagian ulama berpendapat bahawa orang tersebut tidak diwajibkan berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah, sebagai ganti setiap hari puasa yang ditinggalkan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah:
"Bagi orang-orang yang mampu menjalankan puasa (terdapat pilihan) untuk membayar fidyah berupa memberi makan seorang fakir miskin." (Al-Baqarah: 184)
Ibnu Abbas berkata, "Ayat ini tidak dihapus (hukumnya). Yang dimaksud adalah lelaki dan wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa, hendaklah keduanya memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan." (HR Bukhari)
✅ Begitu juga hukumnya bagi orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, kerana kesamaan makna yang ada pada keduanya. Hal ini telah difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz. Juga fatwa al-Imam al-Albani, Ibnu Utsaimin dan al-Wadi'i. Ini pendapat yang benar.
2⃣: Sebahagian lainnya berpendapat bahawa orang yang tidak mampu lagi berpuasa, tidak diwajibkan melakukan qadha puasa dan tidak diwajibkan pula membayar fidyah, kerana ayat tersebut telah mansukh (dihapus) secara mutlak. Ini adalah pendapat al-Imam Malik, Abu Tsaur dan Dawud azh-Zhahiri. Namun pendapat ini lemah.
(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)
Bersambung insyaAllah.
WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf
Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 12)
Bab 7⃣: Ketentuan Bagi Orang Yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa
Ketentuan Fidyah
Fidyah yang diberikan kepada fakir miskin (dari kalangan muslim) adalah setiap jenis makanan yang biasa diberikan seseorang kepada keluarganya di antara makanan-makanan ruji (pokok) negeri setempat, baik berupa gandum, burr, gandum sya'ir, beras, mahupun lainnya.
Ulama berbeza pandangan dalam ukuran fidyah yang wajib diberikan:
1⃣: Jumhur (majoriti) ulama berpendapat bahawa kadar fidyah adalah satu mudd dari jenis makanan ruji apa saja.
2⃣: Sebahagian ulama lainnya berpendapat bahawa kadar fidyah adalah setengah sha' dari jenis makanan ruji apa saja, berdasarkan penyamaan hukum dengan fidyah al-Adza pada ibadah haji secara qiyas. Pendapat ini difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz.
Satu sha' senilai dengan empat mudd. Jadi fidyah dengan setengah sha' senilai dengan dua mudd. Menurut al-Lajnah Da'imah, satu sha' dalam ukuran timbang, kurang lebih 3kg. Manakala menurut al-Imam Ibnu Utsaimin kurang lebih 2.10kg beras atau 2.04kg gandum burr.
Fidyah al-Adza adalah yang disebutkan dalam hadits Ka'ab bin Ujrah tatkala ia menunaikan haji dan terganggu oleh kutu di kepalanya. Rasulullah memerintahkan untuk mencukur rambut kepalanya dengan memberi tiga pilihan sebagai tebusannya. Di antaranya baginda mengatakan:
"Atau engkau memberi makanan kepada enam orang fakir miskin, untuk setiap orang setengah sha'." (Muttafaq 'alaih)
3⃣: Ada pula berpendapat tidak ada ketentuan kadar tertentu dalam pembayaran fidyah. Dengan dalil bahawa Allah memerintahkan pembayaran fidyah secara mutlak tanpa membatasinya dengan kadar tertentu. Maka dari itu, sah dibayarkan dengan kadar yang dianggap cukup dalam pemberian makanan menurut tuntutan kebiasaan masyarakat. Pendapat ini yang rajih (terkuat) sebagaimana dinyatakan al-Imam Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti (6/349-350). Ini berdasarkan perbuatan sahabat, Anas bin Malik yang telah lanjut usia, beliau mengumpulkan tiga puluh orang fakir miskin dan memberi mereka roti dan lauknya.
"Anas telah membahagikan makanan fidyah setelah ia lanjut usia dalam setahun atau dua tahun, kepada seorang fakir miskin untuk setiap harinya berupa roti dan daging. Ia pun berbuka (tidak mampu berpuasa)." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu'allaq dalam Kitab ash-Shahih dalam Kitab Tafsir Al-Qur'an, Bab Qauluhu Ta'ala: أَيَّامًامَّعْدُودَتٍ)
❗Pembayaran fidyah dalam bentuk wang kepada fakir miskin tidak sah, kerana yang diwajibkan oleh Allah adalah al-Ith'am (pemberian makanan) dan Dia menamainya al-Ith'am. Maka dari itu, wajib menunaikannya sesuai dengan yang telah diwajibkan dan dinamakan oleh Nya. Hal ini ditegaskan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz. (Majmu' ar-Rasa'il 19/116-117 dan Fatawa al-Lajnah 10/163-164, 23/7)
(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)
Bersambung insyaAllah.
WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (07-09)


Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 7)

Bab 5⃣: Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit & Musafir

Al-Imam as-Sa'di berkata, "Orang sakit yang terkena mudharat kerana berpuasa dan musafir, keduanya memiliki pilihan untuk berbuka (tidak berpuasa) atau tetap berpuasa."

Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit
Dalil bolehnya orang sakit untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah firman Allah:

"Maka dari itu, barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam safar, (lalu ia berbuka) diwajibkan baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184)

Al-Imam as-Sa'di menyatakan kriteria sakit yang menjadi uzur untuk mendapat keringanan tidak berpuasa adalah apabila orang sakit tersebut akan mendapat mudharat jika berpuasa. Mudharat itu adalah sakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, al-Imam Malik, dan selaras dengan pendapat ulama ahli fikih di kalangan mazhab Syafi'i.

Namun, Fatwa al-Lajnah ad-Da'imah (10/180) yang diketuai al-Imam Ibnu Baz, membolehkan berbuka apabila puasa itu berat bagi orang sakit itu, meskipun tidak menimbulkan mudharat terhadap keadaan sakitnya. 

Al-Imam Ibnu Utsaimin merincikan pendapat beliau dalam asy-Syarh al-Mumti, 6/352-353. Ini merupakan pendapat yang terkuat dan terbaik dalam masalah ini:

1⃣: Jika berpuasa itu memberi pengaruh kurang enak pada dirinya, tetapi tidak sampai memberatkannya. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya, sedangkan berpuasa dibolehkan baginya (tidak makruh).

2⃣: Jika berpuasa terasa memberatkan dirinya, tetapi tidak sampai memberi mudharat. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya dan makruh untuk berpuasa.

3⃣: Jika berpuasa memberi mudharat terhadapnya, seperti penderita sakit ginjal, sakit gula (diabetis) dan semacamnya. Pada keadaan ini, wajib atasnya untuk berbuka dan haram untuk berpuasa.

(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)

Bersambung insyaAllah.

WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 8)

Bab 5⃣: Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit & Musafir

Ketentuan Puasa Bagi Musafir
Dalil bolehnya musafir untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah firman Allah:

"Maka dari itu, barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam safar, (lalu ia berbuka) diwajibkan baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184)

"Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil." (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. Dishahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi'i)

Para musafir memiliki beberapa keadaan yang masing-masingnya memiliki hukum tersendiri:

1⃣: Berpuasa atau berbuka sama saja bagi musafir itu.
Ada 3 pendapat dalam masalah ini:
➡Pendapat pertama menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berpuasa. Ini pendapat al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam Syafi'i. Ini dipilih oleh Ibnu Hajar dan al-Imam Ibnu Utsaimin. Dalilnya:

"Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca sangat panas, sehingga salah seorang di antara kami benar-benar meletakkan tangannya di atas kepalanya kerana cuaca yang sangat panas. Tidak seorang pun di antara kami berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah." (Muttafaq 'alaih)

(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)

Bersambung insyaAllah.

WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

Silsilah Fikih Puasa Lengkap (Bahagian 9)

Bab 5⃣: Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit & Musafir

➡Pendapat kedua menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan Ishaq Rahawaih. Dan dipilih oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Baz dan al-Lajnah ad-Da'imah. Dalilnya:

"Wahai Rasulullah, saya merasa diri saya memiliki kekuatan untuk berpuasa dalam safar. Apakah saya terkena dosa (kerana berpuasa)?" Rasulullah menjawab, "Berbuka adalah keringanan dari Allah. Maka dari itu, barang siapa mengambil keringanan itu, hal itu adalah baik, dan barang siapa memilih untuk tetap berpuasa, tidak ada dosa atasnya." (HR Muslim)

➡Pendapat ketiga menyatakan bahawa yang lebih utama baginya adalah mana yang paling mudah baginya antara berpuasa atau berbuka ditinjau dari segi susah atau tidaknya untuk melakukan qadha. Jika lebih mudah untuk berpuasa dan susah untuk melakukan qadha, yang afdhal baginya adalah berpuasa. Jika melakukan qadha di luar Ramadhan lebih mudah baginya, yang utama adalah melakukan qadha. Ini adalah pendapat Mujahid, Umar Abdul Aziz, Qatadah. Ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan al-Imam al-Albani. Dalilnya:

"Wahai Rasulullah, sungguh saya adalah seorang yang selalu berpuasa. Apakah saya boleh berpuasa ketika safar?" Rasulullah menjawab, "Silakan berpuasa jika engkau mahu, dan silakan berbuka jika engkau mahu." (HR Bukhari dan Muslim)

2⃣: Berbuka lebih ringan bagi musafir.
Al-Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahawa keadaan seperti safar, berbuka lebih utama bagi musafir. Melakukan hal yang memberatkan diri padahal terdapat keringanan dari Allah, menunjukkan adanya sikap berpaling dari keringanan yang Allah berikan. Dalilnya:

"Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil keringanan-keringananNya sebagaimana Allah tidak suka untuk dimaksiati." (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban pada kitab ash-Shahih dari keduanya)

3⃣: Berpuasa sangat memberatkan musafir itu sehingga ia tidak mampu lagi untuk menanggungnya, atau bahkan memudharatkannya.
Berpuasa dalam keadaan seperti ini haram dan wajib untuk berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Imam al-Albani. Dalilnya:

"Rasulullah pernah dalam safarnya melihat seseorang dikerumuni orang banyak dalam keadaan dinaungkan di bawah pohon (dari panas matahari). Lalu baginda bertanya, "Ada apa ini?" Mereka menjawab, "Orang ini berpuasa." Baginda bersabda, "Bukan merupakan kebaikkan berpuasa dalam safar"." (Muttafaq 'alaih)

(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)

Bersambung insyaAllah.

WhatsApp طريق السلف
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

10 Jenis Tangisan Manusia


1⃣0⃣ *Jenis Tangisan Manusia*

قال ابن القيم رحمه الله :
عشرة أنواع للبكاء :
* بكاء الخوف والخشية .
* بكاء الرحمة والرقة .
* بكاء المحبة والشوق .
* بكاء الفرح والسرور .
* بكاء الجزع من ورود الألم وعدم احتماله .
* بكاء الحزن .... وفرقه عن بكاء الخوف ، أن الأول " الحزن " : يكون على ما مضى من حصول مكروه أو فوات محبوب وبكاء الخوف : يكون لما يتوقع في المستقبل من ذلك ، والفرق بين بكاء السرور والفرح وبكاء الحزن أن دمعة السرور باردة والقلب فرحان ، ودمعة الحزن : حارة والقلب حزين ، ولهذا يقال لما يُفرح به هو " قرة عين " وأقرّ به عينه ، ولما يُحزن : هو سخينة العين ، وأسخن الله به عينه .
* بكاء الخور والضعف .
* بكاء النفاق وهو : أن تدمع العين والقلب قاس .
* البكاء المستعار والمستأجر عليه ، كبكاء النائحة بالأجرة فإنها كما قال أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه : تبيع عبرتها وتبكي شجو غيرها .
* بكاء الموافقة : فهو أن يرى الرجل الناس يبكون لأمر عليهم فيبكي معهم ولا يدري لأي شيء يبكون يراهم يبكون فيبكي .
#زاد_المعاد  (185،184/1)

Ibnul Qoyyim rahimahullaahu berkata,

"Ada sepuluh macam jenis tangisan, yaitu:

1. Tangisan karena rasa takut dan khawatir.

2. Tangisan karena rasa kasih sayang dan kelemah lembutan.

3. Tangisan karena rasa cinta dan rindu.

4. Tangisan karena rasa senang dan bahagia.
5. Tangisan karena ketidak sabaran dan ketidak kuatan dalam menghadapi penyakit yang diderita.

6. Tangisan karena rasa sedih.

Adapun perbedaan antara tangisan kesedihan dan tangisan karena rasa takut atau kekhawatiran ialah bahwasannya tangisan kesedihan ialah tangisan yang disebabkan karena terjadinya perkara yang tidak disukai atau terluputnya perkara yang disukai pada waktu yang telah lalu. Sedangkan tangisan karena rasa takut atau kekhawatiran ialah tangisan yang disebabkan karena mengkhawatirkan terjadinya dua perkara tadi pada waktu yang akan datang.

Sedangkan perbedaan antara tangisan kebahagiaan atau kegembiraan dengan tangisan kesedihan ialah bahwasanya air mata karena kebahagiaan itu terasa sejuk dan hati dalam keadaan bahagia. Sedangkan air mata kesedihan itu terasa panas dan hati dalam keadaan sedih.

Oleh karena itu, dikatakan pada sesuatu yang membahagiakan, "Ia adalah Qurrotu 'Ain (penyejuk mata) dan Allah menyejukkan matanya dengan sesuatu yang membahagiakan tersebut". Dan dikatakan untuk sesuatu yang menyedihkan, "Ia adalah Sakhinatul 'Ain" ( yang menjadikan mata panas) dan Allah menjadikan matanya panas dengan sesuatu yang menyedihkan tersebut."

7. Tangisan karena keterpurukan dan kelemahan.

8. Tangisan kemunafikan, yaitu mata menetaskan air matanya sedangkan hati dalam keadaan keras.

9. Tangisan sewaan dan bayaran, yaitu seperti tangisan wanita yang meratapi mayit untuk mendapatkan bayaran. Sesungguhnya keadaan wanita yang seperti itu ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mu'minin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, "Dia menjual airmatanya dan menangisi kesedihan orang lain.

10. Tangisan mengikuti orang lain tanpa sebab, yaitu seseorang yang melihat manusia menangis karena peristiwa yang menimpa mereka kemudian diapun ikut menangis bersama mereka, sedangkan dia tidak mengetahui apa yang menyebabkan mereka menangis. Hanya karena dia melihat manusia menangis kemudian diapun ikut menangis.

Zaadul Ma'ad (184, 185)

Tim Salafy Cirebon

========================

WhatsApp Salafy Cirebon

┄┄┉┉✽̶»̶̥»̶̥✽̶┉┉┄┄
Bergabunglah bersama kami di chanel telegram pada link berikut ini
http://bit.ly/penuhduniailmu
Untuk faedah lain kunjungi www.jendelasunnah.com
---------------------------------------
  Jendela Sunnah
---------------------------------------

Belajar Aqidah Shahihah Dari Kitab Al Ushul Ats Tsalatsah (2)


BELAJAR AQIDAH SHAHIHAH
DARI KITAB AL USHUL ATS TSALATSAH

PELAJARAN KEDUA

قال المؤلِّف رحمه الله تعالى:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Berkata Penulis_rahimahullah Ta'ala:

"Bismillahirrohmanirrohim" (dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang)

-----------------------

Penjelasan:

Dasar isi dari kitab ini adalah apa yang ditunjukan dalam hadits Al Bara' bin 'Azib_radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

"Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk melihat jenazah seorang laki-laki Anshar, kami pun tiba di pemakaman. Ketika lubang lahad telah dibuat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk, lalu kami ikut duduk di sisinya. Kami diam, seakan-akan di atas kepala kami ada burung. Saat itu beliau memegang sebatang kayu yang ditancapkan ke dalam tanah, beliau lalu mengangkat kepalanya dan bersabda: "Mintalah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur." Beliau ucapkan kalimat itu hingga dua atau tiga kali. Demikanlah tambahan dalam hadits Jarir. Beliau melanjutkan: "Sungguh, mayat itu akan mendengar derap sandal mereka saat berlalau pulang; yakni ketika ditanyakan kepadanya, 'Wahai kamu, siapa Rabbmu? Apa agamamu? Dan siapa Nabimu? ' -Hannad menyebutkan; Beliau bersabda: - "lalu ada dua malaikat mendatanginya seranya mendudukkannya. Malaikat itu bertanya, "Siapa Rabbmu?" ia menjawab, "Rabbku adalah Allah." Malaikat itu bertanya lagi, "Apa agamamu?" ia menjawab, "Agamaku adalah Islam." Malaikat itu bertanya lagi, "Siapa laki-laki yang diutus kepada kalian ini? ' ia menjawab, "Dia adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." malaikat itu bertanya lagi, "Apa yang kamu ketahui?" ia menjawab, "Aku membaca Kitabullah, aku mengimaninya dan membenarkannya." Dalam hadits Jarir ditambahkan, "Maka inilah makna firman Allah: '(Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman…) ' hingga akhir ayat. -Qs. Ibrahim: 27- kemudian kedua perawi sepakat pada lafadz, "Beliau bersabda: "Kemudian ada suara dari langit yang menyeru, "Benarlah apa yang dikatakan oleh hamba-Ku, hamparkanlah permadani untuknya di surga, bukakan baginya pintu-pintu surga dan berikan kepadanya pakaian surga." beliau melanjutkan: "Kemudian didatangkan kepadanya wewangian surga, lalu kuburnya diluaskan sejauh mata memandang." Beliau melanjutkan: "Jika yang meninggal adalah orang kafir, maka ruhnya akan dikembalikan kepada jasadnya. Saat itu datanglah dua malaikat serya mendudukkannya. Kedua malaikat itu bertanya, "Siapa Rabbmu?" ia menjawab, "Hah, hah, hah. Aku tidak tahu." Malaikat itu bertanya, "Apa agamamu?" ia menjawab, "Hah, hah. Aku tidak tahu." Malaikat itu bertanya lagi, "Siapa laki-laki yang diutus kepada kalian ini? ' ia menjawab, "Hah, hah. Aku tidak tahu." Setelah itu terdengar suara dari langit: "Ia telah berdusta. Berilah ia hamparan permadani dari neraka, berikan pakaian dari neraka, dan bukakanlah pintu-pintu neraka untuknya." Beliau melanjutkan: "Kemudian didatangkan kepadanya panas dan baunya neraka. Lalu kuburnya disempitkan hingga tulangnya saling berhimpitan." Dalam hadits Jarir ditambahkan, "Beliau bersabda: "Lalu ia dibelenggu dalam keadaan buta dan bisu. Dan baginya disediakan sebuah pemukul dari besi, sekiranya pemukul itu dipukulkan pada sebuah gunung niscaya akan menjadi debu." Beliau melanjutkan: "Laki-laki kafir itu kemudian dipukul dengan pemukul tersebut hingga suaranya dapat didengar oleh semua makhluk; dari ujung timur hingga ujung barat -kecuali jin dan manusia- hingga menjadi debu." Beliau meneruskan ceritanya: "Setelah itu, ruhnya dikembalikan lagi." [HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al Albany, riwayat Ibnu Abi Syaebah dishahihkan Syaikh Muqbil. Riwayat ini lebih lengkap dari riwayat Al Bukhary – Muslim dari shahabat Anas]

Perkataan Penulis_Rahimahullah:

"Bismillahirrohmanirrohim" (dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang)

Beliau memulai kitab ini dengan Basmalah, hai ini dikarenakan beberapa hal:

1. Mencontoh Kitabullah (Al Quran), yang mana Al Qur'an dimulai dengan bacaan Basmalah.

2. Meneladani dan mengamalkan sunnahnya para Nabi, yang mana mereka menulis diawal risalah dakwah mereka kepada para raja-raja dari kalangan orang-orang kafir dengan Basmalah;

a. Nabi Sulaiman 'alaihissalam menulis risalah kepada penguasa Saba' dengan Basmalah:

{إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}

"Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." [An Naml: 30]

b. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ketika menulis risalah kepada Hiraklius raja Ramawi, beliau membuka risalahnya dengan Basmallah:

«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ»

"BISMILLAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang), dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Hiraklius raja Ramawi." [HR. Al Bukhary - Muslim]

c. Demikian pula dalan perdamaian Hudaibiyah, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya dari shahabat Abdullah bin Mughaffal, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad no 887.

3. Mengikuti jejak para Shahabat_radhiyallahu 'anhum, yang mana Abu Bakr Ash Shiddiq_radhiyallahu 'anhu ketika menulis risalahnya kepada Anas bin Malik_ radhiyallahu 'anhu diawali dengan Basmalah, sebagaimana yang dikabar Anas bin Malik_radhiyallahu 'anhu:

«أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ هَذَا الكِتَابَ لَمَّا وَجَّهَهُ إِلَى البَحْرَيْنِ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى المُسْلِمِينَ، وَالَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا رَسُولَهُ... » الحديث

"Bahwa Abu Bakar radliallahu 'anhu telah menulis surat ini kepadanya (tentang aturtan zakat) ketika Abu Bakr mengutusnya ke negeri Bahrain: "Bismillahirrahmaanirrahiim. Inilah kewajiban zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam terhadap kaum Muslimin dan seperti yang diperintahkan oleh Allah dan rasulNya tentangnya… [HR. Al Bukhary]

4. Hal ini sudah menjadi kebiasan para ulama dalam mengawali setiap risalah atau kitab-kitabnya.
Berkata Ibnu Abdil Bar_rahimahullah: Disunnahkan bagi setiap yang akan memulai sebuah tulisan empat perkara: Basmalah, Hamdalah, Shlawat 'alan Nabi, dan Tasyahhud.
Berkata Ibnu Hajar_rahimahullah: telah tetap menjadi kebiasaan para penulis untuk mengawali basmalah dalam kitab-kitab ilmu.

⛔ Peringatan:

Adapun hadits Abu Hurairah_radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«كُلُّ أَمرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأ فِيهِ باسْمِ اللهِ فَهُوَ أَبْتَر»

"Semua perkara penting yang tidak dimulai dengan Basmalah adalah sia-sia." [HR. Al Khathib dan As Subky, berkata Syakh Albany dalam kitab Al Irwa': 1/29: Hadits ini lemah sekali]

Demikian pula hadits Abu Hurairah:

«كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدِ أَقْطَعُ »

"Semua perkara penting yang tidak dimulai dengan hamdalah adalah sia-sia."[HR. Ibnu Majah, didha'ifkan Syaikh Al Albany]

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawi, 22 Rabi'ul Awwal 1435/ 23 Januari 2014]

WA. FORUM KIS

Selasa, 24 Mei 2016

Ketetapan Syari'at Islam Dalam Cara Penentuan Ramadhan Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan


بسم الله الرحمن الرحيم

KETETAPAN SYARI’AT ISLAM DALAM CARA PENENTUAN RAMADHAN PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN⛺

Oleh Ustadz Alfian

☝dilakukan dengan dua cara – tidak ada yang ketiga –

1. Ru’yatul Hilal

2. Ikmal (menggenapkan) bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ini dilakukan apabila tidak berhasil melakukan ru’yatul hilal, baik karena mendung ataupun karena faktor-faktor lainnya.

Ar-Ru`yah : artinya melihat atau mengamati dengan menggunakan mata atau penglihatan.

Al-Hilâl : Bulan sabit yang paling awal terlihat pada permulaan bulan (asy-syahr).

Kenapa dinamakan Al-Hilâl?

⛺Al-Hilâl berasal dari kata ( هَلَّ – أَهَلَّ) halla, ahalla artinya : “tampak atau terlihat.” Dinamakan demikian, karena merupakan bentuk Bulan Sabit yang pertama kali tampak pada awal bulan.

⛺Sebab lain kenapa dinamakan Al-Hilâl adalah, karena orang-orang yang melihatnya berseru ketika memberitakannya.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Al-Hilâl adalah nama untuk sesuatu yang ditampakkan, yakni disuarakan. Penyuaraan itu tidak akan bisa terjadi kecuali jika bisa diketahui oleh penglihatan atau pendengaran.”

Jadi dinamakan dengan Al-Hilâl karena itu merupakan bentuk Bulan yang paling awal tampak dan terlihat, orang yang melihatnya berseru untuk memberitakan bahwa Al-Hilâl sudah terlihat.

Yang dinamakan dengan Al-Hilâl adalah khusus untuk bulan sabit pada malam pertama dan kedua saja, ada juga yang berpendapat hingga malam ketiga, ada pula yang berpendapat hingga malam ke-7. Adapun selebihnya tidak dinamakan dengan Al-Hilâl.

⛺Dalam bahasa Indonesia, Al-Hilâl sering disebut Bulan Sabit Termuda. Walaupun dari sisi asal-usul dan sebab penamaan tidak sama.

☝⛺Ru`yatul Hilâl dalam pengertian syara’ adalah : Melihat Al-Hilâl dengan mata atau penglihatan, pada saat terbenamnya Matahari pada petang hari ke-29 akhir bulan, oleh saksi yang dipercaya beritanya dan diterima kesaksiannya. Sehingga dengan itu diketahui bulan (asy-syahr) baru telah masuk.

☝Jadi, dalam ketentuan Syari’at Islam, masuknya bulan baru tidak semata-mata ditandai dengan wujûd (keberadaan) Al-Hilâl di atas ufuk, yaitu kondisi ketika Matahari tenggelam lebih dahulu daripada Bulan setelah peristiwa ijtimâ’ (ijtimak/kunjungsi) ). Tapi masuknya bulan baru dalam ketentuan Syari’at Islam ditandai dengan terlihatnya Al-Hilâl. Meskipun secara perhitungan Al-Hilâl sudah wujud namun pada kenyataannya tidak terlihat, maka berarti belum masuk bulan baru.

✏ Bersambung ...

✏ Penulis/Turut Publikasi : Admin Silsilatush Sholihin Padang

Sumber : salafy.or.id

⏰ Pukul : 13.27 WIB

Hastag :
#ketetapan_syariat_islam_dalam_cara_penentuan_ramadhan_awal_dan_akhir_ramadhan

~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Publikasi :
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Link Access :
https://bit.ly/SilsilatusSholihinPadang
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kumpulan Artikel :
www.salafypadang.salafymedia.com
---------------------------
https://tlgrm.me/SilsilatusSholihin

====================
Ⓜ️Ma'had Silsilatush Sholihin Padang

بسم الله الرحمن الرحيم

KETETAPAN SYARI’AT ISLAM DALAM CARA PENENTUAN RAMADHAN PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN

⛺Bagian 2

✏DALIL-DALIL RU’YATUL HILAL ⛺

Oleh Ustadz Alfian حفظه الله تعالى

A. Dari shahabat Ibnu ‘Umar رضي الله عنه  :

أن رسول الله – – ذكر رمضان فقال : « لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له »
Bahwa Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan, maka beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian melihat al-hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi (oleh mendung, debu, atau yang lainnya) maka tentukan/perkirakanlah untuknya.”

☝Hadits ini diriwayatkan oleh : Al-Bukhari 1906; Muslim 1080; An-Nasâ’i no. 2121; Demikian juga Mâlik dalam Al-Muwaththa` no. 557; Ahmad (II/63)

« الشهر تسع وعشرون، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
“Satu bulan itu dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kalian memulai ibadah shaum sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian melihatnya. Jika terhalang atas kalian maka sempurnakanlah bilangan (bulan menjadi) tiga puluh (hari).”

☝Diriwayatkan oleh Al-Imâm Al-Bukhâri 1907; Asy-Syâfi’i dalam Musnad-nya no. 435 (I/446).

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

« فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلالين »
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Jika (Al-Hilâl) terhalangi atas kalian, maka tentukanlah untuk (bulan tersebut menjadi) tiga puluh.”

☝Diriwayatkan oleh Al-Imâm Muslim 1080. Diriwayatkan pula oleh Abû Dâwûd no. 2320

Dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan lafazh :

« لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ ف

َإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ »
“Janganlah kalian memulai ibadah shaum sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian melihat Al-Hilâl. Jika terhalang atas kalian maka bershaumlah kalian selama tiga puluh (hari).”

✏Al-Imâm Al-Baihaqi رحمه الله تعالى  meriwayatkan dalam Sunan-nya (IV/205) no. 7720 melalui jalur Nâfi dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :

« إن الله تبارك وتعالى جعل الأهلة مواقيت، فإذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فاقدروا له أتموه ثلاثين »
“Sesungguhnya Allah Tabâraka wa Ta’âlâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu. Maka jika kalian melihatnya mulailah kalian bershaum, dan jika kalian melihatnya ber’idulfitrilah kalian. Namun jika terhalang atas kalian, maka perkirakanlah dengan menggenapkannya menjadi tiga puluh hari.”

☝Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya (III/201) no. 1906.

Demikian juga diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq dalam Mushannaf-nya no. 7306 dengan lafazh :

إن الله جعل الأهلة مواقيت للناس، فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فعدوا له ثلاثين يوما
☝“Sesungguhnya Allah menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka mulailah ibadah shaum kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan ber’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Jika hilâl terhalangi atas kalian, maka hitunglah (bulan tersebut) menjadi tiga puluh hari.” ✔Hadits ini dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâni dalam Shahîh Al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3093, lihat pula Tarâju’ât Al-‘Allâmah Al-Albâni fit Tash-hih no. 49.

B. Dari shahabat Abû Hurairah رضي الله عنه  bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

« إذا رأيتم الهلال فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوماً »
“Jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka bershaumlah kalian, dan jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka ber’idul fitrilah kalian. Namun jika (Al-Hilâl) terhalang atas kalian, maka bershaumlah kalian selama 30 hari.”

☝Diriwayatkan oleh Muslim v 1081 An-Nasâ`i no. 2119; Ibnu Mâjah no. 1655; dan Ahmad (II/263, 281).

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم الشهر فعدوا ثلاثين »
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan beri’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila asy-syahr (al-hilâl) terhalangi atas kalian maka hitunglah menjadi tiga puluh hari.”

✏Dalam riwayat Al-Bukhâri dengan lafazh :

« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين » .
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan beri’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila (al-hilâl) terhalangi atas kalian maka sempunakanlah bilangan bulan Sya’bân menjadi tiga puluh hari.”

C. dari shahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs رضي الله عنه  bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :

« لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ »
“Janganlah kalian melaksanakan shaum hingga kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya. Jika (al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari.”

☝Diriwayatkan oleh : Al-Imâm Mâlik dalam Muwaththa` no. 559.

عَجِبْتُ مِمَّنْ يَتَقَدَّمُ الشَّهْرَ، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ  : « إِذَا رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ »
“Saya heran dengan orang yang mendahului bulan (Ramadhan), padahal Rasulullah  telah bersabda : “Jika kalian telah melihat al-Hilâl maka bershaumlah, dan jika kalian melihatnya maka ber’idul fitrilah. Kalau (al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari.”

☝Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (2125) Ahmad (I/221) dan Ad-Dârimi (1739). Lihat Al-Irwâ` no. 902. d. Al-Imâm Abû Dâwûd meriwayatkan dengan sanadnya (no. 2325)

✏Dari Ummul Mukminin ‘Âisyah رضي الله عنها   berkata :

« كَانَ رَسُولُ اللهِ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ ، عَدَّ ثَلاَثِينَ يَوْمًا ، ثُمَّ صَامَ »
“Dulu Rasulullah senantiasa berupaya serius menghitung
(hari sejak) hilâl bulan Sya’bân, tidak sebagaimana yang beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau bershaum berdasarkan ru’yah (hilâl) Ramadhan. Namun apabila (al-hilâl) terhalangi atas beliau, maka beliau menghitung (Sya’bân menjadi) 30 hari, kemudian (esok harinya) barulah beliau bershaum.”

☝Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imâm Ahmad (VI/149), Ibnu Khuzaimah (1910), Ibnu Hibbân (3444), Al-Hâkim (I/423) Al-Baihaqi (IV/406). Ad-

✔Dâraquthni menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd no. 2325.

✏ Bersambung ...

✏ Penulis / Publikasi : Admin Silsilatush Sholihin Padang
Sumber : salafy.or.id
⏰ Pukul : 17.51 WIB

Hastag : #dalil_dalil_ru'yatul_hilal

~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Publikasi :
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Link Access :
https://bit.ly/SilsilatusSholihinPadang
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kumpulan Artikel :
www.salafypadang.salafymedia.com
---------------------------
https://tlgrm.me/SilsilatusSholihin

====================
Ⓜ️Ma'had Silsilatush Sholihin Padang

بسم الله الرحمن الرحيم

KETETAPAN SYARI’AT ISLAM DALAM CARA PENENTUAN RAMADHAN PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN

✏Bagian 3

✏DARI SELURUH HADITS DI ATAS, DAPAT DIAMBIL KESIMPULAN :

Oleh Ustadz Alfian حفظه الله تعالى

1. Rasulullah memerintahkan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan dan pelaksanaan ‘Idul Fitri dan ‘Idul ‘Adha berdasarkan ru`yatul hilâl, yaitu apakah al-hilâl sudah terlihat ataukah belum. Tidak semata-mata al-hilâl telah wujud ataukah belum. Inilah yang dipahami oleh para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena mereka memberikan judul bab untuk hadits-hadits tersebut, yang menunjukkan pemahaman dan kesimpulan mereka terhadap makna lafazh-lafazh pada hadits-hadits tersebut. Di antaranya :
Al-Imâm An-Nawawi memberikan bab untuk hadits-hadits di atas dalam kitab beliau Syarh Shahîh Muslim :

بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

☝Bab : Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari.
Al-Imâm Ad-Dârimi dalam Sunan nya memberikan bab :

بَاب الصَّوْمِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ
☝Bab : Ash-Shaum berdasarkan ru`yatul hilâl

2. Rasulullah صلى الله عليه وسلم  melarang untuk memulai ibadah shaum Ramadhan atau merayakan ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha sebelum al-hilâl benar-benar terlihat oleh mata.
Al-Imâm Ibnu Hibbân menyebutkan bab dalam Shahîh-nya :

ذكر الزجر عن أن يصام من رمضان إلا بعد رؤية الهلال له
☝“Penyebutan dalil tentang larangan untuk bershaum Ramadhan kecuali setelah al-hilâl terlihat.”

⛺3. Apabila pada malam ke-30 al-hilâl tidak bisa dilihat, baik karena mendung, debu, atau yan lainnya, maka wajib menempuh cara istikmâl, yaitu menggenapkan bulan tersebut menjadi 30 hari.
Al-Imâm An-Nawawi telah menyebutkan bab :

بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
☝Bab : Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari.

4. Dalam satu bulan itu bisa jadi 29 hari, bisa jadi 30 hari.

✔5. Dalam penentuan masuk dan keluar bulan-bulan qamariyah, kaum muslimin tidak membutuhkan tulisan dan ilmu hisab. Karena untuk menentukannya, umat Islam cukup dengan cara ru`yatul hilâl atau istikmâl.

6. Landasan syar’i dalam penentuan Ramadhan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha adalah dengan ru`yatul hilal atau istikmâl.

✏ Bersambung ...

✏ Penulis / Publikasi : Admin Silsilatush Sholihin Padang
Sumber : salafy.or.id
⏰ Pukul : 09.27 WIB

Hastag : #kesimpulan_dalil_dalil_ru'yatul_hilal

~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Publikasi :
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Link Access :
https://bit.ly/SilsilatusSholihinPadang
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kumpulan Artikel :
www.salafypadang.salafymedia.com
---------------------------
https://tlgrm.me/SilsilatusSholihin

====================
Ⓜ️Ma'had Silsilatush Sholihin Padang

بسم الله الرحمن الرحيم

KETETAPAN SYARI’AT ISLAM DALAM CARA PENENTUAN RAMADHAN PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN

✏Bagian 4

✏DARI SELURUH HADITS DI ATAS, DAPAT DIAMBIL KESIMPULAN :

✔7. Hikmah dan fungsi keberadaan Al-Hilâl, adalah sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia. Terlihatnya al-hilâl sebagai tanda dimulai dam diakhiri pelaksanaan shaum Ramadhan.
Al-Imâm Ibnu Khuzaimah telah meletakkan bab :

باب ذكر البيان أن الله جل وعلا جعل الأهلة مواقيت للناس لصومهم وفطرهم إذ قد أمر الله على لسان نبيه عليه السلام بصوم شهر رمضان لرؤيته والفطر لرؤيته ما لم يغم قال الله عز وجل { يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس } الآية
☝Bab : Penjelasan bahwasanya Allah Jalla wa ‘alâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia dalam memulai ibadah shaum mereka atau ‘idul fitri mereka. Karena Allah telah memerintahkan melalui lisan Nabi-Nya  untuk memulai shaum bulan Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idul fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl jika memang al-hilâl tidak terhalangi. Allah  berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang hilâl-hilâl. Katakanlah: “itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.”

8. Rasulullah tidak pernah mengajarkan untuk menjadikan ilmu hisab sebagai dasar penentuan Ramadhan, ‘Idul Ftri, dan ‘Idul Adha.

9. Kesalahan sebagian orang dalam menafsirkan sabda Nabi فاقدروا له (Perkirakanlah) bahwa yang dimaksud adalah menggunakan ilmu hisab. Karena makna lafazh tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi sendiri, yaitu maknanya adalah menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Tentunya yang paling mengerti tentang makna dan maksud sabda Nabi adalah beliau sendiri. Sebaik-baik tafsir tentang makna dan maksud suatu hadits adalah hadits yang lainnya.
Al-Imâm Ibnu Khuzaimah :

باب ذكر الدليل على أن الأمر بالتقدير للشهر إذا غم أن يعد شعبان ثلاثين يوما ثم يصام
☝Bab : Penyebutan dalil bahwa perintah untuk memperkirakan bilangan bulan apabila al-hilâl terhalangi (tidak terlihat) maksudnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari, kemudian (esok harinya) bershaum.
Al-Imâm Ibnu Hibbân :

باب ذكر البيان بأن قوله : ( فاقدروا له ) أراد به أعداد الثلاثين
☝Bab : “Penyebutan dalil bahwa makna sabda Nabi (فاقدروا له ) (perkirakanlah) adalah dengan menggenapkan menjadi 30 hari.

10. Nabi  melarang untuk mendahului bershaum sebelum masuk bulan Ramadhan, baik sehari atau dua hari sebelumnya. Nabi  juga melarang bershaum pada hari ke-30 Sya’bân yang pada malam harinya al-hilâl tidak terlihat.

11. Nabi  mengajarkan kepada kaum muslimin untuk memperhatikan dan menghitung secara serius hari-hari bulan Sya’bân dalam rangka mempersiapkan diri melakukan ru`yatul hilâl Ramadhan.
Al-Imâm Ibnu Hibbân meletakan sebuah bab :

ذكر البيان بأن المرء عليه إحصاء شعبان ثلاثين يوما ثم الصوم لرمضان بعده
☝Bab : “Penyebutan dalil bahwa wajib atas setiap muslim untuk menghitung hari-hari bulan Sya’bân sampai 30 hari, kemudian melaksanakan shaum Ramadhan keesokan harinya.”

✏SELESAI

✏Penulis / Publikasi : Admin Silsilatush Sholihin Padang
Sumber : salafy.or.id
⏰ Pukul : 10.00 WIB

Hastag : #kesimpulan_dalil_dalil_ru'yatul_hilal

~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Publikasi :
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Link Access :
https://bit.ly/SilsilatusSholihinPadang
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kumpulan Artikel :
www.salafypadang.salafymedia.com
---------------------------
https://tlgrm.me/SilsilatusSholihin

====================
Ⓜ️Ma'had Silsilatush Sholihin Padang

Betulkah Perselisihan Ulama Tentang Abul Hasan, Al-Halabi Dan Ar-Ruhaili Masalah Ijtihadiyah?


•---°°°---•
BETULKAH PERSELISIHAN ULAMA TENTANG ABUL HASAN, AL-HALABI DAN AR-RUHAILI MASALAH IJTIHADIYAH?

⭐Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali حفظه الله

✅[ Pertanyaan ]

˝Apa pendapat anda ‎ tentang orang yang mengatakan kalau perselisihan para ulama tentang Abul Hasan, Al-Halabi dan Ar-Ruhaili adalah masalah ijtihadiyah, maka boleh bagi  penuntut ilmu melihat pada dua pendapat tersebut dan merajihkan mana yang nampak (benar)?˝

[ Jawaban ]

“Saya bertanya pada orang ini: Orang yang mengkritik mereka ini berkata,
berkata si fulan, yakni Al-Halabi…,
berkata Ar-Ruhaili…,
berkata Al-Ma’ribi…

▪️dalam kitab yang ini dan kaset ini (yang berisi penyimpangan mereka – pent)”
▪️dan ia membawakan bukti suaranya dan memberikannya kepadamu.

SEMENTARA YANG MENENTANGNYA, APA YANG IA UCAPKAN?

Jika dia membawakan padamu bukti yang membantahnya, setelah itu maka ambilah apa yang ia bawa.

{ Yang menentang mengatakan } “Mereka ini (Al-Halabi dkk) setiap kali… Tidaklah kita melihatnya kecuali kebaikan. Tidaklah kita mendengarnya kecuali kebaikan."

Engkau datangi dia (orang yang memuji Al-Halabi dkk.), apakah engkau mendengar kalau ia (Al-Halabi dkk.) mengatakan (kesesatannya) demikian?

Ia menjawab, “Tidak, ini belum sampai kepadaku.”

وهؤلاء قد ذهبوا إلى طريقــــة أهــــل الأهـــواء ، كل من ذكر وخالفوا أهـــل السُنة والســـــلفين

Dan mereka ini (Al-Halabi dkk.) telah menempuh metode ahlul-ahwa, setiap orang yang disebut tadi. Dan mereka menyelisihi Ahlu-sunnah dan Salafiyiin.

BAHKAN RUHAILI MENGUCAPKAN (KESESATANNYA) SEJAK 20 TAHUN KURANG LEBIH,
▪️ia mengingkari manhaj ini (manhaj salaf) yang kita berada di atasnya.

▶️Hal ini ia katakan pada syarah Risalah Al-Mu’allimiin, dalam (karya) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qiblatain.
Ia terang-terangan dalam hal itu.
Maka (ini) yang jadi syahid.

dan ali al-halabi… 

ABUL-HASAN MENGUCAPKAN (KESESATANNYA-PENT) SEJAK TAHUN 1416,
▪️dia mengingkari manhaj ini.

DAN ALI AL-HALABI MENGUCAPKAN (KESESATANNYA) SEJAK TAHUN 1412,
▪️dia mengingkari manhaj ini.

▶️Dan mereka saling berlomba, setiap ada orang yang datang berkata, “Sesungguhnya saya, jika saya yang terakhir zamannya, niscaya saya akan membawa (sesuatu) yang tidak bisa dibawa orang-orang pertama.” Setiap datang seorang, ia ingin mendapat martabat pertama. Maka silahkan mereka pergi.

MANHAJ INI YANG KITA DAN PARA MASYAYIKH KITA ADA DI ATASNYA ADALAH MANHAJ YANG PENGIKUTNYA DITAZKIYAH ULAMA SEJAK BERTAHUN-TAHUN LALU.

✅Kita selalu di atasnya, walhamdulillah. Kita memohon kepada Allah semoga Dia mengokohkan kita di atasnya.

⚠️Barangsiapa yang tidak menginginkan manhaj ini, kami tidak menginginkannya.

ومن زكى هؤلاء فقد قال زورًا، مــــا قـــال حقًا، لأنهُ يخــــالف من غير دليل،
◀️ولكن إن كان صاحب هوى فهو صاحب زور، وإن لم يكن، فهــــو لم يطّلع

Barang siapa yang mentazkiyah mereka (Al-Halabi dkk.) maka dia telah berkata dusta, tidak mengatakan kebenaran karena ia menyelisihi tanpa dalil.
▶️Akan tetapi kalau dia adalah pengikut hawa nafsu, maka dia adalah pemilik kedustaan. Kalau bukan, berarti dia belum mengetahui (perkara yang dikritikkan, -pent)

وكلام المطّلع مُقــــدّم على كــــلام من لم يطّلع، والحـــــقّ أحــــــــقّ أن يُتّبع.

Dan ucapan orang yang mengetahui (perkara yang dikritikkan) itu harus didahulukan dari ucapan orang yg tidak mengetahui (perkara yang dikritikkan). Dan kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti.

Sumber: http://ar.miraath.net/fatwah/10872

✍Alih Bahasa: Al-Ustadz Abu Hafs Umar حفظه الله @ Forumsalafy.net

•┈┈┈┈•••Edisi•••┈┈┈┈┈•
IIII مجموعة الأخوة السلفية •✦• MUS IIII
ⓣ http://bit.ly/ukhuwahsalaf

➥ #Manhaj #tahdzir #ijtihadiyah #halabi #ruhaili #abulhasan