Minggu, 25 Maret 2018

Wanita Hamil dan Menyusui yang Tidak Berpuasa Ramadhan, Apakah yang Harus Dilakukan: Mengganti atau Membayar Fidyah?

Wanita Hamil dan Menyusui yang Tidak Berpuasa Ramadhan, Apakah yang Harus Dilakukan: Mengganti atau Membayar Fidyah?

Secara asal, jika mampu melaksanakan puasa, ibu hamil atau menyusui tetap berpuasa. Namun, jika tidak mampu karena kondisi fisiknya lemah atau mengkhawatirkan kondisi anak (janin atau yang disusui), ada keringanan bagi mereka untuk tidak berpuasa. Bagaimana jika mereka berpuasa? Apakah mengganti di hari lain atau membayar fidyah?

Permasalahan ini termasuk yang menjadi ranah perbedaan pendapat para Ulama. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang shahih dan shorih (tegas) dalam alQuran atau hadits sebagai pemutus perkara. Tidak mengherankan jika sulitnya permasalahan ini menyebabkan seseorang bisa berubah pendapat dari satu pendapat ke pendapat lain. 

Ada dalil hadits yang shahih dari Nabi, namun tidak shorih (tegas), yaitu hadits:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla meletakkan (keringanan) pada musafir (untuk mengerjakan) setengah sholat dan (keringanan) bagi musafir, wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abdullah bin Ka’ab)

Dalam ayat ini Allah menggandengkan penyebutan musafir dengan wanita hamil dan menyusui. Apakah maksud penggandengan ini? Apakah karena sekedar sama-sama boleh tidak berpuasa, atau karena mereka semua dituntut untuk mengganti di hari lain jika tidak berpuasa? Di sini tidak tegas dipastikan.

Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah termasuk yang berdalil dengan hadits itu untuk menunjukkan bahwa seorang wanita yang hamil dan menyusui mengganti puasanya di hari lain (sebagaimana musafir juga mengganti di hari lain). Namun, dalam salah satu ceramah pelajaran syarh Zaadil Mustaqni’ yang tidak termaktub dalam kitab asy-Syarhul Mumti’, beliau pernah ditanya tentang seorang wanita yang secara berturut-turut mengalami hamil dan menyusui, sehingga menyulitkan mengganti puasa. Beliau menganjurkan untuk membayar fidyah.

InsyaAllah pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah membayar fidyah (memberi makan orang miskin sejumlah hari yang tidak berpuasa). Hal ini berdasarkan atsar 2 Sahabat Nabi yang mulia: Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma.

Ibnu Abbas menyatakan:

إذا خافت الحامل على نفسها والمرضع على ولدها في رمضان قال : يفطران ويطعمان مكان كل يوم مسكينا ولا يقضيان صوما

Jika seorang wanita hamil mengkhawatirkan atas dirinya dan seorang wanita menyusui (mengkhawatirkan) anaknya di (bulan) Ramadhan, maka mereka berdua berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan tiap hari (yang tidak berpuasa) 1 orang miskin. Mereka berdua tidak perlu mengganti puasa (riwayat atThobariy dalam tafsirnya dan dinyatakan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim oleh Syaikh al-Albaniy dalam Irwaaul Gholil)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّهُ رَأَى أمَّ وَلَدٍ لَهُ حَامِلاً أَوْ مُرْضِعًا، فَقَالَ: أَنْتِ بِمَنْزِلَة ِالَّذِي لَا يُطِيْقُهُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْكِ

Dari Ibnu Abbas bahwasanya ia melihat Ummu Walad (hamba sahaya yang melahirkan anak) miliknya hamil atau menyusui. Maka ia berkata: Engkau kedudukannya seperti orang yang tidak mampu (berpuasa). Hendaknya engkau memberi makan setiap hari (yang tidak berpuasa) 1 orang miskin. Dan engkau tidak harus mengganti (puasa di hari lain) (riwayat atThobariy dalam Tafsirnya)

عن بن عمر : أن امرأته سألته وهي حبلى فقال أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي

Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridhainya- bahwasanya istrinya pernah bertanya kepadanya saat hamil, dan Ibnu Umar berkata: Berbukalah dan berikan makan setiap hari seorang miskin dan janganlah mengganti (puasa di hari lain) (riwayat ad-Daaraquthniy, Syaikh al-Albaniy menyatakan sanadnya jayyid dalam Irwaul Gholil)

Sebagian Ulama menjelaskan bahwa membayar fidyah (memberi makan) kepada orang miskin bisa dalam bentuk makanan pokok mentah atau masakan matang. Jika makanan pokok, kadarnya adalah setengah sho’ (sekitar 1,5 kg).

Wallaahu A’lam

(Abu Utsman Kharisman)

WA Al-I'tishom


Tidak ada komentar:

Posting Komentar