Selasa, 27 September 2016

Faidah-Faidah Fiqhiyah dari Kitab Umdatul Ahkam (06)


📚 FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM 📚

🌹HADITS KEENAM🌹

🔊 عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ : «إذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا».
وَلِمُسْلِمٍ : «أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ».
وَلَهُ فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ : « إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الإِناءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعاً وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ ».

🔊 "Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seekor anjing minum pada bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya tujuh kali." [HR. al-Bukhary dan Muslim]
🔊 Dalam riwayat muslim: "yang pertama dengan tanah."
🔊 Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seekor anjing menjilat pada suatu bejana, maka cucilah ia tujuh kali, dan gosoklah dengan tanah pada pencucian yang kedelapan."

📬 Faedah yang terdapat dalam Hadits:
📎 1. Anjing yang dimaksud dalam hadits diatas mencakup semua jenis anjing, dengan dalil keumuman hadits tersebut. Huruf (ال) alif dan lam pada kalimat (الكلب) memberikan faedah umum. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikh al-‘Utsaimin.

📎 2. Hukum badan atau bulu anjing dan air liurnya:
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah air liur anjng najis, adapun tubuhnya suci. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Diantara dalil mereka:
🔹a) Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ»

"Sucinya bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah." [HR. Muslim]

📋 Mereka berkata: Kalimat (طَهُورُ) pada hakikatnya tidaklah dipakai dalam syari’at melainkan yang diinginkan darinya bermakna mengangkat hadats atau najis.
🔊 Berkata Ibnu Hajar: “Apabila ada lafal syar’i yang berputar padanya makna secara bahasa dan hakikat syar’i, maka wajib dibawa ke hakikat syar’i, kecuali jika ada dalil lain (yang membawa kepada makna secara bahasa).
🔹b) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci sebanyak tujuh kali. Perintah mencuci dari hal tersebut menunjukkan kenajisannya.
🔊 Berkata Syaikh al-‘Utsaimin: “Kenajisannya lebih berat daripada najis-najis lainnya. Sesungguhnya najis anjing tidak bisa suci kecuali dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah.”

🔊 Berkata Ibnu Hajar: “Telah datang dari Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa (perintah) mencuci dari air liur anjing dikarenakan dia najis. Atsar ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazy dengan sanad yang shahih, dan tidak ada satupun dari para shahabat yang menyelisihinya.” [Fathul Bari no hadits 172]
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama ahlul tahqiq seperti; Syaikhul Islam, Ibnu Hajar, ash-Shan’any, asy-Syaukany dan Syaikh al-‘Utsaimin.

📎 3. Wajib mencuci bejana air yang telah dijilati anjing sebanyak tujuh kali. Perintah mencuci sebanyak tujuh kali pada hadits menunjukkan atas kewajiban hal tersebut. ini adalah pendapat jumhur dan dipilih oleh para ulama yang telah tersebut diatas.

📎 4. Wajibnya menggunakan tanah dalam mencuci bejana yang dijilati anjing, karena adanya perintah tersebut dalam hadits. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikhul Islam, asy-Syaukany dan ash-Shan’any.

🔐 Masalah: Kapan menggunakan tanah dalam mencucinya?
🔑 Kebanyakan riwayat hadits menyebutkan pada cucian pertama dengan air dan tanah. Dan juga riwayat ini lebih shahih dari sisi sanad-sanadnya. Karena jika menggunakan tanah pada cucian terakhir, maka hal ini akan membutuhkan kembali cucian selanjutnya untuk membersihkan tanah yang melekat pada bejana tersebut. Ini adalah pendapat Jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikh al-‘Utsaimin.

🔐 Masalah: Bagaimana cara mencucinya?
🔑 Dijelaskan oleh ash-Shan’any dalam kitabnya [Subulus Salam: 1/52-53], bisa dengan cara mencampurkan air dan tanah terlebih dahulu sampai keruh airnya atau menuangkan air terlebih dahulu kedalam bejana kemudian baru ditaruh tanah, atau sebaliknya. Semua cara ini boleh. Adapun menggosok bejana dengan tanah saja tanpa dicampur dengan air, maka ini tidak cukup, sebagaimana ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah dan juga hadits Abdullah bin Mughaffal.

🔐 Masalah: Apakah sabun atau sikat bisa menggantikan kedudukan tanah?
🔑 Tidak sah sabun atau sikat atau bahan kimia yang lainnya menggantikan kedudukan tanah untuk mencuci bejana tersebut, hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
📌- Perintah dalam hadits menggunakan tanah.
📌- Tidaklah diragukan bahwa dijaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat bahan-bahan untuk mencuci bejana selain tanah, seperti daun sidr (bidara) dan sikat, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan untuk mencuci dengannya.
📌- Telah diteliti oleh para ahli kedokteran dan yang lainnya, bahwa pada tanah terkandung zat pembersih dan pembunuh bakteri yang berasal dari air liur anjing, yang mana hal ini tidak terdapat pada bahan yang lainnya.
Ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam an-Nawawy, Ibnu Daqiqil ‘Ied, al-Bassam dan Syaikh al-‘Utsaimin. 

🔐 Masalah: Apakah air yang terjilati anjing itu menjadi najis?
🔑 Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah kita lihat sifat air tersebut, apakah salah satu sifatnya berubah disebabkan air liur anjing ataukah tidak. Jika tidak, maka kita kembalikan pada hukum asalnya, yaitu hukum asal air itu suci. Telah lewat pembahasan ini pada hadits yang kelima.

📎 5. Hukum mencuci sebanyak tujuh kali dengan salah satunya dicampur dengan tanah hanya khusus pada bejana yang dijilati oleh anjing. Adapun jika anjing menjilati pakaian atau kaki kita, maka tidak perlu kita cuci seperti mencuci bejana tersebut, karena tidak ada dalil yang mensyariatkan hal tersebut.

🔐 Masalah: Jika babi menjilati atau minum dalam bejana, apakah hukumnya sama dengan anjing?
🔑 Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah babi tidak bisa dikiyaskan dengan anjing, hal ini karena dua hal:
🔸- Dalil dan hukum ini hanya khusus untuk anjing.
🔸- Pada jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah terdapat babi, namun tidak ternukilkan dari beliau menyamakan hukumnya dengan anjing.

🔐 Masalah: Apakah babi itu najis:
🔊 Berkata al-Imam an-Nawawy: “Tidak ada dalil yang menunjukkan dengan jelas najisnya babi.” [Syarh al-Muhadzdzab: 2/568]
Ini adalah pendapat Imam Malik.
Adapun firman Allah ta’ala:
{أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ}

“atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor”

📋 Lafal (رِجْسٌ) dalam ayat ini tidak menunjukkan dengan jelas apakah yang dimaksud dengannya adalah najis ataukah kotor dan menjijikkan?!

Karena dalam hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mensifati keledai jinak dengan lafazh (رِجْسٌ) [HR. al-Bukhary dan Muslim], dalam keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat dahulu sering menungganginya dan mengusapnya.

🚪 Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab.

=========================================
✒️ ditulis oleh Abu Ubaidah bin Damiri al-Jawi
📚 FORUM KIS 📚
📡 https://telegram.me/FORUMKISFIQIH

Silisilah/Serial yang lain dari artikel FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM dàpat dibaca disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar