Senin, 29 Januari 2018

FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM (12 - 13)

📚 FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM 📚

🌹HADITS KEDUABELAS🌹

🔊 عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ، فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ، وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا».
قَالَ أَبُو أَيُّوبَ: " فَقَدِمْنَا الشَّامَ، فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ قَدْ بُنِيَتْ نَحْوَ الْكَعْبَةِ، فَنَنْحَرِفُ عَنْهَا، وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ".

🔊 Dari Abu Ayyub radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap kiblat saat buang air besar atau buang air kecil dan jangan pula membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat."
Abu Ayyub berkata; "Saat kami mendatangi negeri Syam, kami mendapati WC (disana) dibangun menghadap kiblat, lalu kami berpaling darinya dan meminta ampun kepada Allah." [HR. al-Bukhary dan Muslim]

🌹HADITS KETIGABELAS🌹

🔊 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: «رَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى بَيْتِ حَفْصَةَ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَقْبِلَ الشَّامَ، مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ».

🔊 Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Suatu hari saya memanjat rumah Hafshah. Maka saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk untuk buang hajat dalam keadaan menghadap Syam dan membelakangi kiblat." [HR. Al Bukhary – Muslim]
—-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

📬 Faedah yang terdapat dalam Hadits:
📎 1. Larangan menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat. Namun para ulama berbeda pendapat dari sisi hukumnya menjadi delapan pendapat sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar.
Adapun pendapat yang terkuat dan terpilih dari sekian pendapat yang ada adalah yang mengatakan bahwa hukumnya makruh.
📋 Alasan kami memilih pendapat ini adalah:
📌 a. Hukum asal suatu larangan adalah haram, namun telah datang hadits Ibnu 'Umar dan juga hadits Jabir yang memalingkan hukum dari haram menjadi makruh, karena perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam dua hadits ini memberikan faedah bahwa hal itu tidak dilarang.

«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ، فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا»

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang kami buang air kecil menghadap kiblat. Namun saya melihat beliau setahun  sebelum wafat, beliau kencing menghadap kiblat." [HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan, kecuali an-Nasa'i. Hadits Jabir ini telah dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dan Syaikh Muqbil]

📌 b. Jika alasan dibedakannya hukum antara di WC dan padang pasir karena di WC terhalangi oleh tembok sehingga tidak menghadap kiblat atau membelakanginya secara langsung disaat buang hajat, maka dijawab: bukankah orang yang buang hajat di padang pasir atau yang semisalnya juga terhalangi oleh gunung atau gedung-gedung atau pohon-pohon yang berada antara dia dengan kiblat?!

📌 c. Adapun yang mengklaim bahwa perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam itu adalah khushushiyah (kekhususan) untuk beliau, maka ini adalah pengklaiman tanpa didasari dengan dalil, karena hukum asal apa saja yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah untuk dicontoh, sebagaimana firman Allah ta'ala:

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." [QS. al-Ahzab: 21]

{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}

"Apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah". [QS. al-Hasyr: 7]

🔐 Masalah: Hukum buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis atau membelakanginya?
🔑 Pendapat yang terpilih adalah boleh, tidak ada kemakruhan padanya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Adapun hadits Ma'qil bin Abi Ma'qil adalah lemah, ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَتَيْنِ بِبَوْلٍ أَوْ غَائِط

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kita menghadap dua kiblat (Makkah dan Baitul Maqdis) pada saat buang air besar atau buang air kecil." [HR. Abu Dawud, didha'ifkan Syaikh al-Albani, karena pada sanadnya terdapat perawi bernama Abu Zaid, yang mana dia adalah perawi yang mungkar]

🔐 Masalah: Hukum Istinja setelah buang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya?
🔑 Tidak ada dalil yang jelas menunjukan larangan hal ini. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

📎 2. Berkata Ibnu Hajar rahimahullah: "Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma tidaklah bermaksud ingin mengawasi (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disaat itu, tidaklah dia naik atap tersebut melainkan karena kebetulan ada hajat yang darurat, hal ini sebagaimana yang ditunjukan dalam suatu riwayat dengan lafal "(kebetulan) aku menoleh sebentar" yaitu pada riwayat al-Baihaqi dari jalan Nafi' dari Ibnu 'Umar. Ya, telah tersepakati dari riwayat yang ada bahwa hal ini bukan kesengajaan, sehingga karena tidak ingin kehilangan faedah, maka beliau menjaga hukum syar'i ini (untuk disampaikan). [Fathul Bari 1/247]

🚪 Wallahu a’lam wal muwaffiq ilash shawab.

=========================================
✒️ ditulis oleh Abu Ubaidah bin Damiri al-Jawi
📚 FORUM KIS 📚
📡 https://telegram.me/FORUMKISFIQIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar