Senin, 08 Desember 2014

Batasan Malu yang Terpuji dan Malu yang Tercela

"Ana malu kalau datang taklim..."

______________
Ucapan itu kadang kita dapati pada sebagian teman kita.

Atau, mungkin kita sendiri yang mengucapkan!
Bisa jadi karena beberapa faktor.

Mungkin karena belum pernah menghadiri majelis taklim sebelumnya, alias baru kenal ngaji.
Atau sudah pernah taklim, tapi karena kesibukkan, akhirnya jarang hadir di majelis ilmu.
Sampai akhirnya dia meninggalkan taklim sekian lama, yang semuanya berujung kepada penurunan tingkat ke-PeDe-an dia untuk menghadiri kembali majelis ilmu.

Atau adanya faktor-faktor yang lain yang beragam. Wallahu 'alam

Akhirnya..

Kata 'malu' pun menjadi pamungkas dalam mengajukan alasan.

☝Padahal 'malu' pada permasalahan ilmu merupakan tindakan yang tidak patut. Perhatikan ucapan Imam Mujahid rahimahullah berikut ini:

"Tidaklah akan mendapatkan ilmu seorang yang 'malu' dan sombong".

(HR. Bukhari dalam Shahih-nya secara mu'allaq. Sanadnya shahih muttasil dibawakan Abu Nu'aim dalam Hilyatul Aulia)

Ikhwatii fillah,
Seyogyanya bagi kita agar membuang jauh perasaan 'malu' pada perkara ilmu.

Karena tindakan yang demikian merupakan tindakan yang terpuji, sebagaimana hal ini pernah diikrarkan oleh 'Aisyah radhiallahu'anha.
Beliau berkata:

"Sebaik-baik wanita adalah wanita dari kalangan Anshar. Mereka tidak malu untuk bertafaqquh fiddin".
(HR. Bukhari dalam Shahihnya secara mu'allaq. Sanadnya shahih muttasil dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya).

Lalu, apa batasan malu yang terpuji dan malu yang tercela?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan batasan antara malu yang tercela dan malu yang terpuji.

Berkata rahimahullah:

"... Apabila perasaan malu akan menghalangimu dari penunaian perkara yang wajib atau menghalangimu dari meninggalkan yang haram, maka malu yang seperti ini adalah malu yang tercela.

Adapun jika perasaan malu tersebut akan menghantarkan engkau kepada akhlak yang utama dan adab yang mulia, maka malu yang seperti ini adalah malu yang merupakan bagian dari iman".

(Syarah Shahih Bukhari karya Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1 hal. 260, cet. Maktabah ath Thabari, th. 2007).

Semoga bermanfaat.
Wallahu 'alam.

________________________
     مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد

WA Forum Berbagi Faidah. Dikutip dari WA Sedikit Faidah Saja (SFS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar