Senin, 20 Oktober 2014

FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM (38-b)

FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH
DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM

Hadits Ketiga Puluh Delapan

(bagian kedua)

Faedah yang terdapat dalam hadits:

6. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Aku diberikan (hak) syafa'at" yang dimaksud adalah Syafa'ah 'Uzhma (yang paling agung) pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan, kengerian dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul.

Syafa'at 'Uzhma ini khusus diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam saja. Ketika manusia datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, kemudian Musa dan Isa alaihimus salam, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa'at dan masing-masing mengatakan:

«نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِي»

"Oh diriku, oh diriku (diriku sendiri butuh syafa'at), silahkan pergi menemui selainku!"

Sehingga akhirnya manusia pergi meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa'at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari keadaan seperti ini. Allah mengabulkan doa beliau dan menerima syafa'atnya.

Hal ni termasuk Al-Maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah Ta'ala, sebagaimana dalam firman-Nya.
"Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." [QS. Al-Israa : 79]

7. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia" hal ini sebagaimana yang Allah firmankan:

"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." [QS. Saba': 28]

"Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua." [QS. Al-A'raaf: 158]

"Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya (nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." [QS. Al-Furqaan: 1]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ»

"Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani mendengar tentangku (risalahku), kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka."

Masalah: Pembatal Tayammum

Pembatal tayammum sama dengan pembatal wudhu, baik dari hadats kecil maupun besar. Dan ditambah lagi jika telah didapatkannya air.

Seorang telah bertayammum, kemudian mendapatkan air, maka dalam masalah ini ada beberapa keadaan;

a. Dia mendapatkan air setelah keluar waktu shalat, contohnya dia shalat Zhuhur dengan tayammum, kemudian pada waktu Asar dia mendapatkan air, apakah wajib baginya mengulang shalat Zhuhurnya? Para ulama sepakat bahwa orang tersebut tidak perlu mengulang shalatnya.

b. Dia mendapatkan air setelah selesai menunaikan shalat, sedangkan waktu shalat tersebut masih tersisa, apakah wajib baginya mengulang shalatnya? Pendapat yang kuat dan terpilih adalah tidak perlu baginya mengulang shalatnya, karena pada hakekatnya ia telah menunaikan perintah Allah ketika tidak mendapatkan air untuk bertayammum. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Di antara dalil mereka adalah hadits Abu Sa'id al-Khudri:

أَنَّ رَجُلَيْنِ تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا مَاءً فِي الْوَقْتِ، فَتَوَضَّأَ أَحَدُهُمَا وَعَادَ لِصَلَاتِهِ مَا كَانَ فِي الْوَقْتِ وَلَمْ يَعُدِ الْآخَرُ، فَسَأَلَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يَعُدْ: «أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ». وَقَالَ لِلْآخَرِ: «أَمَّا أَنْتَ فَلَكَ مِثْلُ سَهْمِ جَمْعٍ»

"Bahwa ada dua orang yang bertayammum, lalu keduanya shalat. Kemudian keduanya mendapatkan air pada waktu shalat tersebut belum selesai, maka salah seorang dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang kedua tidak mengulanginya. Setelah itu keduanya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya, "Kamu sesuai dengan Sunnah dan shalatmu sudah cukup." Lalu beliau bersabda kepada yang mengulangi shalatnya, "Kamu seperti mendapatkan bagian ganda." [HR. An-Nasaai, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]

c. Dia mendapatkan air ketika sedang menunaikan shalat, apakah wajib baginya membatalkan shalatnya untuk berwudhu dan mengulang shalatnya? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yang mana masing-masing memiliki hujjah yang kuat.

Pendapat pertama: Tayammumnya batal, wajib bagi dia keluar dari shalatnya untuk berwudhu. Ini adalah pendapat Ahmad, Abu Hanifah, dan dinukilkan oleh al-Baghawi bahwa ini pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil dengan hadits:

«إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ المُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ المَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، فَإِذَا وَجَدَ المَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ»

"Sesungguhnya debu yang baik itu alat bersucinya seorang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka jika ia telah mendapatkan air, hendaklah ia basuh kulitnya karena itu lebih baik." [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan yang lainnya, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]

Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazm, asy-Syaikh al-'Utsaimin dan Syaikhuna dalam pelajaran al-Muntaqa.

Pendapat kedua: Shalatnya tidak batal, bahkan boleh baginya menyelesaikan shalatnya dan tidak ada kewajiban mengulang shalatnya. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi'i, Ishaq, azh-Zhahiriyah. Dalil mereka firman Allah Ta'ala;

{وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ}

"dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. [QS. Muhammad: 33]

Mereka berkata: Apabila seseorang mendapatkan budak dalam keadaan dia telah memulai puasa kafarah, maka tidak wajib baginya berpindah untuk membebaskan budak, hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil secara nash maupun Ijma'. Ia telah menjalankan perintah Allah bahwa jika tidak mendapatan air maka bertayammum, kemudian shalat. Mana dalil yang mewajibkan dia harus keluar dari shalatnya?!

Pendapat ini dipilih Syaikhuna dalam pelajaran Manhaj as-Saalikiin.

Wallahu a'lam, pendapat yang mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat pertama, karena pendapat ini lebih melepas tanggungan, keluar dari perselisihan ulama dan demi menjaga kehati-hatian dia keluar berwudhu dan mengulangi shalatnya.

Wallahul muwaffiq ilash shawab

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~

✏ Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_18 Dzulhijjah 1435/ 12 Oktober 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~

Silahkan kunjungi blog kami untuk mengunduh PDF-nya dan juga mendapatkan artikel atau pelajaran yang telah berlalu:
www.pelajaranforumkis.wordpress.com atau www.pelajarankis.blogspot.com

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
WA. Thullab Al-Fiyusy & SLN

Silisilah/Serial yang lain dari artikel FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM dàpat dibaca disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar