Selasa, 12 Agustus 2014

NASEHAT DAN BIMBINGAN ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDULWAHHAB AL-WUSHABI HAFIZHAHULLAH TA'ALA BAGI PARA PENUNTUT ILMU, KEUMUMAN MUSLIMIN, DAN AHLI ILMU DALAM MENGHADAPI BERBAGAI FITNAH

NASEHAT DAN BIMBINGAN ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDULWAHHAB AL-WUSHABI HAFIZHAHULLAH TA'ALA BAGI PARA PENUNTUT ILMU, KEUMUMAN MUSLIMIN, DAN AHLI ILMU DALAM MENGHADAPI BERBAGAI FITNAH

BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM

Segala puji bagi Allah. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang hak selain Allah tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya -semoga Allah senantiasa bershalawat dan mengucapkan salam untuk beliau dan keluarganya-. Amma ba'du:

Pada malam ini, malam 15 Syawwal 1435 H, saya menyampaikan kalimat ini dan yang berkaitan dengan penandatangan "Watsiqatush Shulh" -Perjanjian Damai- antara Syaikh Muhammad Al-Imam dan AbdulMalik Al-Hutsi. Saya memiliki beberapa nasehat dan bimbingan.

[NASEHAT PERTAMA BAGI PARA PENUNTUT ILMU DAN AWAM MUSLIMIN]

Yang pertama bagi para penuntut ilmu dan keumuman muslimin agar tidak mendahului ulama, agar hal ini menjadi kaidah bagi kalian dalam menghadapi perkara-perkara yang baru. Berlaku bagi orang-orang awam dan para penuntut ilmu, agar tidak mendahului ahli ilmu. Namun mereka beradab dengan adab yang sesuai dengan syariat, diam, dan menunggu ucapan ulama mereka dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagaimana apa yang Allah firmankan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului apa-apa yang ada di hadapan Allah dan Rasulullah-Nya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." [Q.S. Al-Hujurat: 1]

Ulama adalah pewaris para nabi. Sebagaimana para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- dilarang untuk mendahului Allah dan Rasul-Nya, demikian juga orang yang datang setelah para shahabat, mereka dilarang untuk mendahului ulama mereka. Sehingga orang yang pertama kali berbicara adalah kalangan ahli ilmu, bukan para penuntut ilmu mereka bukan pula awam.

Sebagaimana pula firman Allah Ta'ala,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan jika datang suatu perkara yang berisi keamanan atau rasa takut kepada mereka, mereka segera menyebarkannya. Seandainya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri (ulama) mereka, niscaya orang yang memiliki kemampuan untuk beristinbath (menggali dalil) di antara mereka mengetahuinya. Kalaulah bukan karena keutamaan dan rahmat Allah atas kalian, niscaya kalian mengikuti syaithan kecuali sebagian kecil (dari kalian)." [Q.S. An-Nisa: 83]

Allah mengingkari mereka, ketika mereka menyebar luaskan berita tersebut. Bahkan Allah memerintahkan mereka untuk mengembalikan perkara tersebut kepada ahli ilmu, "Niscaya orang yang memiliki kemampuan untuk beristinbath (menggali dalil) di antara mereka mengetahuinya. Kalaulah bukan karena keutamaan dan rahmat Allah atas kalian, niscaya kalian mengikuti syaithan kecuali sebagian kecil dari kalian.”

Ketika dua orang bersaudara mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang lebih muda ingin berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendiamkannya dan berkata,

كبّر

“Dahulukan yang lebih tua!", persilahkan saudara tuamu untuk berbicara. Ini merupakan adab syar'i, para penuntut ilmu tidak mendahului ulama mereka.

Kejadian fitnah Abul Hasan dan Al-Hajuri, para penuntut ilmu berbicara pada saat itu, dikarenakan Abul Hasan mengobarkan semangat thullabnya untuk membicarakan ahli ilmu. Demikian juga Al-Hajuri, fitnah yang dia munculkan, dia kobarkan semangat thullabnya untuk membicarakan ahli ilmu. Akibatnya, para penuntut ilmu membicarakan ahli ilmu.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ

“Jika kalian membalas, balaslah sesuai dengan apa yang kalian alami dari penderitaan itu.” [Q.S. An-Nahl: 126]

Namun pada asalnya, para penuntut ilmu semestinya tidak berbicara di hadapan ulama mereka. Bahkan, seandainya seorang syaikh meminta sebagian thullabnya untuk menulis suatu konsep -syaikh seorang manusia yang tidak maksum-, seorang penuntut ilmu menjawab, "Wahai syaikhku, engkau mulia di sisiku. Namun saya harap engkau memberikan udzur kepadaku. Posisi ini bukan posisi thullab bukan pula keumuman muslimin. Ini adalah posisi ahli ilmu." ‘Kabbir kabbir (dahulukan yang lebih tua), dia mengingatkannya dengan hadits, dengan ayat. Kabbir kabbir'.

Bahkan walaupun seorang syaikh mengatakan kepadanya, "Tulislah dan sodorkan kepadaku!". Katakan kepadanya, "Namun namamu yang akan dicatat, bukan namaku." Jika syaikh mengatakan, "Tidak, tapi dengan namamu." Thalib, "Tidak." Katakan, "Kabbir, kabbir". Ucapan yang keluar dari seorang alim lebih baik daripada apa yang keluar dari thalib.

Kita tidak bermaksud hal ini hanya berlaku pada permasalahan ini, namun ini menjadi manhaj (prinsip) Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, perkara-perkara semacam ini selayaknya ash-shigaar (para penuntut ilmu dan keumuman muslimin, pen) tidak menampilkan diri. Namun, kabbir kabbir (dahulukan ahli ilmu, pen).

والبركة مع أكابركم

Berkah bersama kibar (ulama) kalian. Sebagaimana dalam hadits.

Dikarenakan juga, shaghir terkadang menyalakan api, berbeda hal dengan kabir. Al Kabir (ahli ilmu ,pen), jika memasuki suatu permasalahan, memohon pertolongan Allah, taufik, jalan yang lurus dan benar, dia diharapkan untuk mendapatkan taufik.

Ini yang kami minta, agar saudara-saudara kami dari kalangan penuntut ilmu, keumuman muslimin, lelaki maupun wanita, tidak mendahului ahli ilmu, senantiasa beradab, dan tidak tergesa-gesa.  Ketika thalib mondar-mandir di sisi alim dan syaikh sambil berkata, "Tulis, keluarkan pernyataan, katakan."  Akhi, ini seorang syaikh, dia bukan anakmu, bukan saudara kandungmu, bukan pula muridmu. Engkau sodorkan kepadanya berbagai perintah. Ini juga termasuk adab yang jelek.

"Tenanglah.”

ما كان الرفق في شيء إلا زانه ولا نزع عن شيء إلا شانه

"Tidaklah rifq (ketenangan dan ketepatan bersikap, pen) ditempatkan pada suatu melainkan semakin menghiasinya. Dan tidaklah dicabut darinya, melainkan semakin memperpuruk perkara tersebut.”

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ في الأمر كله  وَيُعْطِي عَلى الرفقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ ومَا لَا يُعْطِي عَلَى ما سواه

“Sesungguhnya Allah Maha lembut, mencintai kelembutan dalam segala hal. Allah menganugrahkan kelembutan perkara yang tidak dianugrahkan kepada kekasaran dan selainnya."

Kita adalah ahli Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Sunnah, ahli Manhaj Salafy yang murni dan suci. Kita berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kebaikan, semuanya diraih dengan ittaba' Al-Kitab dan as-Sunnah dan senantiasa beradab. Wajib bagi thullab dengan berbagai tingkatannya, thalib mubtadi (jenjang pemula), mutawassith (pertengahan), marhalah jami'iyah (tingkat tinggi), kedudukan apapun yang diraih, mereka semua beradab terhadap masyayikh dan ulama mereka.

Sebagaimana apa yang telah saya katakan kepada kalian, ucapan thullab pada dua fitnah yang telah lalu, karena Abul Hasan dan Al-Hajuri mengobarkan semangat thullab. Tindakan jahat mereka, dibalas dengan kejahatan yang semisalnya.

  سيئة سيئة مثلها

“Balasan kejelekan adalah kejelekan yang serupa dengannya.” Thullab yang bersama masyaikh pun berbicara, bersamaan dengan itu, diharapkan pembicaraannya dibangun di atas keadilan, inshaf, dan ilmu. Sebagaimana Allah berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kalian mengikuti perkara yang tidak dilandasi oleh ilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan kalbu, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban." [Q.S Al-Isra: 36]

Ini adalah nasehat pertama, yang saya tujukan kepada para penuntut ilmu dan keumuman manusia dalam menghadapi setiap fitnah sekaligus menjadi manhaj (pedoman). Sikap mereka semata-mata kembali kepada ahli ilmu, menunggu, dan tidak mendahului mereka. Demikian juga, tidak mengganggu (membingungkan) ulama. Ini termasuk adab. Tidak menggelisahkan ulama. "Keluarkan pernyataan, tulis!" Sampai kapan? Alim memandang maslahat dan mafsadat, apa yang hendak dia katakan, apa yang semestinya dirapikan.

Walhamdulillah, masyayikh kami di Yaman -semoga Allah membalas mereka kebaikan- di atas kebaikan, mereka memerhatikan permasalahan ini berdasarkan ilmu dan bashirah. Kandungan Watsiqah (pernyataan) yang sesuai dengan kebenaran dan syariat, mereka menetapkannya. Pernyataan yang menyelisihi syariat, mereka meminta agar pernyataan yang salah ini dicabut. Mereka jazahumullah khaira memiliki pandangan yang bagus  dalam segala fitnah. Mereka mengembalikan perkara tersebut kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

[NASEHAT KEDUA UNTUK AHLI ILMU]

Nasehat kedua, saya tujukan kepada ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah -semoga Allah membalas mereka kebaikan-, jangan sampai lupa terhadap sikap-sikap Asy-Syaikh Bin Baz -semoga Allah merahmatinya-, muamalah-muamalah beliau terhadap penentang dan terhadap seorang sunni ketika terjatuh pada kesalahan. Sikap beliau terhadap penentang dari kalangan ahli bid'ah dan ahwa (pengekor hawa nasfu) dan sikap-sikap beliau terhadap sunni jika salah. Karya-karya beliau ada. Nasehat dan bimbingannya ada lagi penuh dengan kebaikan. Hingga kita tidak kehilangan Bin Baz yang lain pada zaman kita ini. Kita mengingatkan ulama pada masa ini, kita tidak ingin kehilangan orang semacam Syaikh Bin Baz di mana dahulu beliau menjadi ayah yang penyayang terhadap semua kalangan. Beliau tidak pernah memerintahkan thullab untuk menulis. Beliau sendiri yang mengurusinya. Tidak ada tuntutan untuk dikatakan kepada thalib, "Tulis dan lakukan!" Beliau sendiri yang mengurusinya dan beliau menempatkan manusia sesuai dengan posisi mereka. Jika orang yang terbantah adalah dari kalangan ahli bid'ah dan hawa nafsu, beliau memiliki sikap tersendiri. Jika yang terbantah adalah dari kalangan ahlus Sunnah Wal Jama'ah, salah pada suatu permasalahan dari sekian permasalahan, beliau memiliki metode lain yang sesuai dengan posisi, keutamaan, ilmu dan dakwah yang dia miliki. Ini adalah nasehat kedua yang saya sampaikan pada malam hari ini.

Dan dengan izin Allah, masih ada beberapa nasehat dan bimbingan di hadapan kita. Biidznillah.

Sampai di sini. Semoga Allah bershalawat dan mengucapkan salam kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya.

Diterjemahkan oleh Abu Bakar Jombang hafizhahullah Ta'ala

Darul Hadits Fiyusy
Senin, 15 Syawwal 1435 H

WA Salafy Lintas Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar