Rabu, 16 Juli 2014

SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (3)

FATAWA RINGKAS
SEPUTAR PUASA

Bersama: Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni --hafizhahullah--

bagian keduapuluh tiga

SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (3)

Soal:  Apakah seorang yang senantiasa melakukan safar boleh baginya tidak berpuasa?

Jawab: Keringanan ini berlaku untuk semua jenis musafir, tidak dibeda-bedakan, baik musafir yang sementara karena ada hajat maupun yang selalu melakukan perjalanan jauh, seperti supir bus besar, supir kontainer, tukang pos luar kota atau luar negeri. Hal ini karena keumuman dalil-dalil yang ada.

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}

"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al Baqarah; 184]

FAEDAH:

Difatwakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga Syaikh Bin Baz rahimahumullah, bahwa musafir yang menggunakan kapal dalam safarnya, dia membawa keluarganya dalam kapalnya, dan tidak memiliki negeri tempat untuk dia pulang, sedangkan keadaannya senantiasa safar, maka jika demikian keadaannya maka wajib baginya berpuasa karena perjalanan dia tidak pernah terputus dan juga seolah-olah kapalnya adalah rumahnya, namun orang yang keadaannya seperti ini sedikit. Adapun jika dia memiliki keluarga, akan tetapi tidak dibawa bersamanya maka boleh dia memilih antara berpuasa atau berbuka.

Soal: Kapan seseorang dikatakan musafir hingga boleh baginya tidak berpuasa?

Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat adalah dikembalikan kepada kebiasaan manusia, jarak berapa saja (baik jauh maupun dekat) mereka anggap sebagai jarak safar maka boleh baginya tidak berpuasa. Ini adalah pendapat ulama Salaf dan Khalaf dan dipilih oleh Ibnu Hazem, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, Shiddiq Hasan Khan dan yang lainnya. Dalil mereka keumuman dalil;

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}

"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al Baqarah; 184]

Allah Ta'ala tidak menyebutkan jarak tertentu untuk dikatakan sebagai jarak safar. Hal ini menunjukan bahwa sesuatu dianggap safar dikembalikan kepada kebiasaan manusia, kapan suatu jarak dianggap safar oleh mereka maka itulah safar.

Berkata Ibnul Qayyim: "Bukan termasuk tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pembatasan jarak perjalanan yang boleh padanya tidak berpuasa dan demikian pula tidak sah sedikit pun (hadits) darinya tentang hal ini."

WALLOHU A'LAM BISH SHOWAAB

Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawi, 8 Ramadhan 1435/ 5 juli 2014_di Darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
WA. Thullaab Al Fiyusy
WA Salafy Lintas Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar