Jumat, 18 Juli 2014

SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (5)

FATAWA RINGKAS
SEPUTAR PUASA

Bersama: Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni --hafizhahullah--

bagian keduapuluh lima

SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (5)

77. Apabila seorang musafir telah berpuasa, kemudian pada siang harinya ingin berbuka. Apakah hal ini diperbolehkan?

Jawab: Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih adalah boleh baginya berbuka puasa, meskipun pada awalnya sudah berpuasa. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.

Dalil mereka keumuman firman Allah Ta'ala;

{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}

"Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." [QS. Al Baqarah: 185]

Dan juga hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata;

«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ فِي رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ، ثُمَّ أَفْطَرَ»

"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada tahun pembebasan kota Makkah di bulan Ramadhan, dan beliau berpuasa hingga sampai di Kadid, baru kemudian beliau berbuka". [Muttafaqun 'alaihi]

78. Seseorang dari malam berniat untuk berpuasa, kemudian pada jam delapan pagi ingin melakukan safar, apakah boleh baginya berbuka puasa?

Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat adalah boleh baginya berbuka. Ini adalah pendapat Asy Sya'bi, Ishaq, Al Muzani, Ahmad. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Abdil Bar dan Al Qurthubi.

Dalil mereka bahwa Allah Ta'ala membolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa, baik dalam Al Qur'an maupun As Sunnah.

Dari Al Qur'an;

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}

"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al Baqarah; 184]

Dari As Sunnah hadits Anas bin Malik Al Ka'bi, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;

«إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنْ الْمُسَافِرِ»

"Sesungguhnya Allah ta'ala telah menggugurkan setengah shalat serta puasa dari seorang musafir". [HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]

79. Jika seorang musafir telah sampai di negerinya pada siang hari dalam keadaan tidak berpuasa, apakah wajib baginya menahan diri dari makan dan minum?

Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang terpilih adalah tidak wajib baginya menahan diri dari makan dan minum, boleh baginya melanjutkan makan dan minum meskipun sudah sampai di kota tempat tinggalnya, karena tidak ada dalil yang menunjukan kewajiban menahan diri dari makan dan minum. Ini adalah pendapat Malik, Asy Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya.

80. Jika seseorang ingin melakukan safar, apakah boleh baginya berbuka di rumahnya atau sebelum keluar dari kotanya?

Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih adalah tidak boleh, harus keluar dulu dari kota tempat tinggalnya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.

Dalil mereka firman Allah Ta'ala;

{وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ}

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu)." [QS. An Nisaa: 101]

Jika belum mengadakan perjalanan maka belum dikatakan sebagai musafir, yaitu jika belum keluar meninggalkan kota tempat tinggalnya maka masih dihukumi sebagai orang yang mukim, bukan musafir. Oleh karena itu dia masih masuk dalam firman Allah Ta'ala;

{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}
ِ
"Barangsiapa telah menyaksikan hilal (ramadhan) maka berpuasalah" [QS. Al Baqarah: 185]

Perhatian:

Adapun hadits Muhamad bin Ka'ab, ia berkata;

«أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِّلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ، فَقُلْتُ لَهُ: سُنَّةٌ؟ فَقَالَ: سُنَّةٌ ثُمَّ رَكِبَ»

"Saya menemui Anas bin Malik pada bulan Ramadhan, ketika itu hendak melakukan perjalanan, dia telah mempersiapkan kendaraannya. Dia mengenakan pakaian khusus kemudian meminta dihidangkan makanan lalu beliau memakannya." Aku bertanya: "Apakah ini sunnah?" dia menjawab: "Sunnah." kemudian dia menaiki kendaraannya." [HR. At Tirmidzi]

Hadits ini terdapat kecacatan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab "Al 'Ilal 1/239". Yang shahih adalah riwayat Ad Daraawardi dengan lafazh;

«فَقُلْتُ لَهُ: سُنَّةٌ؟ فَقَالَ: لَيْسَ بِسُنَّةٍ»

"Aku bertanya: "Apakah ini sunnah?" dia menjawab: "Ini  bukan Sunnah."

Hukum ulama yang terdahulu bahwa hadits ini berpenyakit (cacat) lebih dikedepankan daripada hukum ulama yang datang belakangan yang mengatakan bahwa hadits ini shahih, sebagaimana faedah ini kita dapatkan dari Syaikhuna Muqbil rahimahullah.

WALLOHU A'LAM BISH SHOWAAB

Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawi, 10 Ramadhan 1435/ 6 juli 2014_di Darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
WA. Thullaab Al Fiyusy
WA Salafy Lintas Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar