Sabtu, 27 September 2014

Kumpulan Mutiara Salaf (25)

TERCELANYA TAKLID

Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi siapa pun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya.”

Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, “Haram bagi siapa pun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Sebab, sesungguhnya kami adalah manusia, perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan).”
 
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Saya hanyalah manusia biasa, mungkin salah dan mungkin benar. Maka dari itu, perhatikanlah pendapat saya, jika sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah. Apabila tidak sesuai dengan keduanya, tinggalkanlah.”

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu ketika saya masih hidup ataupun sudah mati.”

Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian taklid kepada saya dan jangan taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, ataupun (Sufyan) ats-Tsauri. Akan tetapi, ambillah (dalil) dari mana mereka mengambilnya.”

Sumber:  Majalah Asy Syariah || http://2.ly/zftw

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

PERMATA SALAF

Utbah bin Ghazwan mengatakan, “Sesungguhnya, dunia telah mengumumkan kepergian dan keterputusannya. Dia berbalik dengan cepat. Tidak ada yang tersisa selain seukuran air yang tertinggal di dasar gelas yang akan diminum oleh pemiliknya. Sesungguhnya kalian akan berpindah ke satu negeri yang abadi. Berpindahlah dengan membawa barang terbaik yang kalian miliki sekarang. Sungguh telah disebutkan kepada kami bahwa sebuah batu dilempar dari bibir Jahannam lalu melayang jatuh selama tujuh puluh tahun tanpa menyentuh dasarnya.”
(Min Washaya as-Salaf halaman. 37—38)

Sumber: Majalah Asy Syariah: || http://goo.gl/vLhfpc

WhatsApp Salafy Indonesia

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

PINTU-PINTU KERUSAKAN

Dzun Nun Al-Mishri rahimahullah ( seorang ulama setelah masa tabi’ut tabi’in) berkata:
“Bukti seseorang cinta kepada Allah subhanahu wa ta'ala adalah cinta kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, juga cinta kepada akhlaknya, amalan-amalannya, perintah-perintahnya serta Sunnah-sunnahnya (ajaran beliau).”

Beliau juga berkata:
“Sesungguhnya kerusakan itu menyusupi hamba Allah subhanahu wa ta'ala pada enam perkara:

1. Lemahnya niat akan amalan akhirat.
2. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai jaminan (sarana) untuk (melampiaskan) syahwat mereka.
3. Panjangnya angan-angan mengalahkan harapan.
4. Lebih mendahulukan keridhaan manusia daripada keridhaan Allah subhanahu wa ta'ala
5. Mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan Sunnah (ajaran) Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam
6. Menjadikan ketergelinciran (kekeliruan) Ulama Salaf sebagai dalil baginya, lalu menyembunyikan keutamaan mereka.”

Sumber: Majalah Asy Syariah: || http://2.ly/zhZg

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

MEWASPADAI SIKAP SOMBONG KARENA ILMU

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu dapat membuat sombong sebagaimana harta.”

Masruq rahimahullah berkata, “Cukuplah seseorang dikatakan berilmu jika ilmu tersebut membuahkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Sebaliknya, cukuplah seseorang dianggap bodoh tatkala membanggakan diri dengan ilmunya.”

Abu Wahb al-Marwazi rahimahullah berkata, “Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang kesombongan. Beliau menjawab, ‘(Kesombongan) adalah engkau meremehkan dan merendahkan manusia.’ Kemudian aku bertanya kepadanya mengenai ujub (bangga diri). Beliau pun menjawab, ‘(Ujub) adalah engkau memandang bahwa dirimu memiliki sesuatu yang tidak ada pada selainmu’.”

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Di antara adab seorang alim yang paling utama adalah bersikap rendah hati (tawadhu’) dan tidak ujub, yakni merasa sombong, bangga, dan terkagum-kagum terhadap ilmu yang dimilikinya. Adab berikutnya, ia berusaha menjauhi kecintaan akan kepemimpinan dengan sebab ilmunya.”

Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, fondasi dari suatu kedudukan adalah senang tersebarnya reputasi, cinta ketenaran, dan kemasyhuran, padahal itu merupakan bahaya yang sangat besar. Adapun keselamatan itu terdapat pada lawannya, yakni menjauhi ketenaran.”

Para ulama tidak bertujuan mencari kemasyhuran. Tidak pula mereka menampakkan dan menawarkan diri untuk tujuan tersebut. Mereka juga tidak menempuh sebab-sebab yang menyampaikan ke arah sana. Apabila ternyata kemasyhuran tersebut datang dari sisi Allah subhanahu wa ta'ala, mereka berusaha melarikan diri darinya. Mereka lebih mengutamakan ketidaktenaran.
(an-Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi halaman. 185—186)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://2.ly/zh4N

WhatsApp Salafy Indonesia

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

HAKIKAT KEINDAHAN

Suatu hari, seseorang bertanya kepada al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id, pakaian apakah yang paling Anda sukai?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Yang paling tebal, paling kasar, dan yang paling rendah di mata manusia.”

Si penanya berkata, “Bukankah ada riwayat bahwasanya ‘Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan’?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya aku telah menganut tidak hanya satu mazhab. Seandainya keindahan di sisi Allah subhanahu wa ta'ala adalah pakaian, niscaya orang-orang fajir (jahat) lebih memiliki kedudukan di sisi-Nya daripada orang-orang yang baik. Hanya saja, keindahan itu adalah mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan melaksanakan amalan ketaatan, menjauhi kemaksiatan, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti yang baik. Seperti itu pula hadits sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.”

(Mawa’izh lil Imam al-Hasan al-Bashri halaman. 83)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://2.ly/zh3C

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Wajib Menolak Kemungkaran Dengan Hati Apapun Kondisinya

Diriwayatkan dari Abu Juhaifah rahimahullah beliau mengatakan:
Ali radhiyallahu 'anhu berkata:

“Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diharuskan atas kalian dari urusan jihad adalah berjihad dengan tangan-tangan kalian, kemudian berjihad dengan lisan-lisan kalian, kemudian berjihad dengan hati-hati kalian. Maka barangsiapa yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, hati itu akan terbalik. Bagian atasnya menjadi bagian bawahnya.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu mendengar seseorang berkata: “Binasalah orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah yang mungkar.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu  menimpali: “Binasalah siapa saja yang hatinya tidak dapat mengenali mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar.”

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan: “Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu  mengisyaratkan bahwa mengetahui perkara yang ma’ruf dan yang mungkar dengan hati merupakan perkara yang wajib. Tidak gugur kewajiban tersebut dari seorangpun. Maka barangsiapa yang tidak dapat mengenalinya, dia akan binasa. Adapun mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tangan, kewajiban tersebut hanyalah disesuaikan dengan kemampuan."

Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu juga mengatakan: ‘Hampir-hampir saja orang yang hidup di antara kalian akan menyaksikan kemungkaran yang tidak mampu untuk diingkarinya, hanya saja Allah mengetahui dari hati orang tersebut bahwa dia sangat membenci kemungkaran itu’.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 258-259)

Sumber Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/pybmus5

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

KAIDAH MEMPERLAKUKAN ORANG LAIN

Al-Hakim rahimahullah berkata, “Ketulusan dalam hal bergaul dengan makhluk adalah engkau senang apabila mereka memperlakukanmu sebagaimana engkau memperlakukan mereka.”

Abu Bakr bin ‘Ayyasy rahimahullah mengatakan, “Raihlah keutamaan dengan cara engkau mengutamakan orang lain. Sesungguhnya, manusia memperlakukan dirimu sebagaimana engkau memperlakukan mereka.”

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, “Ada tiga hal yang akan membuat kecintaan saudaramu kepadamu menjadi tulus: engkau mengucapkan salam ketika bertemu dengannya, melapangkan majelis untuknya, dan memanggilnya dengan nama yang paling disenanginya.”
(Adabul ‘Isyrah wa Dzikru ash-Shuhbah wal Ukhuwwah, Abul Barakat al-Ghazzi)

Sumber Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/lw4xgju

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

MERAIH MANISNYA IMAN

Abdullah bin al-Abbas bin Abdil Muththalib  berkata,

مَنْ أَحَبَّ فِي اللهِ وَأَبْغَضَ فِي اللهِ وَوَالَى فِي اللهِ وَعَادَى فِي اللهِ، فَإِنَّمَا تَنَالُ وِلَايَةَ اللهُ بِذَلِكَ، وَلَنْ يَجِدَ عَبْدٌ طَعْمَ الْإِيْمَانِ-وَإِنْ كَثُرَتْ صَلَاتُهُ وَصَوْمُهُ-حَتَّى يَكُونَ كَذَلِكَ، وَقَدْ صَارَتْ عَامَّةُ مُؤَاخَاةِ النَّاسِ عَلَى أَمْرِ الدُّنْيَا، وَذَلِكَ لاَ يُجْدِي عَلَى أَهْلِهِ شَيْئًا

“Barang siapa mencintai karena Allah subhanahu wa ta'ala, membenci karena Allah subhanahu wa ta'ala, membela karena Allah subhanahu wa ta'ala dan memusuhi karena Allah subhanahu wa ta'ala, dengan itu ia peroleh kecintaan Allah subhanahu wa ta'ala.

Seorang hamba juga tidak akan mendapatkan manisnya iman meskipun banyak shalat dan puasanya hingga ia memiliki sifat-sifat itu.

Sungguh, kebanyakan persaudaraan manusia adalah karena urusan dunia (bukan lagi karena Allah subhanahu wa ta'ala), dan yang seperti itu tidaklah memberi manfaat sedikit pun pada dirinya.”
(Riwayat Abu Dawud, “Kitab as-Sunnah” no. 4681, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 380)

Sumber Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/obutams

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

MENJAUHI PERDEBATAN DALAM HAL AGAMA

Ma’n bin Isa berkata, “Suatu hari, (al-Imam) Malik bin Anas rahimahullah keluar dari masjid dalam keadaan bersandar pada tanganku. Ada seorang lelaki -yang dipanggil Abul Huriyah, yang tertuduh berpemahaman Murji’ah- menyusulnya dan mengatakan, “Wahai hamba Allah, dengarkanlah sesuatu yang akan aku sampaikan kepadamu. Aku akan beradu hujah denganmu dan memberitahumu tentang pemikiranku.”

Al-Imam Malik rahimahullah bertanya, “Bagaimana jika engkau mengalahkanku (dalam perdebatan)?”

Dia menjawab, “Kalau aku mengalahkanmu, engkau harus mengikuti pemikiranku.”

Al-Imam Malik rahimahullah bertanya lagi, “Kalau ada orang lain yang kemudian mendebat lantas mengalahkan kita?”

Dia menjawab, “Kita ikuti dia.”

Al-Imam Malik rahimahullah menukas,

يَا عَبْدَ اللهِ، بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا بِدِيْنٍ وَاحِدٍ، وَأَرَاكَ تَنْتَقِلُ مِنْ دِيْنٍ إِلَى دِينٍ

“Wahai hamba Allah, Allah Subhanahu wata’ala mengutus Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan satu agama. Namun, aku lihat engkau berpindah dari satu agama ke agama yang lain.”
(asy-Syari’ah, al-Ajurri, hlm. 62). (Catatan kaki al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilatil Manahij al-Jadidah hlm. 78, cet. Maktabah al-Huda al-Muhammadi)

Soumber: Majalah Asy Syariah ||  http://tinyurl.com/q6ksu75

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

HAFALKAN AL-QUR'AN TERLEBIH DAHULU

Abu Umar bin Abdil Barr rahimahullah berkata:

“Menuntut ilmu itu ada tahapan-tahapannya. Ada marhalah-marhalah dan tingkatan-tingkatannya. Tidak sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk melanggar/melampaui urutan-urutan tersebut. Barangsiapa secara sekaligus melanggarnya, berarti telah melanggar jalan yang telah ditempuh oleh as-salafus shalih rahimahumullah. Dan barangsiapa melanggar jalan yang mereka tempuh secara sengaja, maka dia telah salah jalan, dan siapa saja yang melanggarnya karena sebab ijtihad maka dia telah tergelincir.

Ilmu yang pertama kali dipelajari adalah menghafal Kitabullah serta berusaha memahaminya. Segala hal yang dapat membantu dalam memahaminya juga merupakan suatu kewajiban untuk dipelajari bersamaan dengannya. Saya tidak mengatakan bahwa wajib untuk menghafal keseluruhannya. Namun saya katakan bahwasanya hal itu adalah kewajiban yang mesti bagi orang yang ingin untuk menjadi seorang yang alim, dan bukan termasuk dari bab kewajiban yang diharuskan.”

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata: “Semestinya seorang penuntut ilmu memulai dengan menghafal Kitabullah, di mana itu merupakan ilmu yang paling mulia dan yang paling utama untuk didahulukan dan dikedepankan.”

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, di mana itu adalah ilmu yang terpenting di antara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an. Apabila telah menghafalnya, hendaklah waspada dari menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan fiqih serta selain keduanya dengan kesibukan yang dapat menyebabkan lupa terhadap sesuatu dari Al-Qur’an tersebut, atau waspadalah dari hal-hal yang dapat menyeret pada kelalaian terhadapnya (Al-Qur’an). (An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 60-61)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/khf4xdl

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

WASIAT QAIS BIN ‘ASHIM KEPADA PUTRA-PUTRANYA

Beliau berkata:
“Bertakwalah kalian kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan jadikanlah orang tertua di antara kalian sebagai pemimpin. Sungguh apabila suatu kaum mengangkat orang tertua mereka sebagai pemimpin niscaya pemimpin tersebut akan menggantikan peran orang tua mereka dalam memberikan/melakukan yang terbaik bagi mereka. Jikalau orang termudanya yang dijadikan sebagai pemimpin yang ditaati tentu akan menyebabkan berkurangnya penghormatan terhadap orang-orang tuanya, berakibat pada pembodohan mereka, peremehan, serta sikap tidak merasa butuh terhadap orang-orang tua tersebut.

Hendaklah kalian memiliki harta dan mengembangkannya melalui pekerjaan/usaha yang baik, karena hal itu akan menjadikan kalian memiliki kemuliaan serta kedudukan yang tinggi serta mencukupkan kalian dari meminta-minta. Hati-hatilah kalian, jangan sampai mengemis-ngemis kepada manusia, karena hal itu merupakan batasan terakhir dari usaha seseorang. Jika aku mati, janganlah kalian melakukan niyahah (meratap), sebab Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam  tidaklah diniyahahi. Jika aku mati, kuburkanlah di tanah yang tidak diketahui oleh Bani Bakr bin Wail, karena di masa jahiliah dulu, aku pernah menyerang mereka secara tiba-tiba pada saat mereka lengah.”. (Syarh Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 475)

Sumber Majalah Asy Syariah ||  http://tinyurl.com/ovcm76k

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

POKOK HIKMAH ADALAH DIAM

Muhammad bin ‘Ajlan rahimahullah mengatakan,

“Ucapan manusia ada empat macam: (1) berzikir mengingat Allah subhanahu wa ta'ala, (2) membaca al-Qur’an, (3) bertanya tentang sebuah ilmu lalu ia diberi tahu, dan (4) berkata tentang urusan dunia yang diperlukan.

Seseorang berkata kepada Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu ‘Berilah aku wasiat!’
Salman mengatakan, ‘Engkau jangan berbicara.’
Lelaki itu menjawab, ‘Orang yang hidup di tengah-tengah manusia tidak mungkin tidak berbicara.’
Salman menukas, ‘Jika demikian, kalau engkau berbicara, bicaralah yang benar. Kalau tidak, diamlah.’

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu mengatakan, ‘Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang lebih pantas dipenjara dalam waktu yang lama selain lisan.’

Wahb bin Munabbih rahimahullah mengatakan, ‘Para ahli hikmah bersepakat bahwa pokok hikmah adalah diam’.” (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam halaman 178)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/ltpmq7o

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

URGENSI HARTA DAN KESEHATAN DALAM MEMBENTENGI AGAMA

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Harta pada zaman dahulu adalah sesuatu yang dibenci. Adapun pada hari ini, harta adalah perisai seorang mukmin. Kalau saja bukan karena dinar-dinar ini, niscaya para penguasa menjadikan kita sebagai sapu tangan-sapu tangan mereka.”

Beliau juga berkata, “Siapa saja yang memiliki harta benda, hendaklah ia mengembangkannya dengan baik karena ini adalah suatu masa yang apabila seseorang didera oleh kebutuhan, sesuatu yang pertama kali dia korbankan adalah agamanya.”

Al-Munawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, badan yang sehat merupakan pendukung aktivitas peribadatan. Oleh karena itu, kesehatan adalah harta berlimpah yang tiada taranya. Adapun si sakit adalah orang yang lemah. Sementara itu, umur yang diberikan akan menguatkan. Kesehatan bersama kefakiran lebih baik daripada kekayaan bersama kelemahan. Orang yang lemah itu ibarat mayat.”

Beliau juga mengatakan, “Kekayaan tanpa ketakwaan adalah kebinasaan karena seseorang akan mengumpulkannya bukan dari jalan yang benar dan akan menahan atau memberikannya bukan pada sasaran yang benar.” (Syarah Shahih al-Adabil Mufrad lil Imam al-Bukhari, 1/394–395)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/mwchcz9

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

HAKIKAT CINTA KEPADA ALLAH

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Ketahuilah, engkau tidak dianggap mencintai Rabbmu hingga engkau mencintai ketaatan kepada-Nya.”

Dzun Nun rahimahullah ditanya, “Kapankah aku dikatakan mencintai Rabbku?” Beliau menjawab, “Seseorang dianggap mencintai Allah apabila ia bersabar terhadap hal-hal yang dibenci-Nya.”

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta'ala, tetapi tidak menjaga batasan-batasan-Nya, bukanlah orang yang jujur.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, halaman 104, cet. Darul ‘Aqidah)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/oupnyxj

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

DUNIA AKAN BERLALU AKHIRAT AKAN MENYONGSONG

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata dalam salah satu khutbahnya, “Sesungguhnya, dunia bukanlah negeri keabadian kalian. Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkan kefanaannya. Dia  juga menetapkan bahwa penghuninya akan meninggalkannya. Betapa banyak tempat yang makmur dan dicatat oleh sejarah, hancur dalam waktu sekejap. Betapa banyak orang yang tinggal dalam keadaan senang, tiba-tiba harus beranjak pergi. Karena itu, siapkanlah sarana terbaik yang ada pada kalian sekarang —semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati kalian— untuk menempuh perjalanan (kelak). Siapkanlah bekal, dan bekal terbaik adalah takwa.”

Sebagian ahli hikmah mengatakan, “Aku heran terhadap manusia yang akan ditinggalkan oleh dunia dan akan disongsong oleh akhirat—, ia justru sibuk dengan hal yang akan meninggalkannya dan lalai dari sesuatu yang akan menyongsongnya. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam halaman. 516)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/n57lqx8

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Faedah 'Ilmiyyah :

قال ابن القيم رحمه الله‎ ‎في كتابه‎ ‎الصوائق المرسلة (2/516) : فمن هداه الله - سبحانه - إلى الأخذ بالحق حيث كان ومع من كان، ولو كان مع من يبغضه ويعاديه، ورد الباطل مع من كان ولو كان مع من يحبه ويواليه، فهو ممن هدى الله لما اختُلف فيه من الحق.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullahu dalam kitabnya Ash Shawaiqul Mursalah (2/516) :

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah untuk mengambil kebenaran di manapun dia berada dan bersama dengan siapapun al-haq itu, walaupun al-haq bersama yang dia benci/musuhi dia ambil al-haq itu.

Dan barangsiapa yang menolak/membantah kebatilan bersama dengan siapapun al-batil itu, walaupun al-batil itu bersama orang yang dia cintai/wala' padanya dia bantah.

Maka orang semacam ini adalah orang yang mendapat hidayah dari Allah pada perkara-perkara yang diikhtilafkan.

¤¤ Faedah dari Ustadzuna Abu Abdillah Muhammad Afifuddin hafidzahullahu dalam muhadharah SALAFY MUDAH MENERIMA NASIHAT DAN KEMBALI PADA AL HAQ  (Solo 26 Oktober 2013M)

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

LAKUKANLAH HAL YANG BERMANFAAT

Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya)
menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.”

‘Umar bin Qais Al-Mula’i Radhiallahu ‘anhu berkata: Seseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman:“Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?”
Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan
itu?”
Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana
yang aku lihat ini?”
Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.”

Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah ‘anhu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah Allah menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”

Sahl At-Tusturi Rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”

Ma’ruf Rahimahullahu berkata: “Pembicaraan seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya merupakan kehinaan dari Allah (untuknya).”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/nyfkg3c

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

SIKAP BAIK DALAM BERBICARA

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: “Teman dudukku mempunyai tiga hak atasku: aku mengarahkan pandanganku kepadanya bila dia menghadap, aku memberikan tempat yang luas baginya di majelis bila dia duduk, dan aku memerhatikan dia bila dia berbicara.” (‘Uyunul Akhbar, 1/307)

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah dengan sanadnya sampai Mu’adz bin Sa’id Al-A’war rahimahullah, dia berkata: “Aku pernah duduk di sisi ‘Atha` bin Abi Rabah rahimahullah. Seorang lelaki kemudian menyampaikan sebuah hadits, lalu ada seorang dari kaum itu yang ikut mengucapkannya.”

Mu’adz berkata: “’Atha` pun marah. Dia berkata: ‘Sikap macam apa ini? Sungguh aku benar-benar mendengarkan hadits itu dari orang ini, padahal aku lebih tahu tentang hadits itu. Namun aku tampakkan kepadanya seakan-akan aku tidak tahu apa-apa.’

Dia berkata juga: ‘Sesungguhnya seorang pemuda menyampaikan sebuah hadits lalu aku mendengarkannya seakan-akan aku belum mengetahuinya. Padahal aku benar-benar telah mendengar hadits itu sebelum dia dilahirkan’.” (Raudhatul ‘Uqala`, hal. 72, Tadzkiratus Sami’, hal. 105)

Al-Hasan rahimahullah berkata:  “Bila engkau duduk, maka hendaknya engkau lebih semangat untuk mendengarkan daripada berbicara. Pelajarilah cara mendengarkan yang baik sebagaimana engkau mempelajari cara berbicara yang baik. Dan janganlah engkau memotong pembicaraan seseorang.” (Tadzkiratus Sami’, hal. 105).

(Diambil dari At-Tajul Mafqud, karya Faishal bin Abduh Qa`id Al-Hasyidi, hal. 70-72)

Sumber: Majalah Asy Syariah || http://tinyurl.com/pm7y8n4

WhatsApp Salafy Indonesia
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar