Kamis, 25 September 2014

MENGAKU-NGAKU JADI ULAMA

FATAWA:

MENGAKU-NGAKU JADI ULAMA

✒ Bersama: Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah

Soal:
Apakah yang dimaksud dengan At-Ta'aalum yang tercela, dan bagaimanakah cara agar tidak terjatuh di dalamnya, serta bagaimana membedakan antara dia dengan orang yang berdakwah di jalan Allah dan menyebarkannya sebagai pengamalan haditsnya (Nabi) shallallahu 'alaihi wasallam "Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat"?

Jawaban:
Pembahasan At-Ta'aalum yang tercela telah ditulis oleh saudara kita Bakr bin Abdillah Abu Zaid hafizhahullah, suatu risalah yang berharga yang kami nasehatkan untuk diambil faedah darinya. Dia (at-Ta'aalum) adalah bisa bentuknya seseorang yang menganggap dirinya berilmu, padahal dia jahil, dan ini biasa dinamakan dengan jahil murakkab atau bentuknya mengaku-ngaku punya ilmu namun dia tahu kalau dirinya memang bukan orang yang berilmu, akan tetapi dia bergaya di hadapan umum. Hal ini termasuk dalam katagori at-Ta'aalum.

Dari sini, ada perkara yang ingin saya ingatkan, yaitu perbedaan antara seorang yang berilmu dan seorang dai. Terkadang seorang dai baru memiliki hafalan sekitar sepuluh hadits, kemudian dia (berdakwah) berpindah dari satu masjid ke masjid yang lainnya. Ketika bertemu dengan orang-orang awam, mereka mengatakan kepadanya: "Semoga Allah memperbanyak dai semisalmu", (mendengar hal itu) dia menjadi besar kepala, padahal tidaklah yang dia miliki melainkan sekitar sepuluh hadits saja.

Terkadang ada orang yang memiliki pengetahuan bahwa bumi berputar, matahari diam dan bulan naik. Dia mendendang-dendangkan hal-hal seperti ini di majelis-majelis. Datanglah orang-orang awam menemuinya dan mengelus-elus pundaknya sambil berkata kepadanya: "Semoga Allah memperbanyak dai semisalmu." Mereka menganggapnya sebagai orang yang berilmu.

Terkadang pula ada seorang yang pergi mendatangi pemerintah dan dapat memberikan penerangan dengan sebenar-benarnya kepada pemerintah, kemudian dianggap oleh orang-orang bahwa dia adalah pahlawan, dialah orang yang jujur, dialah yang berani berbicara tentang kebenaran, dia tidak takut terhadap celaannya orang-orang yang mencela.

Maka harus dibedakan antara mereka dengan para ulama (yang sebenarnya). Ilmu itu membutuhkan kesabaran. Berkata Yahya bin Abi Katsir kepada anaknya: "Ilmu itu tidaklah akan dicapai dengan bersantai-santai. Suatu hal yang mungkin, dia datang ke tempat ini (Dammaj) bisa menghafal 70.000 atau bahkan lebih, sebagian mereka ada yang datang (belajar) di waktu malam, kemudian melakukan safar pada pagi harinya. Ilmu membutuhkan kesabaran; kesabaran dalam menghafal, kesabaran dalam mengamalkan ilmunya, kesabaran dalam mendakwahkannya dan kesabaran (mengekang diri) agar tidak lari dari ilmu. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

"Sesungguhnya perumpamaan para penghafal Al Qur`an adalah seperti seorang yang memiliki unta yang terikat, jika ia selalu menjaganya, maka ia pun akan selalu berada padanya, dan jika ia melepaskannya, niscaya ia pun akan lari." [Muttafqun 'alaihi, dari shahabat Ibnu 'Umar]
Atau semakna (sabdanya) dengan ini.

Sungguh hal ini membutuhkan kesabaran dan peneladanan, sebagaimana yang diutarakan Al-Ma'mun tatkala beliau ditanya: "Apakah masih tersisa sedikit dari kenikmatan dunia yang belum Anda raih? Beliau menjawab: 'Iya, yaitu perkataan Al-Mustamli: "Datangkanlah, semoga Allah mengampunimu!'. Maka berkumpullah anak-anaknya (anak Al-Ma'mum) dengan gembira, mereka telah membawa pena-pena dan buku-buku mereka (untuk mendapatkan hadits dari Al-Mustamli), mereka berkata kepada Al-Mustamli: "Berikanlah kami (hadits-hadits), semoga Allah mengampunimu! Kemudian Al-Mustamli berkata: "Kalian bukanlah ahlinya, karena hanyalah mereka (ahlul hadits) adalah orang-orang yang kusut rambutnya, kotor pakaiannya dan pecah-pecah kakinya."

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya bersabar dengan kesusahan, kelaparan, rasa ketakutan, kedinginan, dan kesakitan tatkala beliau tiba di Madinah dan telah kami sampaikan sebagiannya di akhir pembahasan tentang Si Kafir Al-khumaini di negeri Al-Haramain. Penuntut ilmu butuh kesabaran.

Sebagian pemimpin dari kalangan Al Ikhawnul Muflisin (IM, kelompok jama'ah bangkrut) mengatakan: "Janganlah kau berbicara kepada manusia dengan ayat-ayat Al-Quran ataupun hadits nabawi, akan tetapi bicaralah dari dirimu sendiri saja!"

Terus dengan apa nanti mereka keluar masjid jika kamu tidak berbicara kepada manusia dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadits nabawi?! Orang ini miskin dan rusak (pemikirannya). Dia ingin berusaha menutupi dirinya, karena dia tidak mampu berdalil dengan ayat maupun hadits.

Saya nasehatkan untuk melihat kitab yang berharga tadi "At-Ta'aalum". Padanya disebutkan contoh-contoh yang bagus, semoga Allah membalas kebaikan kepadanya.

Adapun penuntut ilmu yang sudah mengajar sebagian bidang ilmu yang dia telah pelajari, maka ini merupakan hal yang bagus. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang yang menampakkan kepuasan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya adalah seperti halnya seorang yang memakai dua pakaian kedustaan." [HR. Al-Bukhari-Muslim, dari shahabat Asma']

Apabila kamu telah mempelajari kitab Al-Ba'its Al-Hatsits, Bulughul Maraam, 'Umdatul Ahkam atau At-Tuhfah As-Saniyyah, maka jika kamu ingin Allah memberkahi ilmumu, wajib bagimu untuk semangat mengajarkannya. Kamu mengajarinya walaupun hanya sekali, maka itu lebih baik daripada kamu membaca sendirian untuk dirimu sebanyak sepuluh atau dua puluh kali, karena murid akan mengajakmu saling berdiskusi; kenapa seperti ini? apakah maknanya? Maklumat-maklumatmu semakin lengket diingatanmu.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataanku, dia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana apa yang ia dengar." [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi]

Dahulu ada seorang yang datang sebagai utusan menghadiri majelis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam satu atau dua kali majelis, kemudian ia pulang (ke negerinya) menyampaikan ilmunya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Beliau mengatakan ini ketika haji Wada'. Telah hadir manusia yang banyak pada Haji Wada'.

Tema pembicaraan kita tadi adalah tentang seorang yang menampakkan kepuasan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya dan berpura-pura (menjadi orang yang berilmu) dihadapan manusia, ini merupakan alamat bahwa orang tersebut tidak tahu tentang ilmu sedikitpun.

Sumber:
Kitab "Gharraatul Asyrithah: 2/98-99."

Download suara beliau di:
http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3947

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
WA. Thullab Al Fiyusy & SLN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar